Kembali ke mansionnya yang sepi, Nick melangkah masuk dengan perasaan hampa yang menggelayuti hatinya. Dinding-dinding megah dengan dekorasi yang elegan, yang biasanya memberi rasa nyaman, kini terasa membebani. Beberapa kali ucapan ayah dan ibunya berkelebat di dalam benaknya, mengingatkan dirinya akan peristiwa yang telah menimpa keluarganya selama dua tahun belakangan ini.
"Jill?" Nick tersenyum kecut sembari melepas jasnya dan juga dasinya. Pikirannya menerawang tentang sosok Jillian yang ia lihat dua hari yang lalu di atas tandu. Wanita itu tampak kusam dan lusuh. Tanah menempel di pakaiannya, dan rambutnya yang dulu tergelung indah saat mengucapkan sumpah pernikahan bersama Mike— terlihat kusut.
Nick sama sekali tidak mengerti mengapa Jillian bisa berubah sedrastis itu?
'Apa benar wanita itu benar-benar mencintai Mike hingga menjadi gila?' pikirnya. Jika itu benar, bukankah Mike sangat beruntung? Meski cacat, tetapi hampir semua orang bisa dengan mudahnya mencintai saudaranya itu.
Setelah membersihkan dirinya, untuk melepaskan rasa lelahnya selama satu hari ini— Nick menuangkan segelas wine untuk dirinya sendiri, satu-satunya sahabat yang bisa menemaninya dalam kesepian.
Tatkala aroma anggur yang mewah menyentuh indera penciumannya, ingatan Nick tentang percakapan dengan kedua orang tuanya pun kembali menghantui. Suara ibunya yang terdengar bergetar, syarat dengan kesedihan dan seakan mengharapkan dirinya— menggema di dalam pikirannya.
"Bukan maksud Ayah dan Ibu ingin menambah bebanmu, Nick. Tapi ... Jill ... dia sedang berduka. Dia tidak bisa menghadapi kehilangan Mike. Kami pikir, mungkin … jika kau menikahinya, itu bisa membantunya."
"Apakah wanita itu begitu berharga, hingga Ayah dan Ibu bersedia melakukan hal ini hanya demi membuatnya tetap tinggal sebagai anggota keluarga Walt? Atau ... mungkinkah Ayah dan Ibu hanya ingin mempertahankannya demi menjaga agar kenangan tentang Mike tetap hidup?" gumam Nick sambil menggoyang gelas yang sedang ia pegang. Membiarkan cairan wine yang ada di dalamnya menjadi beriak ke pinggiran gelas.
Nick menempatkan gelas itu ke pinggir bibirnya, kemudian menenggak isinya dalam satu kali tenggak. Setelah itu, ia mengisi kembali gelasnya hingga tiga perempatnya.
Nick meneguk kembali wine yang kedua, merasakan kehangatan mulai merayap di tenggorokannya, namun bayangan Jillian kembali menghantui dirinya.
"Hmm, sebenarnya apa yang kau miliki, Jillian Rose," bisiknya sembari menyapu bibirnya dengan punggung telapak tangannya.
Sementara itu, di vila Mike, suasana sama sekali tidak berbeda. Selesai dengan rutinitas termangu di ruang tamu, Jillian yang kini telah berada di dalam kamarnya masih juga bergeming, duduk bersandar di kepala ranjang dengan tatapannya terfokus pada langit malam dan rintik hutan. Kegelapan menyelimuti sekelilingnya, seolah mencerminkan suasana hatinya yang kelam. Ia tidak memiliki niat sama sekali untuk beranjak dari posisi itu, tidak ingin mengganggu ketenangan yang entah mengapa terasa sangat menyakitkan baginya.
"Mike." Jillian tidak ingat sudah berapa kali ia menyebutkan nama suaminya itu sejak Mike menghilang, bahkan hingga kini ia masih terus melakukannya. "Mengapa harus kau yang pergi, Mike? Mengapa bukan aku? Kau dicintai oleh banyak orang, sedangkan aku ... hanya kau dan Kakek saja yang benar-benar mengerti tentang diriku. Oh, Mike," bisiknya lirih. "Kumohon, kembalilah! Aku ingin kau berada di sini, bersamaku. Aku ingin mendengar suaramu, Mike. Tolong, jawab aku. " Butiran bening menetes di pipi Jillian, terus turun tanpa henti seperti derai hujan di luar jendela.
"Jill?"
Ilusi itu kembali, suara Mike yang memanggil namanya dengan lembut bergema di dalam otak Jillian.
"Mike?"
"Lakukanlah apapun yang kau inginkan, aku akan selalu menemanimu. Menunggumu kembali padaku."
Kata-kata yang pernah Mike ucapkan sebelum mereka pergi ke bandara, membuat air mata Jillian semakin deras mengalir.
"Mengapa kau berbohong padaku? Katamu kau akan selalu menemaniku, tapi di mana kau sekarang? Di mana kau bodoh? Mengapa kau meninggalkanku di sini? Tak tahukah kau, kalau aku ... sangat merindukanmu?" Jillian menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mulai terisak. "Seharusnya aku yang pergi agar aku tidak perlu menderita karena merindukanmu, dasar kau pria egois!" pekiknya histeris.
Di luar sana, rintik hujan telah berhenti. Hanya menyisakan titik-titik air yang menetes dari pinggiran genteng. Sayangnya, di dalam kamarnya, hujan yang mengandung badai tengah menerpa Jillian. Ia menangis keras, tubuhnya berguncang, ia lelah, sangat lelah. Rasanya, ia juga ingin menghilang dari dunia ini.
***
Pagi hari, Jillian terbangun dengan kepala yang terasa berat. Ia bahkan rasanya enggan untuk beranjak dari kasurnya, kasur di mana ia dan Mike pernah tidur bersama.
Suara ketukan di pintu kamar sama sekali tidak mengganggunya, karena Jillian sudah tahu siapa yang sedang mengetuk pintu itu. Siapa lagi jika bukan perawat yang ingin membantunya membersihkan tubuhnya.
Seakan telah mengerti, wanita yang mengetuk pintu kamar Jillian itu segera masuk dan menyapa Jillian. Seperti sebelumnya, ia melihat Jillian telah bangun dan hanya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
"Sudah waktunya Anda mandi, Nyonya Walt," ujar wanita itu sambil tersenyum ceria, berharap kebahagiaan yang terlontar melalui suaranya mampu membuat Jillian tersadar.
Harapan hanya tinggal harapan, perawat wanita itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan lesu saat ia tidak melihat reaksi apapun dari Jillian.
Tidak di saat ia membantu Jillian pindah ke kursi roda, tidak juga ketika ia memandikan wanita itu. Yang Jillian lakukan hanya terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
"Pagi ini Nyonya Walt masih tidak juga menunjukkan tanda-tanda perubahan jika dia telah membaik," lapornya pada Eric dengan setengah berbisik, usai ia menempatkan Jillian di depan meja makan.
Eric menanggapi ucapan perawat itu dengan anggukan singkat. Andai ia tidak tahu jika Jillian sengaja menyembunyikan kehidupannya dalam bayang-bayang kesedihannya, mungkin ia juga akan merasa sangat stres hari ini. Bingung bagaimana lagi harus membantu wanita cantik itu.
Tetapi tidak, Eric sudah mengetahui segalanya. Setidaknya ia mengerti apa yang selalu Jillian hadapi, hingga ia membiarkan saja Jillian melakukan apapun yang diinginkannya. Semakin merasa tenang wanita itu, akan lebih baik untuk kesehatan jiwanya.
Selesai Jillian menghabiskan makan paginya, Eric menghampiri wanita itu yang seperti sebelumnya kembali termangu di tempat favoritnya sambil menatap keluar jendela.
"Apakah Anda ingin melakukan sesi terapi hari ini, Nyonya Walt?" tanyanya.
Jillian bergeming, namun Eric tidak menyerah. Ia, ingin melihat kembali sinar di mata Jillian seperti saat wanita ini menatapnya kemarin.
"Nyonya Walt, biasanya aku selalu menarik bayaran yang mahal dari setiap klienku untuk satu sesi meminta pendapat dariku. Tapi untukmu, aku tidak akan meminta bayaran satu sen pun. Jadi ... apa Anda benar-benar tidak ingin mengatakan apapun padaku?" selorohnya, mencoba bercanda.
Jillian melirik pria itu dari sudut matanya, kemudian kembali menatap ke depan.
Meski Jillian tidak mengatakan apapun, Eric bisa melihat perubahan pada tatapan wanita itu. Kekosongan itu menghilang, berubah menjadi kepedihan yang membuat ia ingin rasanya mendekap tubuh Jillian yang semakin tampak kurus. Mendekapnya dengan erat, dan juga menjaga wanita ini dengan segenap jiwanya.
"Apa menurutmu mereka akan kembali ke sini?"
Kelopak mata Eric sontak melebar mendengar ucapan Jillian itu, akhirnya— wanita itu bersedia untuk kembali berbicara padanya.
"Siapa yang Anda maksud, Nyonya Walt?" pancingnya.
"Pria itu, dan juga Ibu Mertuaku. Apa menurutmu mereka akan kembali ke sini?"