Keesokan harinya ...
Angin kencang berhembus mendatangi tepi laut, menggugurkan dedaunan dari pepohonan yang ada di sekitarnya. Jillian memperhatikan semua itu dengan tatapan kosong.
Masih terlintas dengan baik di dalam ingatannya tentang peristiwa yang terjadi sebulan yang lalu padanya dan juga Mike. Peristiwa memilukan yang merenggut Mike darinya begitu juga dengan jiwanya.
Sekarang, di sini ia berada. Berjuang tidak hanya untuk hidup, tetapi juga untuk memulihkan perasaannya yang telah hancur.
Jillian menatap jauh ke luar jendela, berharap melihat sosok Mike yang selalu menunggunya. Namun, yang tampak hanyalah ombak yang menerjang tepi pantai. Suara pintu yang terbuka membawa Eric Abraham, Psikiater yang ditugaskan untuk merawat Jillian memasuki ruangan dengan langkah gagah.
Tanpa ragu Eric menegur Jillian, "Nyonya Walt? Bagaimana kabar Anda pagi ini? Aku harap semalam Anda bisa tidur dengan nyenyak walau kita mengalami sedikit gangguan di vila ini." Eric berhenti tepat di hadapan Jillian.
Jillian melirik Eric dari sudut matanya, tetapi terlalu enggan untuk membuka mulutnya.
"Nyonya Walt?" panggil Eric lagi, suara dalamnya terdengar lembut dan menenangkan.
Jillian masih tidak menjawab, ia hanya mendongak dan menatap Psikiaternya itu dengan tatapan kosong.
Eric merasa hati kecilnya tertekan melihat keadaan Jillian. Ia dapat merasakan jika tugasnya kali ini lebih berat dari yang ia pikirkan.
"Mengapa Anda tidak menghabiskan sarapan Anda pagi ini?" tanyanya, penuh empati. Setelahnya, Eric pun menurunkan tubuhnya dan berjongkok di hadapan Jillian. Tatapannya yang bersahabat menatap lurus ke wajah wanita itu. Wajah cantik yang telah kehilangan cahayanya.
Meski arah pandangan Jillian mengarah padanya, namun ada kekosongan di sana. Wanita itu terlihat polos, murni, dan menyedihkan.
"Anda tidak ingin mengatakan apapun padaku? Haruskah kita menunda sesi terapinya?"
Jillian memalingkan wajahnya, kembali melemparkan pandangannya ke arah pesisir pantai.
"Aku tahu Anda mengerti semua yang aku katakan," imbuh Eric.
Tentu saja Jillian mengerti, ia mengerti semua ucapan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya ... tidak ingin membuka mulutnya.
"Nyonya Walt? Bisa Anda ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum pesawat yang Anda dan Mr. Mike naiki jatuh ke atas perairan?"
Jillian tercekat, pikirannya sontak mengembara ke satu bulan yang lalu, saat itu ...
“Apa yang terjadi, Mike!” ia berteriak pada Mike. Dan kegelisahan tampak di wajah tampan suaminya itu.
“Berpeganganlah padaku!"
Dengan segala keterbatasan yang Mike miliki, suaminya itu berusaha untuk melindungi dirinya.
“Dengarkan aku! Apa pun yang terjadi, kita tidak akan terpisah.”
"Jillian ...! Pakai ini!”
"Mike ...!"
Air mata Jillian seketika menggenang, menumpuk di pelupuk matanya dan perlahan luruh membasahi pipinya.
Melihat hal itu, Eric pun merogoh saku celananya, mengambil sapu tangan dan ingin mengusap pipi Jillian. Namun Jillian menarik kepalanya, berusaha menghindar.
Menghadapi penolakan Jillian, rasa frustasi perlahan muncul di dalam hati Eric. Ia sebenarnya bisa saja menyembuhkan Jillian, apalagi Jillian masih memiliki kesadarannya. Dan yang membuatnya tidak mengerti adalah ... mengapa wanita ini terus saja membiarkan dirinya terperangkap dalam kesedihannya?
"Tidak ada yang bisa kulakukan jika Anda tidak ingin menyembuhkan diri Anda sendiri, Nyonya walt. Dan seperti yang Anda katakan semalam, bukankah Anda sangat yakin jika Mr. Mike masih hidup?"
Jillian terpaku, dengan tatapan tertuju pada lantai vila.
"Jika dia tiba-tiba kembali hari ini, menurut Anda apa yang akan dilakukannya ketika Mr. Mike melihat keadaan Anda sekarang?"
Seperti semalam, Jillian hanya bergeming. Ia tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Psikiater itu padanya, hanya saja hatinya terlalu lelah karena merindukan sesuatu yang hanya hidup di dalam ilusi. Dan untuk melangkah keluar, ia terlalu enggan untuk meninggalkan Mike sendiri. Baginya, selama ia memikirkan Mike— Mike akan terus hidup meski hanya di dalam hatinya.
"Nyonya Walt? Apa Anda ingin berjalan-jalan sebentar di pinggir pantai?" usul Eric tidak menyerah.
Mendengar usulan itu, tanpa sadar Jillian mengangkat wajahnya dan kembali menatap Eric.
Eric melihat mata Jillian sedikit berbinar, untuknya itu sudah cukup, sekaligus juga menandakan jika Jillian bisa ia sembuhkan.
"Aku pikir Anda menyukainya." Eric pun beranjak dan memutari kursi roda Jillian lalu mulai mendorongnya perlahan menuju pintu kaca yang telah terbuka lebar. Terus mendorong ke arah pantai yang berada di belakang vila yang Jillian tempati.
Sambil melakukan hal itu, Eric memperhatikan pucuk kepala Jillian. Rambut hitamnya yang tebal dan panjang mengayun lembut karena tiupan angin. Dan tatapan Jillian, tatapan wanita itu lurus ke arah pesisir pantai.
Sejujurnya, tidak sulit untuk merawat Jillian. Bahkan perawat yang membantu Jillian untuk mandi juga mengatakan hal yang sama padanya. Jillian tidak merepotkan sama sekali, hanya terlihat terlalu menyedihkan.
"Anda suka suasananya, Nyonya Walt?" lontar Eric, mencoba memecah keheningan.
Jillian mengangguk pelan, terlalu samar untuk diketahui oleh Eric. Seakan ia tidak bergerak sama sekali.
Saat kursi rodanya hampir sampai di tempat air dangkal yang menyapu pesisir pantai, ia reflek mencengkeram sisi kiri dan kanan kursi rodanya. Ketakutan memenuhi wajahnya, dan ia terus menatap ke arah air yang seolah mampu menelan tubuhnya.
"Aku ingin kembali ke vila," titahnya dengan tubuh gemetar dan suara yang bergetar.
Dari reaksi Jillian itu, Eric pun akhirnya menyadari jika wanita ini memiliki trauma yang sangat besar atas musibah yang pernah menimpanya.
"Baik, Nyonya Walt. Aku senang Anda mau berbicara lagi padaku," ujar Eric sembari menarik kursi roda Jillian.
Keheningan yang meresahkan pria ini pun kembali, membuat Eric hanya bisa menghela nafas lelah.
***
Beverly berkunjung pada siang harinya, ibu mertuanya itu menceritakan tentang masa kecil Mike pada Jillian. Dengan tatapannya yang kosong Jillian hanya mendengarkan saja semua yang Beverly katakan padanya.
Tidak mendapatkan tanggapan dari Jillian, Beverly pun menitipkan menantunya itu pada perawat yang ia sewa lalu menghampiri Eric yang tengah memperhatikan apa yang ia lakukan dengan Jillian. Psikiater berusia 30 tahun itu menyandarkan punggungnya di dinding ruang tamu dengan kedua tangannya bersidekap di d**a.
Keseriusan tampak di wajah Eric saat Beverly menghampiri pria itu.
"Bagaimana pengobatannya? Mengapa dia masih belum juga berbicara?" desis Beverly, mengajukan protes pada Eric dengan suara yang sangat pelan.
Eric menegakkan tubuhnya saat Beverly telah tiba di hadapannya.
"Sudah ada kemajuan, Mrs. Walt. Sejak kemarin Nyonya Jill telah beberapa kali berbicara padaku."
"Padamu? Tetapi mengapa padaku dia ...." Beverly melemparkan tatapannya pada Jillian, kemarahan yang semula terukir di wajahnya sontak berubah menjadi raut sedih setelahnya. "Masih seperti ini?" lanjutnya.
"Mrs. Walt, jangan memaksanya!" nasehat Eric pada Beverly, "Karena aku percaya, suatu saat nanti jika Nyonya Jill ingin berbicara pada Anda, dia pasti akan melakukannya. Untuk saat ini, mungkin dia hanya merasa sedih ketika dia melihat Anda. Atau ... mungkin juga Anda mengingatkannya pada Mr. Mike."
"Suatu saat nanti? Kapan? Aku ingin dia segera menikah dengan Nick. Aku ingin ... Nick menjaganya! Menjaga kenangan tentang Mike yang masih tersisa padanya," lirih Beverly nyaris tak terdengar.