12

1414 Kata
Angin sepoi-sepoi membelai tubuh menambah syahdu suasana. Om Redi mendekat lalu mendongakkan daguku. Ditatapnya aku tanpa kedip. Aku perlahan memejamkan mata saat ia kembali mendekat, mencium bibirku lembut. Sumpah rasanya, aku deg deg kan banget, juga sangat bahagia seperti terbang di awang-awang. Caranya mencium lebih pintar dari Rizal. Wajahku menghangat saat ciuman kami berakhir dan kami hanya bersitatap dalam diam. "Apaan sih, Om!" kataku saat ia tiba-tiba tersenyum. Sebelah matanya mengerling jail. "Tak." Ia menggeleng. Lalu kembali mengemudi menuju jalan pulang. Aku sedikit mencondongkan tubuh hingga telapak tanganku menyentuh dinginnya air keruh namun jernih ketika dipercikkan ke udara dan terus mengayun-ayunkan air ke udara. Ciuman barusan sungguh membuat suasana hatiku membaik. "Kau ingin kita langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" Ia sepertinya juga terlihat salah tingkah. Wajahnya bersemu malu saat tatapan kami bertemu. "Terserah Om aja." "Baiklah, kita mampir ke kebun jeruk setelah itu langsung pulang." "Kenapa gak ke Taman Kehati aja, Om?" Paling nggak di sana bisa berenang atau kalau malas berenang bisa lihat binatang-binatang. "Kau bilang tadi terserah. Kita beli jeruk yang banyak biar anak kita ini tumbuh bergizi." Tangannya mengusap perutku. Berbeda dengan beberapa hari lalu yang terus mengelak bahwa tak mungkin yang kukandung adalah anaknya karena ia tak ingat melakukannya, kini Om Redi terlihat begitu senang. Tatapan Om Redi kembali lurus ke depan, aku memperhatikannya sambil senyum-senyum sendiri karena berhasil mendapat perhatiannya. Om Redi memberikan kunci pada ayah begitu kami sampai lalu kami naik ke mobil untuk ke taman buah. Kami berputar-putar sambil memetik buah hijau segar terlihat ranum lalu memberikannya ke penjual. Setelah itu langsung pulang, kami duduk di halaman samping yang begitu sejuk dengan angin yang bertiup dari pepohonan besar dan Om Redi mengupaskan jeruk untukku. So sweet, romantis banget, kan? Tak kusangka ia akan bersikap seperti ini. "Kau lapar tak?" Ia memandangku. "Lapar. Tadi hanya makan sedikit pas tempat ibu." Ia bangkit dan kembali lagi membawa piring berisi banyak nasi juga dua potong kepala gabus besar. Aromanya yang gurih menguar di udara. "Kau makanlah semua. Biar anak kita ni sehat." Ia menatap ke perutku dengan sedikit mengernyit. Sudah pasti ia heran karena perutku hanya segini-segini aja. Baiklah. Nanti pakai pengganjal perut agar ia tak heran terus. "Om," kataku sambil menyuap. Lalu aku mengulurkan sendok ke arahnya dan menyuapinya. Ia tertawa kecil. "Kenapa?" Aku menatapnya heran. "Tak." Om Redi jelas belum biasa melakukan ini denganku, jadi aku memaklumi sikapnya. "Kalau ... anak ini udah lahir, apa Om bakal ninggalin aku?" Aku mengamati wajahnya, berharap ia menggeleng. Namun ia langsung mengangguk tanpa keraguan. "Tentu, laaah." Ucapannya seketika membuatku berubah muram. Ia memandangku dan tergelak. "Ya, tak, lah. Kalau dia lahir ...." Diusapnya perutku. "Kita harus merawatnya dengan benar. Tak inginlah aku, anak kita ni kekurangan kasih sayang orang tuanya seperti kau dulu." Ia usap kepalaku. "Itu berarti, Om gak bakal ninggalin aku sampai kapanpun?" "Tak, lah. Aku tak mungkin ninggalin kau. Kecuali kalau anak ini tak tertolong, kita bisa bicarakan." Aku menatapnya dengan d**a bergemuruh hebat. "Putri, kita berpikir realistis sajalah. Aku tu, sangat mencintai bibi kau itu. Kau tau, kan? Dan kau bisa jadi dalam masa labil sekarang. Belum tentu setahun lagi perasaan kau masih sama." Aku terisak lirih. Itu berarti kalau aku jujur gak tengah hamil, ia akan langsung meninggalkanku, ya kan? Apalagi pernikahan kami hanya hitam di atas putih. Om Redi memandangku. Tangannya mendongakkan daguku. "Hey, kenapa kau jadi melow? Kau terlihat sehat, tentu dia akan lahir dengan selamat. Aku ni, sudah senang bayangkan sebentar lagi dapat anak. Senyum. Smile, Putri." Aku hanya terisak lirih. "Hey, senyumlah kau. Aku ini senang lihat kau senyum seperti bidadari." "Kalau aku seperti bidadari, kenapa Om gak bisa mencintaiku?" Aku memperhatikannya yang terus diam. "Nanti, aku akan belajar cintai kau," ucapnya akhirnya. Hatiku kembali berbunga-bunga. "Sekarang, Om. Jangan nanti." "Ya, laah. Aku belajar cintai kau sekarang." Ia menyuapiku lalu menarikku bersandar di dadanya. "Kau ingin aku nyanyi?" "Boleh, tapi bukan lagu balonku ada lima atau cicak-cicak di dinding. Yang romantis." "Oke, lah, bisa aku tu. Kau be-gitu sempurnaa, di mataku kau begitu indaaah, huek hueek!" Ia pura-pura muntah. Aku mencubit lengannya. "Aku ni, jadi ingat ayah kau suka nyanyi-nyanyi begitu untuk Cinta, jadi pengen muntah lah aku. Seperti ABG saja mereka." Aku menyentak napas. Ia mendongakkan daguku. "Kau kan tau aku tak bisa romantis. Ingat, kau dulu yang ajari aku tembak Nana." Aku ingin merajuk, tapi yang dikatakannya benar. Aku yang dulu.memgajarinya cara mengatakan cinta pada bibi. Kini, kami hanya diam-diaman. Sampai akhirnya Om Redi menyenggolkan bahunya ke bahuku. "Jangan ngambeklaah." "Aku gak ngambek." Om Redi sedikit mengangkat tubuh lalu merogoh saku saat HP-nya berdering. "Ya, ada apa, Ra?" Om Redi manggut-manggut. Ia mematikan HP lalu memandangku. "Ada Tara di luar. Ke sana yook." Ia mengulurkan tangan lalu menggandengku lewat halaman samping. Om Tara tengah duduk di kursi panjang bersama Mbak Neni. Wajah perempuan itu terlihat tak senang. "Pengantin baru, gandeng-gandengan." Tara menatap ke arah tangan kami yang masih bertaut, membuat Om Redi buru-buru melepaskan genggamannya. "Yok masuk yok. Datang tak bilang-bilang kalian ni." Om Redi mendorong pintu hingga membuka. Om Tara tersenyum, sementara istrinya hanya mengangguk. Mereka berdiri lalu mengikuti kami masuk ke dalam. Aku ke dapur untuk membuat teh, lalu duduk di samping Om Redi yang tengah mengobrol dengan Om Tara membicarakan bisnis. Aku dan Mbak Neni hanya menyimak saja. Lama-lama aku bete dan memilih ke dapur untuk membuat bakwan. Mbak Neni menyusulku. "Kamu senang tinggal di sini?" Ia mengambil alih spatula dari tanganku dan membalik bakwan di penggorengan. "Senang. Walau agak ngeri kalau malam." Mbak Neni tertawa kecil. Ia memandang ke arah perutku. "Mau gak mau, itu pasti bertambah besar." Aku hanya nyengir kecil. Mama pasti sudah cerita banyak pada temannya ini. "Apa mbak berniat cerai?" Aku memandangnya, ia tersenyum getir. Sudah menjadi rahasia umum kalau ia tak mencintai Om Tara. Ia diperkos* Om Tara dan hamil, lalu harus menikah. Mbak Neni sama sekali tak menyahut ucapanku. Ia menata bakwan dari serok ke piring lalu membawanya menuju ruang tamu. Aku mengikuti, duduk diam di samping Om Redi. "Red, bisa antarkan aku ke Gajah Mati? Aku ada bisnis." Om Redi langsung mengangguk. "Bisa laah." Ia mencium keningku lalu berdiri, membuat Om Tara berdeham kecil. Om Redi langsung mengibaskan tangan ke udara. "Apalah kau ini. Dia ini bilang, tiap aku mau pergi dan pulang, aku harus cium dia." Om Tara tertawa memandangku. Benar-benar Om Redi. Gak perlu bicara seperti itu juga kali, pada temannya. Mereka menuju pintu dengan bahu berguncang, begitu juga Mbak Neni, pasti menertawaiku. Usai mereka pergi, aku memberesi rumah. Merapikan tempat tidur dan mandi. Aku bersolek di depan cermin dan mengenakan pengganjal perut. Juga pengganjal ** yang membuat d**a terlihat lebih berisi. Lalu aku tersenyum sendiri di cermin. Om Redi pasti senang karena perutku terlihat besar. Suamiku pulang pulang bakda isya. Cukup membuatku risau takut ia pulang larut. "Bisnis apaan sih, Om, pulangnya malam banget." Aku cemberut. "Ngobrol dulu tadi." Ia mengusap gemas kepalaku. Tatapannya jatuh ke perutku dan matanya melebar. "Kenapa, Om?" "Tak apalah. Heran aku ni. Perut kau tiba-tiba besar begini. Seperti sulapan." Aku mendelik. "Yaa namanya udah tiga bulan, Om. Ya gede. Ini karena aku pakai baju ketat gini, jadi terlihat gede." Ia mengangguk-angguk. "Benar juga. Kau terlihat seksi." Wajahku terasa menghangat saat ia menatapku dari atas ke bawah. "Sana salat, Om. Lalu bobok, yuk, udah malam." Ia mengangguk-angguk. Disambarnya handuk lalu keluar rumah. Aku menunggunya di kamar sambil membaca artikel tentang kehamilan lewat HP. Om Redi menghampiriku tak lama kemudian. Ia berbaring miring memandangiku. "Kenapa, Om?" "Kau terlihat seksi pakai pakaian seperti itu." Wajahku merona malu. Tangannya mengusap lembut perutku. "Jadi pengen lah aku." Ia mendekat mengikis jarak, membuatku tersentak kaget. Om Redi mendongakkan wajahku. "Yok?" "Ayo apa, Om?" Jantungku berdetak kencang bukan karena ia akhirnya mengajak melakukan hubungan suami istri. Tapi karena aku takut ketahuan. "Cinta tadi bilang padaku, tak apa lakukan. Kau juga terlihat sehat." Ia kembali mengikis jarak, sementara aku beringsut mundur dengan tubuh mendadak panas dingin. Tentu akan langsung ketahuan aku menggunakan pengganjal perut jika sampai melakukannya. "Kenapa, laah, a-yok." *Duuuh gimana niiiih? Akankah Putri ketauan? 100 komentar aku lanjut besok, aaah. Catatan Tara, Om Redi dan Mas Zain ayahnya Putri itu sahabat dekat di cerbung Nafkah Batin. Jadi nanti akan sering ketemu dengan Mas Zain dan Cinta di sini. Yang mengikuti cerbung Istri Tak Pernah Disentuh udah tamat yaaa barusan, hanya 31 bab dengan bab pendek-pendek, bisa dibaca sekali duduk. Satu menit lagi UP cerbung Tuan. Nanti sore UP cerbung Pernikahan Haram. Pernikahan Haram masih nyambung dicerbung Nafkah Batin. 100 komentar lanjut besok. Komentari isinya bukan komen next
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN