"Anda ingin melihat surat ini, Nyonya Walt?" Eric menghampiri Jillian setelah kepergian Beverly dengan membawa sepucuk surat di tangannya. Tiba di hadapan wanita itu, ia menatap Jillian yang masih setia menatap pesisir pantai dengan tatapan kosong.
“Nyonya Walt?” panggilnya, berusaha memecah keheningan yang memenuhi ruang tamu vila. Bersamaan dengan itu, Eric memberi isyarat pada perawat wanita yang sedang berdiri di belakang Jillian agar meninggalkan mereka.
Perawat itu mengangguk patuh kemudian pergi meninggalkan Eric dan juga Jillian.
Sementara Jillian, ia masih belum juga membuka mulutnya. Matanya fokus memperhatikan ombak yang bergulung ke pesisir pantai.
“Aku tahu apa yang Anda rasakan, tapi wanita itu sangat keras kepala. Sebaiknya, Anda buka saja suratnya," pinta Eric, suaranya rendah dan lembut.
"Aku sudah tahu apa isinya, jadi untuk apa aku membukanya?" Jillian mendongak, menatap langsung ke iris Eric, membuat pria itu sontak terpaku sepersekian detik.
Setelah Eric mampu mengatasi rasa terkejutnya, ia pun tersenyum kikuk.
"Apa Anda membutuhkan bantuanku agar rencana pernikahan Anda bisa dibatalkan?"
Kata 'pernikahan' mengguncang jiwa Jillian. Ia dapat merasakan dadanya bergetar dengan emosi, "Tidak ada yang bisa kau lakukan, jadi untuk apa membuang-buang energi. Biarkan saja, biarkan ini menjadi urusanku."
“Atau Anda bisa mencobanya?” hibur Eric. “Mungkin, siapa tahu pernikahan itu bisa menghapus rasa kehilangan yang Anda rasakan, Nyonya Walt.”
"Bersama Nick?" Jillian tersenyum kelu, lalu menggeleng pelan. "Pria itu tidak menyukaiku, dan aku ... belum tentu bisa mencintainya," gumamnya.
Ekspresi Jillian yang tampak menyedihkan, membuat kebimbangan menghantam Eric tepat di hatinya. Entah mengapa ia merasakan perasaan ini, yang pasti ia juga tidak ingin melihat Jillian lebih terpukul lagi. Wanita ini sudah mengaku jika dirinya depresi, mungkin kesadarannya baik-baik saja sekarang. Namun nanti, siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada jiwanya jika Jillian harus terus hidup di bawah tekanan?
"Eric?" Jillian kembali menatap Eric, "Jika aku memberikan nyawaku pada mereka, apa mereka semua akan merasa senang?"
Di sisi lain kota, di Walt Corporation. Nick sedang duduk di kursi kerjanya, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ruangannya yang biasanya terasa nyaman kini seakan kosong dan hampa.
Pagi ini, entah apa yang merasuki dirinya. Ia tiba-tiba terbangun dalam keadaan masih setengah mabuk. Padahal, ia hanya meminum sebotol wine semalam. Dan yang lebih anehnya, ia meracau, menghubungi ayahnya lalu berkata jika ia akan menuruti keinginan kedua orang tuanya. Ia ... bersedia menikahi Jillian.
"Aku pasti sudah gila." Nick mengacak-acak rambutnya dengan geram, rasanya ia bahkan ingin menghancurkan ruangan kantornya.
"Maaf, karena Ayah dan Ibu bersikap egois padamu. Ibumu ... dia ingin menjaga agar kenangan Mike tetap hidup dengan kehadiran Jillian di tengah keluarga kita."
Ucapan ayahnya itu terngiang-ngiang di telinga Nick, membuat ia merasa apakah selama ini ia terlalu keras kepada kedua orang tuanya?
Kini, saat ia memandangi tumpukan berkas di atas meja kerjanya, kepalanya sontak terasa kosong. Menikahi Jillian? Seorang wanita yang selalu ia anggap gila? Wanita yang saat ini diliputi duka? Apa yang bisa ia lakukan untuk wanita itu?
Sedangkan untuk mengerjakan tugasnya di perusahaan saja, ia lebih banyak dibantu oleh Garvin. Seharusnya semua ini tanggung jawab Mike, bukan dirinya. Tetapi sejak saudaranya itu menjadi lumpuh dan hanya bisa menghabiskan waktunya di atas kursi roda, semua beban itu langsung dilimpahkan padanya.
"Dan sekarang, bertambah satu beban lagi, arghh ...!" teriak Nick gemas.
***
Malam harinya, setelah diantarkan ke kamar tidurnya, Jillian melirik amplop surat dari Beverly yang sengaja diletakkan Eric di atas nakas yang berada di samping ranjangnya. Cukup lama ia memperhatikan amplop tersebut, hingga suara ketukan di pintu kamarnya menyentakkannya dari apa yang ia lakukan.
Suara ketukan itu tidak terdengar samar seperti suara ketukan yang biasa dilakukan oleh perawat yang merawatnya selama dua hari ini. Suara ketukan itu terdengar jauh lebih tegas, sementara di vila ini hanya ada tiga orang. Selain ia dan perawat wanita yang selalu bertugas untuk menjemputnya di kamar atau mengantarnya kembali ke kamar, hanya ada satu orang lagi. Yaitu Eric.
Sebelumnya, pria itu belum pernah mengetuk pintu kamarnya.
"Nyonya Walt? Apakah aku boleh masuk?"
Suara Eric yang lembut terdengar, mengingatkan Jillian akan suara Mike yang selalu menenangkan hatinya.
"Masuklah!" teriaknya, namun suaranya justru terdengar lirih. "Oh, Mike." Jillian menundukkan kepalanya, menatap kedua tangannya yang saling menangkup di atas pangkuannya.
Derit pintu terbuka perlahan terdengar samar, namun Jillian justru melemparkan pandangannya keluar jendela.
"Malam ini langit sangat cerah," desisnya.
Eric yang baru saja masuk dengan segelas air putih dan beberapa butir obat-obatan di tangannya, mengangguk setuju.
"Maaf aku mengganggu Anda, seharusnya perawat itu yang mengantarkan obat-obatan ini untuk Anda. Tapi dia harus membantuku membeli obat lain, aku pikir Anda membutuhkannya," cetusnya sambil menghampiri Jillian lalu menyerahkan segelas air beserta beberapa butir pil yang dibawanya kepada wanita itu. "Minumlah! Obat-obatan ini hanya multivitamin yang bisa menjaga tubuh Anda agar tetap fit. Dan agar pikiran anda bisa tetap waras."
Jillian menoleh, menerima semua yang diberikan Eric padanya. Meminumnya dengan patuh, kemudian mengembalikan gelas yang telah kosong pada pria itu.
"Nyonya Walt? Apakah Anda ingin meninggalkan kota ini?"
"Apa maksudmu?" Jillian menatap Eric dengan raut bingung, tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang tidak masuk akal padanya.
Pertama, ia memang memiliki uang. Mike telah memberinya tabungan dalam jumlah besar karena ia bersedia menikah dengan pria itu, tapi ... ia harus ke mana? Tanpa seorangpun yang ia kenal berada di sisinya, kemungkinan yang ia pilih hanyalah ... kematian. Mungkin ia juga bisa meminta agar jenazahnya dimakamkan di samping makam ibunya yang berada di Jakarta, Indonesia.
Kedua, jika ia pergi begitu saja dalam keadaan masih hidup— mungkinkah ayahnya akan melepaskannya? Bukankah ayahnya tidak pernah ingin mendapatkan kerugian?
"Maksudku, kalau Anda memang tidak ingin menikah— aku pikir mungkin Anda bisa kabur saja. Pergi dari kota ini."
Jillian meringis, "Terlalu mudah untuk diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan," celetuknya.
Eric terdiam mendengar ucapan Jillian itu, tidak mengerti apa yang membuat wanita ini ingin bertahan di kota ini bersama semua orang yang seakan ingin selalu menekannya. Memaksakan kehendak mereka pada dirinya tanpa memikirkan apa yang wanita ini inginkan.
Tiba-tiba, suara bel vila terdengar. Berbunyi secara terus-menerus, seakan orang yang memencet bel itu memiliki kesabaran setipis tisu.
"Aku akan membukanya, silakan Anda beristirahat, Nyonya Walt. Selamat malam." Eric menundukkan kepalanya, kemudian bergegas pergi. Tak lupa, ia menutup kembali pintu kamar Jillian.
"Selamat malam, Eric," bisik Jillian. Setelah itu, ia kembali melemparkan tatapannya keluar jendela, mengacuhkan keributan yang samar-samar menyapa indera pendengarannya. Sambil menatap langit malam, Jillian kembali berbisik, "Selamat malam, Mike."