"Kenapa kau memecat Rosèlind ?"
Itu adalah kalimat yang kupertanyakan pertama kali saat Grigorii memanggilku ke kediaman pribadinya. Malam itu aku berkunjung padanya dengan emosi karena Rosèlind mengucapkan salam perpisahannya lewat pesan singkat. Pria itu tak bergeming. Dia justru menatapku dengan sengit seolah aku telah melakukan dosa terbesar dan tidak tahu diri.
"Itu yang ingin kau katakan padaku ? Apa ini semacam sandiwara lain untuk menipuku ?"
Aku terlonjak, mengapa dirinya bertindak seolah aku yang bersalah. Aku tak langsung menjawab dan mencoba memancingnya.
"Menipumu ? Untuk apa aku melakukan hal seperti itu ?"
"Kau cemburu padaku kan ? Karena aku bersama wanita lain dan mencampakanmu. Kupikir kau wanita yang terhormat."
Saat itulah aku melihat Meisei berdiri dipintu kamar Grigorii. Dia tak mendekat. Namun dari kejauhan aku mendapat dua kesimpulan. Pertama mereka mungkin sudah bermalam bersama dan yang kedua perempuan itu lebam dibeberapa bagian tubuhnya. Aku tidak merasa kedua kesimpulan itu penting bagiku. Aku menghela napas. Grigorii terlalu banyak menonton sinetron atau bagaimana ? Mengapa dia tidak bisa memikirkan hal yang lebih logis dari ini ?
"Aku tak tahu apa yang merasuki pikiranmu. Kau bilang cemburu ? Sejak awal pernikahan kita aku menganggapmu hanya sebatas kolega begitupun kau. Jadi sangat tidak masuk akal dengan memberiku tuduhan bodoh itu."
"Oke. Lalu bagaimana kau menjelaskan dengan luka ditubuh Meisei ? Sudah sesuai rencanamu ?"
Rencanaku ? Aku mengernyitkan dahi. Mungkinkah perempuan itu yang mengadukan halusinasinya pada Grigorii dan suamiku percaya padanya jika luka itu karena aku ?
"Aku bertemu dengannya baru satu kali. Kurasa saat kalian sedang bermain api."
Aku sengaja membawa topik itu kembali. Namun diluar dugaan respon Grigorii lebih tak suka.
"Kau memang tidak secara langsung melukainya. Kau menggunakan orang untuk melakukannya."
Oh.. aku mengerti sekarang. Alasan mengapa Rosèlind dipecat dan dia tak ingin mengatakannya padaku adalah karena ini. Roselind mungkin telah melakukan sesuatu dibalik ketidaktahuanku.
"Kau percaya aku yang memerintahkan Rosèlind melukainya ?"
Aku menebaknya, jika benar dugaanku dan bila jawaban yang dilontarkan Grigorii relevan. Maka itu artinya segalanya sudah begitu jelas. Aku perlu bertanya pada Rosèlind tentang tindakannya nanti. Mengapa sahabatku perlu merepotkan diri dengan melabrak perempuan yang jelas-jelas sudah meracuni otak Grigorii.
"Siapa lagi yang mendapat keuntungan dari itu semua selain kau ? Rosèlind itu hanya orang asing."
Tidak dia tak asing. Dia adalah sahabatku. Dan dia melakukannya karena ingin melindungiku. Sejak awal mendengar rumornya Rosèlind adalah orang pertama yang menaruh kebencian pada Meisei. Tapi aku tak bisa mengatakan itu. Dengan keberaniannya maju membelaku saja aku tak habis pikir.
"Keuntungan apa yang kau maksud ?"
"Kenapa kau berbelit-belit sekali sih ? Apa susahnya mengakui. Jika kau melakukannya aku akan menganggap ini selesai."
"Aku tidak akan mengakui sesuatu yang bukan kesalahanku."
"Keras kepala. Itulah kekuranganmu. Tak bisakah sekali saja kau menuruti aku ? Mengalah padaku ?"
Aku mengernyitkan dahi. Mengapa aku harus melakukan itu ? Tidak ada keharusan bagiku untuk merendahkan diriku didepannya.
"Untuk apa aku melakukannya ?"
"Kau bahkan tidak bisa dibandingkan- ah... sudahlah. Pergilah."
Aku diundang kerumahnya hanya untuk dimaki-maki saja ? Luar biasa sekali Grigorii ini. Dibandingkan dengan siapa ?
Sejak dulu kriteriaku sebagai pemilik paras yang cantik jua otak yang cerdas sudah terlampau melekat. Terlebih orang-orang memang sering memuji atas pencapaian yang aku lakukan. Namun diluar daripada itu, aku sudah terlalu lama membuang diriku dari perbandingan. Bagiku setiap orang memiliki specialisasinya sendiri dan tak ada tolak ukur yang pasti. Namun hari ini suamiku berani membandingkan aku ?
***
Aku kehilangan sahabatku, kolega kerjaku, juga sang pemberi nasihat. Lucunya meski aku seorang istri CEO aku tak dapat melakukan apapun untuk membuat Rosèlind berada disisiku. Lagipula meski aku memintanya bertahan, gadis itu tak akan sudi menjilat ludahnya sendiri. Dia keras kepala. Aku tahu itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa setelah dia memutuskan untuk berhenti.
Otakku terasa penuh, pekerjaan didepan mata sudah menanti. Rasanya aku ingin kabur darisini. Ini terlalu penat dan melelahkan.
"Permisi Bu direktur."
Pria bersurai karamel membuka pintu ruang kerjaku, wajahnya bersinar dengan senyum lima jari terpatri diwajahnya. Tangannya penuh dengan nampan berisi makanan dan juga dua cangkir berisi tiga minuman yang berbeda. Kopi, s**u, dan teh serta kudapan manis sebagai pendukungnya. Aku memandang Leivh lagi. Namun pria itu masih tak buka suara selain menaruh nampannya diatas meja kerjaku.
"Kurasa Anda memerlukannya."
Katanya lagi dan tak beranjak. Justru kakinya memaku lantai. Pria itu mungkin sedang memastikan apakah aku memakannya atau tidak.
"Apa yang kau lakukan ?"
Aku memicing. Menatapnya dengan aneh, namun Leivh hanya mengedikan bahu.
"Mencoba menjadi asisten pria baik yang memperbaiki mood bosnya. Apa itu cukup sebagai jawaban ?"
Kali ini dia mendekat, dan aku tak bisa untuk tidak mendelik. Pelan jemarinya meraih salah satu biskuit kemudian memegangnya di depan mulutku.
"Buka mulut anda Bu direktur.. aaa.."
Aku mendengus, posisiku yang terduduk kini berdiri. Hampir setengah menggebrak meja juga. Aku sedang stress dan hampir gila. Tapi pemuda ini malah bermain-main denganku bukannya bekerja.
"Seharusnya anda mengerjakan pekerjaan anda Tuan Leivh."
Aku berkata dengan dingin, meski aku mengacuhkan tindakannya yang ingin menyuapiku pria itu bersikukuh menyelipkan biskuit itu disela bibirku.
"Anda harus menjaga pola makan anda Bu direktur saya tidak ingin anda sakit."
Aku sejenak menerima potongan biskuit itu. Mengunyahnya kemudian menelannya. Manis. Sesuai dengan harapanku. Dan lagi kini pemuda itu menatapku dengan cemas. Apa-apaan reaksi tak biasa ini ? Siapa dia ?
"Kurasa pekerjaan Miss Rosèlind juga harus kau tangani.
Pria itu hanya memberiku cengiran canggung sambil menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Ya.. saya akan bekerja keras bu direktur. Saya permisi."
Leivh membungkuk padaku sebelum meninggalkanku sendirian. Lagi-lagi begini. Tak ada siapapun yang berdiri disampingku. Aku harus selalu sekeras batu, sekuat baja. Meski disudut hati aku merasa hampa. Entah aku bisa kuat atau tidak yang jelas aku hanya ingin bergerak maju tanpa halangan.
Aku menyapu sekeliling, memperhatikan dekorasi yang sesungguhnya baru aku lihat sedetail ini. Ruang kerjaku ternyata seluas ini, meski mewah namun kenyamanan tak bisa kudapatkan. Aku menghela napas kemudian pandanganku jatuh pada nampan yang dibawa Leivh padaku. Pria itu sangat lucu dengan caranya menghiburku. Ya, dan aku pada kenyataannya sedikit lapar. Maka aku gunakan waktu sendirianku untuk mencicipi beberapa biskuit dan kue kering yang Leivh siapkan untukku. Rasanya manis dan sedikit asin. Sesuai seleraku. Dan sejenak itu sedikit menghapus kemuraman hatiku.
Aku mendengar ketukan dipintu masuk ruanganku dua puluh menit kemudian, aku memberi akses pada si pengetuk untuk masuk. Namun ketika aku melihat sosoknya, dahiku mengernyit. Rasa tak suka menyebar keseluruh tubuhku. Lagi-lagi kepalaku berdenyut pusing. Satu-satunya caraku untuk menenangkan diri adalah diruangan ini. Ironisnya justru si biang masalah yang datang menghampiri. Lebih tepatnya dia berani masuk keruanganku.
"Ada urusan apa ?"
Aku tak kuasa menahan amarahku padanya. Kulihat Meisei sedikit ketakutan namun sorot matanya menatapku simpati. Apa-apaan itu ? Dia mengasihani aku ?
"Aku minta maaf, lain kali aku akan menjaga sikapku."
Meisei berdiri didepanku, kedua tangannya ia genggam didepan tubuh. Gesture yang menunjukan betapa ia menyesali perbuatannya juga tanda bila ia sangat tidak nyaman bicara denganku.
"Ya."
Aku menghela napas setelah. Aku berharap bisa melalui hal ini dengan baik tanpa adanya masalah lagi. Aku merasa lelah bila harus ribut dengan Grigorii karena dirinya.
"Kuharap kita bisa berteman kedepannya."
Dia kali ini tersenyum, seolah sabar yang kutekan berarti ajakan perdamaian. Kata-katanya kembali membuatku tersinggung.
"Maaf ?"
Tanpa sadar aku menaikan nada suaraku. Kemudian balas menatapnya sengit. Senyum yang terbit diwajah Meisei berganti menjadi seolah kebingungan.
"Grigorii bilang kami akan menikah dalam waktu dekat. Dan bu direktur akan menjadi kakakku juga."
Dia menjelaskan, sikap penyesalan yang tadinya kupertimbangkan untuk kumaafkan menguap entah kemana. Yang jelas lagi-lagi wanita ini mengacau dengan terus menguras habis stok kesabaran yang aku miliki. Aku tak tahu darimana Grigorii memungut wanita ini. Tapi yang jelas naif dan kebodohan itu berbeda. Aku tak menyangka bila dia jelas lebih kearah dungu daripada polos.
"Tidak."
Aku menolak tegas. Kini sikapnya semakin tak bisa kumengerti. Bagaimana rautnya menjelaskan seolah dia adalah korban dan aku antagonist yang sedang berusaha mengintimidasinya. Bagaimana bisa dia melakukan itu ?
"Apa ?"
Dia terkejut sesaat sebelum akhirnya menatapku dengan matanya yang mulai sembab. Terus terang aku tidak mengerti dimana letak kesalahan jawabanku padanya.
"Meski kau menikah dengan suamiku tidak akan ada yang berubah diantara kita."
"Tapi.."
Dia berusaha memberiku argumen lain. Tapi aku tak memberinya kesempatan dengan memotong ujarannya.
"Kau tetap orang asing bagiku. Dan akan tetap begitu."
"Apa membenciku sampai berkata hal yang kejam."
Jika kamu adalah orang normal dan hidup bersosialisasi dengan manusia lain tentu saja adalah sebuah kewajaran bila aku membencinya. Tentu saja. Meskipun aku menikah tanpa dasar cinta, hubungan pernikahan kami sebelum kedatangannya baik-baik saja. Namun sekarang tidak ada kata 'baik' yang ada hanya percekcokan dan itupun membuatku berada dipihak yang tersalahkan. Apa aku aneh ? Apalagi aku mendengar dia menanyakan hal yang sudah pasti seperti itu tanpa tahu malu.
"Ini tidak ada hubungannya dengan membencimu atau tidak. Aku hanya mengatakan kondisi kita berdua secara nyata."
"Aghta."
Demi Tuhan aku mengerang frustasi. Setelah semuanya dia bahkan berani menyebut namaku ? Sebelumnya aku tak punya masalah apabila seseorang menyebut namaku tanpa embel-embel apapun. Namun mendengar mulut perempuan itu yang menyebutnya, aku merasa butuh sebuah tanda bila ada perbedaan besar atau bahkan kasta yang terlalu tinggi antara aku dan dia.
"Pergilah.. tidak ada yang perlu kudengar lagi dari mulutmu."
***
Grigorii menatap meja kerjanya. Selepas masa istirahatnya berakhir, dia merasa kepalanya penat. Beberapa waktu lalu Meisei bilang padanya akan pergi ke toilet dan mencoba untuk bersosialisasi dengan karyawan lain sebagai bagian orientasi. Terus terang dirinya merasa sedikit khawatir terlebih karena Meisei adalah tipikal orang yang bergerak sesuai kata hatinya. Dia berharap wanitanya itu tidak membuat sebuah masalah lagi.
"Hiks.."
Grigorii terkesiap kala Meisei masuk kedalam ruangannya dalam kondisi matanya yang sembab dan pipi yang basah karena air mata. Geram melonjak naik dalam diri Grigorii. Pria itu segera mendekat kemudian memberi Meisei sebuah pelukan untuk menenangkannya.
"Ada apa hm ?"
"Istrimu membentakku."
Grigorii tahu bila Aghta tak pernah berkeliaran di jam jam segini. Istrinya itu akan sangat disibukan sampai jam pulang. Tapi mungkin saja kebiasaanya berubah karena emosi perempuan memang tak bisa diprediksi. Dia tak buru-buru mengambil kesimpulan.
"Apa ? Bagaimana bisa ?"
Grigorii bertanya lagi sambil sebelah tangannya mengelus-elus punggung Meisei. Isakannya perlahan mulai berhenti. Kemudian Grigorii membawa perempuan itu untuk mengikutinya. Duduk di kursi tamu, kemudian membawa kepala Meisei untuk bersandar dibahunya. Sebelah tangannya dia gunakan untuk mengelus puncak kepalanya.
"Aku menemuinya, dan dia seperti membenciku."
"Kenapa kau menemuinya ?"
"Itu... karena aku ingin berteman dengannya."
"Kenapa ?"
"Kamu berjanji menikah denganku dalam waktu dekat. Karena itulah aku berpikir setidaknya aku dan istrimu harus bisa akur karena kita akan menjadi keluarga."
Grigorii seketika skeptis. Bagaimana bisa pemikiran sedangkal itu ada dalam otak Meisei. Tak habis pikir bagaimana caranya dia mengatakan itu pada istrinya. Tapi meski begitu pemikiran polos Meisei ada benarnya. Di masa depan keduanya akan menjadi sosok istrinya. Dan mereka ada untuk saling melengkapi. Aghta sebagai kolega bisnis yang handal dan Meisei sebagai wanita yang menjadi istri tercintanya.
"Kau harus melakukannya pelan-pelan."
Meisei hanya mengangguk dipelukan Grigorii sembari berusaha menghapus air matanya.
***
"Anda terlihat stress bu direktur, mau saya buatkan kopi ?"
Kembali lagi Leivh memperhatikan kondisiku yang makin memburuk. Sejak pertemuanku dengan Meisei kemarin. Migrainku kambuh lagi. Dan itu menyiksa sungguh.
"Kerjakan saja tugasmu."
Aku menyahut Leivh dengan ketus. Denyutan dikepalaku kian menjadi. Kopi bukan jawaban tepat bagiku saat ini.
"Aku terkenal handal dalam meracik kopi. Mau kubuatkan satu ?"
Kembali pria muda itu membuatku. kesal. Dia berusaha membujuk aku. Namun tentu saja, itu tidak akan mempan sekeras apapun dia mencoba.
"Apa kau tuli ?"
Aku menjawab dengan nada tinggi. Sesaat kulihat ekspresi wajahnya terkejut. Namun senyum penuh kehangatan justru dia berikan padaku.
"Leivh. Kuharap kau tidak lupa lagi. Jadi panggil aku dengan namaku. Bu direktur."
"..."
"Okay.. ini dia kopi buatan barista handal Leivh Alexei dan snack nya."
Dia berkata dengan santai sembari meletakan segelas air putih dan pil. Ibuprofen kurasa, apa yang dia sajikan berbeda dengan yang dia katakan. Untuk sesaat aku merasa pria itu tahu benar dengan kondisiku.
"Apa ini jelek sekali ?"
Aku membercandainya. Berkomentar seolah air putih yang dia sajikan adalah kopi sungguhan.
"Ey.. ini seni Bu direktur. Anda tidak bisa lihat karya seni yang ku buat ?"
Dia berkata dengan nada canda. Sesaat aku bisa menarik sudut bibirku keatas.
"Ini karya terburuk yang pernah kulihat. Darimana datangnya kepercayaan diri itu ?"
Aku membalas ujarannya. Dan diluar dugaan pria itu balas menatapku dengan binar-binar dalam setiap kerlingan matanya.
"Akhirnyaa.. ternyata kau bisa tersenyum juga ya."
Seketika aku mengatur ulang wajahku untuk kembali kaku. Aku merasa malu karena Leivh memergoki perasaanku yang sesungguhnya. Aku tak menjawabnya. Dan sibuk membuat diriku kembali pada ekspresi semula.
"Aku khawatir karena melihatmu muram sepanjang waktu. Kalau tidak salah semenjak kamu bertemu Pak CEO beberapa waktu lalu."
Lagi-lagi soal itu, dia membuatku mengingat luka. Aku kembali ketus seperti moment pertama. Dan kulihat Leivh hanya terkikik kecil.
"Itu bukan urusanmu."
"Suasana hati itu berpengaruh terhadap hasil dari pekerjaan. Aku memberi saran karena khawatir nantinya tidak akan sesuai harapan."
"Kau benar."
"Always. Ngomong-ngomong bu direktur.."
"Ada apa ?"
"Kamu cantik saat tersenyum."
Semburat merah seketika nampak. Bukan padaku namun pada Leivh. Baru kali ini aku menemukan orang yang malu setelah memuji pihak lain. Bahkan telinga pria itu memerah.
"Terimakasih.. kamu membuat suasana hatiku lebih baik."
Dia berbalik dengan ekspresi malunya, menatapku dengan tatapan tak percaya. Kemudian ekspresinya meningkat menjadi senyum cerah ceria. Leivh memang pemuda penuh semangat.
"Aku senang bisa membuatmu lebih baik. Bu direktur."