11

1909 Kata
What? Aku suruh pipis di ember? Buka kaki lebar-lebar lalu .... Astagaaa. Aku melotot sebal pada Om Redi, ia tergelak dengan satu tangan memegangi perutnya. "Tak apa,laaah." Ia mengibaskan tangan di depan wajah istrinya ini, yang membuatku tambah manyun. "Pagi tinggal buang! Hahaha!" Ia tergelak. "Gak lucu tau, Om." Tangannya merangkul bahuku. "Tak apa laaah. Daripada kau lari-lari seperti tadi. Kasian lah, anak kita ini." Diusapnya perutku. "Tidur yok, sudah larut." Ia menarik tanganku. Namun karena aku hanya diam masih kesal dengan ucapannya yang menurutku penghinaan banget, aku tetap kekeuh ditempat. Om Redi akhirnya berjongkok dan menoleh memperhatikanku yang terus cemberut. "Sini lah gendong." Ia menepuk pundaknya. "Sinilaaah." Kembali ia menepuk pundaknya. Aku menyentak napas sebal. Ia berdiri lantas dengan cepat meletakkan tangannya di bahuku satunya lagi di belakang paha lalu mengangkat istrinya ini sejajar dengan dadanya. Aku melotot saat ia tersenyum menggodaku. "Kau suka aku gendong kau seperti ini, ha?" Ia mengerling nakal. Ih nyebelin. Gak tau, apa, wajahku menghangat gini dan aku deg degan? Aku mengalihkan pandang saat ia membawaku menuju pembaringan, menarik selimut untuk menutupi tubuh kami berdua, berbaring miring memperhatikanku. "Bobok lah, kau. Sudah malam ini." Jari telunjukku bergerak mengetuk-ngetuk pipi. "Cium dulu." Ia tertawa. Cup. Hidung bangirnya menempel di pipiku. "Sinii." Aku menyentuh bibir. Ia memperhatikanku lalu ... aku memejamkan mata. Kok gak dicium-cium? Saat membuka mata, Om Redi tengah cengengesan. "Apaan sih, Ooom!" Kucubit kuat lengannya. "Ayo cium cepetan. Mau bobok, nih." "Tak mau, lah." "Kok, gaak, ma-uu?" "Tak. Nanti jadi ingin aku." "Ya gak papa, kan udah ni-kaaah." Iih, aku beneran gemes deh sama laki satu ini. Gimana mau punya anak, cobaa? Ha-duuuh. "Tak boleh kata ayah kau. Bobok lah, sudah malam ini." Aku cemberut. Ia mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. "Kau ngebet kali, laah." Mataku melebar. Aku benar-benar kaget dengan pikirannya. Aku langsung menarik selimut saat bersitatap dengannya yang tengah senyum-senyum dan menenggelamkan diri di dalam selimut. Cukup lama, tak ada permintaan maaf darinya. Akhirnya aku membuka selimut, Om Redi sudah terlelap. Nyebelin. Rasanya ingin tak, hiiih. Beneran pengen banget getok kepalanya. Aku mendekat untuk memeluknya lalu pejamkan mata. *** Ngoooook engooook ngooook Ngooook engoook ngoooook Berisik banget. Aku membuka mata sedikit, bergegas bangun saat melihat ke arah jendela yang terbuka lebar, menampakkan langit pekat dihias larik-larik oranye terang. "Ooom!" Aku menyibak selimut lantas bangkit berdiri, berjalan dengan mata masih sangat mengantuk menuju dapur. Dari pintu dapur yang terbuka lebar, tampak Om Redi tengah memberi makan angsa-angsa. Nggooook engook ngooook. Hewan itu riuh sekali. "Ooom, kok aku gak dibangunin lagi, siih?" Ia menoleh. "Kau itu sulit dibangunkan." "Ya tetap aja harus dibang ... Ooom!" Aku segera sembunyi ke belakang tubuhnya saat seekor angsa paling besar berlari cepat ke arahku. Om Redi dengan cekapan memegang leher si angsa, membuat hewan itu langsung memberontak melepaskan diri. Sayapnya mengepak-ngepak. Angsa yang lain mendekat dengan leher panjang terjulur ke bawah seolah akan menggigit Om Redi, dan Om Redi melengkungkan jarinya membuat angsa-angsa itu mundur dan kembali makan. "Potong aja lah angsa itu. Dia sering banget gigit aku!" Kakiku menyepak si angsa. "Janganlaaah. Ini buat pejantan." Om Redi melemparnya pelan menjauh dari kami. Angsa itu langsung ikut makan bersama yang lainnya. "Kau sudah salat?" Aku menggeleng. "Aku salat dulu deh." Aku pun masuk. Menyambar handuk di kamar dan ke muara. Tampak Bu Win tengah masak di warungnya. Aroma soto menguar di udara, sedapnya. Jadi pengen. "Main-main sinii." Aku mengangguk. Segera masuk ke bilik dan mengguyur tubuh dengan air yang kutimba dari sungai. Setelah selesai, aku segera salat lalu membantu Om Redi di dapur. Ia tengah menyisik ikan saat aku mendekat. "Mau dimasak apa, Om?" "Dipindang boleh, disambal pun enak juga. Suka-suka kau, laah." Aku pun segera membuat bumbu. "Setelah makan, kita ke rumah ibu kau." Aku langsung menggeleng. "Aku nggak mau, Om." "Ibu kau kawin hari ini. Kau harus datang." Aku kembali menggeleng. "Aku gak mau, Om." "Kita harus datanglah. Ayah dan mama kau juga datang. Kita ke sana bersama-sama nanti." Ia meraih bumbu yang telah kukupas lalu menumbuknya. Aku hanya memperhatikannya sambil menahan diri agar tak menangis. "Aku benci ibu." Ia mengibaskan tangan ke udara. "Taulah, aku. Jangan mellow lah kau ini. Dia tetap ibu kau. Kita langsung ke sana setelah makan." Kusentak pisau ke talenan. "Om kenapa sih kok maksa?!" "Ya karena kau biniku." Aku mengentakkan kaki dan masuk ke kamar, sudah tak selera membantunya. Ke rumah ibu? Sungguh rasanya, seperti aku disuruh lompat ke dalam kobaran api. Aku benci perempuan itu, yang menganggap anaknya aib sampai minggat bertahun-tahun. Om Redi masuk tak lama kemudian. Ia duduk memperhatikanku dalam diam. Cukup lama, barulah ia mendongakkan wajahku, memaksaku menatapnya. "Kau itu harusnya senanglah masih punya ibu. Kau lihatlah aku ini, besar sendiri. Ingin bertemu ibu bapak, tunggu mati dulu barulah bisa." Aku sesenggukan. "Makan yok. Terus kita berangkat." Ditariknya tanganku untuk berdiri. "Kau ni cantik kalau senyum. Jelek kau kalau nangis begini. Nanti keluar ingus aku jadi jijiklah." "Om apaan sih nyebelin bangeeet!" Aku mencubit perutnya, membuatnya meringis kecil. "Yok." Ia kembali menarik tanganku. Kami bergandengan menuju ruang depan, duduk di kursi berhadapan. Om Redi memasukkan nasi ke piring lantas mengguyurnya dengan kuah pindang. Kepala ikan gabus ukuran besar ia letakkan di piringku. "Makanlah. Ini favorit ayah kau." Aku menyuap perlahan. "Jangan nangis lah." Aku mengusap air mata. "Tapi gak lama kan Om kita di sana?" "Tenang sajalah. Hanya bentar." Aku sedikit lega walau rasanya begitu berat untuk menemui ibu. Selesai makan, kami pun berangkat. Om Redi memakai baju batik merah hati dan aku gamis biru langit dengan jilbab senada. "Cantik kau seperti bidadari." "Tapi dianggurin terus." Ia memandangku. "Apa?" "Auk, ah. Gelap!" Om Redi menggelengkan kepala, lalu kembali fokus menatap jalanan yang rusak parah. Aku memperhatikan spitboad yang melaju cepat di sungai, membuat air keruh kecokelatan memercik di sekitarnya. Hampir dua jam perjalanan akhirnya kami sampai rumah ayah. Orang tuaku ternyata sudah siap. Mama memberikan bingkisan mini padaku yang segera kuterima. "Ini berikan ibumu." "Apa isinya?" Aku sedikit menggoyangnya. "Kalung." Ayah menyahut sambil melirik mama. "Yang dia berikan padaku dan aku buang?" "Sudah berikan saja padanya. Kalau kamu tidak mau menerimanya, berarti itu hak dia." Ayah kembali berkata. Lalu ia memandang mama yang terus diam. Ayah menyenggolkan bahunya ke bahu mama lalu mencolek pinggangnya. "Cinta, ada apa dengan wajahmu?" "Nggak papa, Mas. Aku hanya senang aja dia akhirnya nikah gak gangguin suamiku lagi." "Cinta!" Ayah sedikit melotot. Aku menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya. "Yuk, ah, berangkat. Mbak, ASI ada di kulkas, yaa?" Mama menatap ke arah bekas kamar Farhan dan Caca. Setelah terdengar sahutan, mama segera menggandeng ayah. Kami pun menuju rumah nenek yang masih sejalur dengan rumah Ibu. Tapi rumah nenek dalam keadaan tertutup. Kami pun melewatinya. "Putri, kamu harus jaga sikap," ucap ayah sambil membuka pintu. Aku hanya diam. Menyusul turun lalu mengikuti langkah mama dan ayah yang sudah berjalan lebih dulu. Aku melangkah sambil melingkarkan tangan ke lengan suamiku. Om Redi terlihat tak nyaman namun tak kupedulikan. Tak semua orang tahu kami sudah menikah karena kami hanya menikah siri yang hanya disaksikan beberapa orang. Ibu yang tadinya terlihat muram duduk di samping suaminya, kini tersenyum lebar saat melihat ke arah kami. Mama menyalaminya dan mereka saling memeluk. "Semoga kamu bahagia," ucap ayah. Kulihat tangan mama langsung menarik tangan ayah. "Tentu dia bahagia, Mas. Yuk, ke sana!" Mama menuding meja pramanan. Aku memperhatikan ibu yang tersenyum lebar padaku, tapi tampak dipaksakan. "Ini untuk ibu." Diterimanya bingkisan yang kuulurkan. "Itu bukan murni dari aku. Tapi mama yang menyiapkannya." Ia mengangguk dengan tatapan terluka. Siger berkilauan di kepalanya juga gaun kuning lembut menyapu lantai membuat wajah babyfacenya terlihat sangat cantik seperti bidadari, tapi wajah sendunya mengaburkan semua itu. Gosip yang merebak, ibu terpaksa menerima pinangan lelaki yang tak dicintainya karena mama melabraknya. Entah gosip itu benar atau gak, aku tak peduli. Seperti ia yang tak peduli pada penantianku dulu. "Selamat Talita atas pernikahanmu," kata Om Redi. Ibu mengangguk, lelaki di sampingnya hanya diam. Wajahnya lumayan tampan, dengan kumis tipis di atas bibirnya yang kemerahan. "Tolong jaga dia dengan baik, Mas." Om Redi mengangguk. "Tentulah. Anak kau jadi biniku sekarang. Tentu kujaga." Om Redi merangkulku. Om Redi lantas menarikku menuju meja prasmanan. Aku hanya mengambil sedikit karena tak berselera makan. Sambil makan, kuperhatikan ibu yang duduk dengan wajah sedih. Seharusnya ia tak bersikap seperti itu sehingga membuat ayah merasa bersalah. Ayah makan sambil sesekali menatap ke arah ibu, dan itu membuat nama terlihat sangat jengkel. Aku menghampiri mama lalu menariknya berdiri. "Pulang yuk, Ma? Ayah, ayo pulang." Baik ayah maupun mama belum ada yang selesai makan, namun aku menarik tangan mama sehingga ayah dan Om Redi langsung mengikuti. Aku melangkah cepat keluar dari tenda pengantin dan menoleh ke belakang, ibu tampak tersengal-sengal. Ibu, kamu sungguh memalukan. "Seharusnya, mama gak usah ikut datang," kataku begitu duduk di ruang tamu rumah ayah. Mama mendengkus sebal. "Lelaki itu maksa terus!" Mama menuding ke arah ayah yang sejak tadi hanya diam, terlihat serbasalah. "Cinta, jangan mulai." "Kamu yang mulai, Mas. Terus memperhatikan dia!" "Aatagaa. Aku punya mata untuk melihat, Cinta." Mama menyentak napas. "Lihatlah Put, siapa yang dulu berjanji gak akan membuat mamamu ini menangis lagi karena ulahnya yang suka membunuh orang!" Ayah mengembuskan napas, ia menggelengkan kepala dan mengurut d**a. "Hey, kalian inii. Tak malu apalaah ada anak juga menantu? Put, pergi yok. Kuajak kau jalan-jalan. Yah, kunci." Om Redi mengulurkan tangan. Ayah berdiri dan melangkah ke kamarnya. Ia kembali dengan membawa dua kunci. Om Redi langsung menggandengku keluar. Kami menaiki motor ayah dan berhenti di bibir sungai. Om Redi mengulurkan tangan membantuku naik perahu. "Kau jangan bete lagi, laah." "Hanya kesal aja aku, Om. Dan apa Om gak liat orang tuaku bertengkar gara-gara ibu?" Om Redi menggelengkan kepala. "Tak bolehlah kau seperti itu." Om Redi menyetir melewati rumah-rumah panggung dari bilah-bilah kayu yang disatukan, terpacak di pinggiran sungai. Di salah satu rumah panggung dengan tampah-tampah berisi ikan dikeringkan dan kerupuk yang digantung-gantungkan, Om Redi melompat naik, ia kembali lagi kesini membawa 6 bungkus besar kerupuk ikan gabus. "Kesukaan mama kau ini." Aku mengangguk. Om Redi menyetir melewati pohon-pohon besar, sungguh teduh dengan kicau burung terdengar di mana-mana. Prenjak. Prenjaaak. Prenjaaak. "Sudah pulih suasana hati kau?" Aku mengangguk kecil. "Terima kasih udah hibur aku, Om." Ia mengibaskan tangan di udara. "Tentu aku harus hibur kau. Jangan sedihlah. Senyum. Senyum, kau." Tangannya mendongakkan wajahku. "Senyum kau." "Senyum." Aku tersenyum kecil, merasakan wajahku menghangat saat beradu tatap dengannya dalam diam. Angin sepoi-sepoi membelai tubuh menambah syahdu suasana. Om Redi mendekat lalu .... Bersambung. CATATAN Dalam cerbung Nafkah Batin diceritakan, Farhan dan Caca adalah anak Cinta dari pernikahannya dulu. Putri anak yang dilahirkan diluar nikah. Mas Zain dulu mantan preman. Cintanya ditolak oleh Talita, lalu Talita di ... dan lahirlah Putri. Jadi, cerita ini tuh lanjutan cerbung Nafkah Batin, kisah Mas Zain, Cinta dan Om Redi juga bibi Putri dulu. Jangan baca Nafkah Batin kalau masih di bawah umur. #Oh, ya, kisah Talita ibunya Putri, silakan baca dalam cerbung Istri Haram akan aku UP gratis sampai tamat tanpa kunci(Nanti yaa, setelah TTD kontrak baru mulai aku UP. Setelah tamat baru kunci. Jadi untuk yang mau baca Istri Haram jangan tertinggal. Jangan lupa follow akunku Soh lalu tap love atau b**********n cerita ini agar selalu dapat notif tayang. Sebentar lagi bakal ketahuan kebohongan si Putri. Gimana kira-kira reaksi Om Redi tuuh? Insyaallah nanti sore UP cerbung Pernikahan Haram. Pernikahan Haram masih nyambung di cerbung Nafkah Batin Lanjut enggak? Lanjut enggak? Kalau ada yang komentar, insyaallah lanjut sabtu. Kalau gak ada yang komentar berarti gak ada yang baca, jadi kulanjut kapan-kapan aja. hehe
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN