Seperti yang Rosèlind bilang. Grigorii membawa perempuan bersamanya. Kabar itu berembus dengan cepat dan menjadi buah bibir diperusahaan kami. Aku yang awalnya yang diam membatu merasa harus mengambil tindakan. Ini tidak seperti Grigorii yang biasanya. Jika dulu ada gosip murahan beredar, dalam satu jam dia akan menyelesaikannya dengan cepat dan membuat reputasinya kembali dititik stabil. Tapi kali ini dia tidak berbuat apapun ? Mungkinkah pria itu memprioritaskan hal lain sekarang ?
Menjadi pusat perhatian apalagi buah bibir untuk skandal sangat membuatku tak nyaman. Terlebih aku terlibat pula dan dicap sebagai istri yang terbuang. Haruskah aku mengumumkan pada khalayak jika kejadian kali ini hanyalah kondisi biasa dan tidak ada sangkut pautnya soal perselingkuhan atau yang lainnya ? Tapi sebelum itu aku butuh persetujuan Grigorii. Karenanya aku melangkahkah diriku menuju ruang kerjanya. Sendirian. Aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman ini. Aku mendorong pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Seperti biasa sebab aku memang memiliki otoritas dan hak akses penuh untuk melakukan itu. Sebab Grigorii adalah suamiku, meskipun dikantor ini aku hanyalah bawahannya saja.
Tercengang.
Aku merasa kakiku tak menapak dilantai ketika melihat dengan kedua mataku. Pemandangan didepan sana membuatku mual. Bagaimana tidak ?
Grigorii sedang bercengkrama. Tidak. Deskripsi yang paling frontal yang bisa kubagi adalah. Dia berciuman dengan perempuan yang menurut gosip adalah orang yang dibawa bersamanya pagi ini. Posisi perempuan itu duduk diatas meja, dengan Grigorii berada didepannya. Kehadiranku yang tanpa aba aba sebelumnya sontak membuat mereka kaget dan beringsut mengambil posisi wajar. Meskipun tidak akan pernah bisa menjadi wajar sebab aku sudah terlanjur menyaksikan perbuatan mereka. Aku mengerutkan kening tatkala melihat atasan perempuan itu terbuka lebar, dia tak bisa menutupi dadanya karena sebagian kancingnya terlepas. Sebringas apa Grigorii padanya sampai menghilangkan kancing baju segala ?
Aku mengatur napasku. Kemudian menatap tajam pada Grigorii yang kelihatan serba salah. Dia merapikan dasinya kembali seperti sedia kala. Upaya terakhir yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki suasana. Kikuk. Menatapku dengan canggung, dirinya berdehem sesaat. Namun itu tak mengubah apapun. Justru kini aku berfokus pada perempuan manis yang berdiri disampingnya. Dia menunduk, berusaha menutupi tubuh bagian atasnya. Tapi tak bisa. Aset miliknya terlalu ‘besar’ untuk bisa ditutupi hanya dengan kedua tangan.
"Tutupi tubuhmu dengan ini."
Pertama aku mengulurkan blazerku pada si perempuan. Dia nampak malu, wajahnya merah padam. Mungkin dia tak mengira akan ada saksi mata dari perbuatan mereka beberapa menit lalu. Aku melakukannya bukan atas dasar empati. Aku hanya ingin membuat pandanganku lebih baik itu saja. Dan Grigorii berdehem. Dia lagi-lagi berusaha mencairkan situasi yang sudah terlanjur tegang.
"Ada perlu apa ?"
Tanpa basa basi. Seperti biasa. Dia memberiku sambutan dingin khasnya. Aku menyapu sekitar, sebelum akhirnya melipat kedua tangan didepan d**a. Kemudian memutar kedua bola mataku.
"Tanpa mempersilahkan aku duduk ? Sebegitu tidak ingin nya kah bertemu denganku ?"
Aku berkata dengan tajam, Grigorii nampak terkejut atas responku. Dia berdehem sedikit kemudian memberi kode pada perempuan yang sudah berpakaian dengan benar tersebut untuk meninggalkan tempat. Namun dia tak bergerak. Apa dia bodoh atau tidak tahu malu ? Aku menatap mereka berdua. Dan kurasa Grigorii menyerah untuk mengusirnya.
"Baiklah silahkan duduk."
Aku mencari tempat yang nyaman. Meski kata nyaman saja sudah hanya tinggal khayal. Ruangan ini sudah terlanjur menjijikan untuk kuinjak. Berlama-lama diruangan ini hanya membuat pikiranku memutar kejadian memuakan barusan.
"Aku bermaksud mendiskusikan soal kesalahpahaman yang terjadi hari ini. Tapi melihat tindakanmu tadi sepertinya itu bukan kesalahan."
Lagi-lagi Grigorii seperti tak nyaman denganku. Dia bergerak gelisah, namun rautnya kembali ke sosoknya semula. Grigorii yang dingin. Aku sudah lama bersamanya. Meski dia berusaha menyingkirkan kegelisahan, aku masih bisa menangkapnya.
"Kurasa aku sudah pernah bilang padamu untuk mengurusi masalah pribadi kita masing-masing apa kau lupa ?"
Aku menggeleng. Tentu saja tidak. Aku masih ingat jelas. Itu adalah kesepakatan antara aku dan dia diawal pernikahan. Tidak ada perasaan yang terlibat dan kami tidak akan saling mengurusi kehidupan pribadi. Namun hal ini sedikit berbeda, sebab masalah pribadinya menyangkut pautkan soal diriku. Dan aku berharap besar dia akan membereskan segalanya seperti sebelumnya.
"Tentu saja aku ingat. Tapi hari ini kau ceroboh. Tidak bahkan hari sebelumnya."
Aku menyanggah ujarannya. Sesekali aku mengalihkan padanganku pada perempuan simpanan Grigorii. Perempuan itu masih berdiri ditempat yang sama. Memasang kedua telinganya. Menyimak pembicaraan kami. Aku menghela napas kemudian kembali beralih pada Grigorii lagi.
"Apa maksudmu ?"
Dia menautkan kedua alisnya, seolah tak paham akan kondisi yang sudah terjadi beberapa hari sebelumnya. Apa otak cerdas miliknya sedang tersendat ? bagaimana mungkin orang sekompeten Grigorii bisa seceroboh ini hanya karena seorang perempuan antah berantah ?
"Kau tidak ingin berterima kasih atas kontribusiku yang menyelamatkan reputasimu ?"
Aku menanyainya lagi. Apa sekarang dirinya dibutakan sesuatu atau hal lain ? Dulu aku bisa memahami jalan pikirannya. Namun sekarang aku tak bisa mengerti mengapa otaknya mendadak tumpul seperti itu.
"Ah.."
Pria itu menepuk jidatnya. Seolah kata-kataku barusan adalah pencerahan yang bisa kembali membuka wawasannya yang beberapa saat lalu tersendat karena sesuatu.
"Kau melakukannya lagi hari ini. Dan fatalnya kau menyeretku dalam urusan pribadimu."
Aku kembali memojokan dirinya dengan kata-kata yang lebih tajam dari sebelumnya. Aku juga menatapnya bengis karena ketidakbecusannya mengurus urusan pribadi.
"Pribadi ? Grigorii siapa dia ? Kenapa bawahanmu bertindak seperti ini ?"
Perempuan itu buka suara, dia melihatku dengan tatapan tak suka. Namun aku balas tersenyum padanya dan berbalik menatap Grigorii yang seolah kehabisan kata-kata. Apa-apaan orang asing ini, dia seolah ingin terlibat pada urusan kami. Keberadaannya disini pun harus dipertanyakan. Apakah dia ini datang sebagai sekretaris atau pemuas nafsu belaka ?
"Meisei dia istriku."
Suara Grigorii terdengar mencicit. Aku merasa berada diambang kemenangan. Namun anehnya itu tidak menimbulkan kesenangan sedikitpun. Nada penuh penyesalan adalah alasannya. Aku tak bisa mengerti mengapa hatiku mendadak dipenuhi amarah. Padahal sebelumnya aku tak pernah merasakan perasaanku sama sekali.
"Jadi kau tak bilang pada dia bahwa kau sudah menikah ? Dasar jahat."
Aku bersungguh-sungguh berkata begitu. Meski ditelinganya mungkin terdengar sebagai sindiran yang jelas Grigorii nampak tak suka dan kini menatap perempuan yang dicumbuinya beberapa menit lalu dengan perasaan bersalah. Perempuan itu terlihat shock. Reaksi umum yang akan kau perlihatkan karena berbuat tak senonoh dengan suami orang. Aku sudah tak ambil pusing. Porsiku sudah berakhir disini. Yang kuherankan adalah Grigorii itu seorang pria yang terkenal. Majalah, surat kabar, hingga televisi lokal selalu menjadikan sosoknya sebagai berita utama. Sosokku yang juga selalu berada disampingnya tak akan terlewatkan dalam berita. Sekampungan apa sampai perempuan itu tak tahu jika Grigorii telah memiliki aku sebagai istri sahnya ?
"Meisei.."
Nada suaranya begitu rendah dan lembut. Aku baru kali ini mendengar suara Grigorii yang semanis itu. Dia mendekati perempuan yang dipanggil Meisei itu dengan perlahan. Sedangan si Meisei sendiri dia membatu. Tubuhnya bergetar dan air mata mulai membasahi pipinya. Mungkin dia merasa dikhianati ? Aku memutar mataku. Kejadian selanjutnya mungkin akan seperti drama telenovela dan yang jelas kehadiranku disini sudah tidak beguna.
"Ya, intinya aku hanya memperingatkanmu. Jika kau ingin bertindak sesuka hatimu pikirkan juga posisiku. Aku tak ingin terlibat dengan cerita cintamu apalagi dibuat susah. Kalian nikmati saja sendiri. Tapi aku tak sudi menerima konsekuensi atas kesalahan kalian. Dan kau gundik sekarang kau sudah tau siapa aku. Lebih baik kau perhatikan sikapmu. Jangan mempersulit kami."
Kali ini aku melibatkan Meisei. Aku memperingatinya untuk bisa memperhatikan dan menjaga tindakannya. Meski memang aku tak suka padanya, namun yang aku tekankan adalah untuk tidak merepotkan aku kedepannya.
"Kenapa kau berkata hal kejam pada Meisei ?"
Apa sekarang Grigorii sedang membelanya ? Apa dia sedang berperan sebagai pangeran berkuda putih bagi sang permaisuri dan aku antagonis nya disini ? Lucu sekali. Apa yang salah dari perkataanku barusan ?
"Apa maksudmu kejam ? Aku bicara sesuai faktanya."
Aku mengernyitkan dahi. Perubahan sikap Grigorii sudah tak bisa aku tolerir lagi. Dia terlalu asing untuk ukuran pria yang berada disampingku selama empat tahun. Dia sudah berubah.
"Kau barusaja mengancam dia !"
Dia menaikan nada suaranya. Biasanya nada suara itu dia gunakan pada bawahannya untuk mengintimidasi. Namun sekarang dia menggunakannya padaku ?
"Mengancam ? Mana dari kata-kataku yang mengintimidasi dia ?"
"Menjaga prilaku katamu. Memang dia berbuat apa padamu sampai mengatakan omong kosong macam itu ?"
"Omong kosong ya ? Pikirkan. Jika apa yang kalian lakukan barusan bukan disaksikan olehku menurutmu apa yang terjadi ? Siapa yang akan menanggung akibatnya ? Bukan hanya kau dan dia. Tapi AKU !!! aku tak peduli kalian melakukannya dimana. Tapi ini kantor. Tempat umum. Dan kau bukan orang biasa Grigorii kau itu CEO muda yang disegani. Pikirkan efek tindakanmu tadi terhadap reputasi yang sudah kita bangun. Kau hanya akan menghancurkan kita !!"
Entahlah aku tak habis pikir darimana stock kalimat itu berasal. Untuk beberapa alasan aku hanya emosi. Emosi karena Grigorii mempersalahkan aku tanpa kejelasan.
"Kau ini jadi banyak bicara ya."
Dia menyindirku, seolah kata-kata yang keluar dari mulutku hanya sekadar bualan. Aku tak ingin berdebat. Sebagai akhir aku menatapnya dengan dingin.
"Otakmu sudah tidak berjalan dengan benar. Aku turut prihatin. Permisi"
Hatiku berdebar, rasa sakit menjalar dan bersarang didadaku. Ini sangat aneh, baru kali ini aku merasa seperti sedang dikhianati. Aku tak mengerti kenapa. Aku buru-buru berbalik, membawa langkahku lebar agar bisa lebih cepat pergi dari ruangan itu. Aku menahan emosiku. meski tak jauh dari sana ada seseorang yang menatapku. Aku tak sadar. Dan dari sudut mataku aku melihat Grigorii memeluk perempuan itu. Menenangkannya dengan lembut untuk menghentikan tangisnya. Baiklah aku sudah menjadi seorang tokoh antagonist dalam kisah mereka. Posisi yang tak pernah aku bayangkan sedikitpun.
***
"Ikut aku !!"
Rosèlind membabi buta. Setelah sebelumnya memastikan Meisei menjauh dari CEO dia langsung menyeret perempuan itu secara paksa untuk bicara empat mata di atap gedung. Lokasi ini paling strategis untuk membunuh. Setidaknya itu yang bisa Rosèlind pikirkan ketika dirinya kalap.
Kemarahan sudah berada dipuncaknya, apalagi ketika melihat perempuan itu mengenakan blazer Aghta. Rosèlind mengingat dengan jelas bagaimana muramnya Aghta sekembalinya dari ruangan Grigorii. Awalnya dia ingin mempertanyakan soal blazer yang hilang dipundaknya. Rupanya biang keladi permasalahan ini ada didepan matanya. Niatan awal untuk bicara menguap entah kemana. Dia merebut paksa blazer yang menutupi bagian atas tubuhnya meski si perempuan berontak untuk melawan. Namun tenaga Rosèlind lebih besar. Dia berhasil melucuti blazer itu dari tubuh Meisei. Dan yang selanjutnya malah makin membuatnya tercengang, Roselind menatap tak percaya saat melihat atasan perempuan itu. Kancing bajunya tak utuh dan atasannya kusut. Sebagai perempuan dewasa dan sudah tak asing dengan penampakan ini. Rosèlind dengan keras mendaratkan tamparan di pipi Meisei. Bekas merah langsung tergambar apik disana. Wajah perempuan itu nampak kaget dan mengeras. Dia tak menyangka akan mendapat perlakuan kasar dari perempuan preman yang dia tak kenal.
"Sakit kan ?"
Kali ini Rosèlind mendaratkan tendangan pada tungkai perempuan itu hingga Meisei tersungkur dilantai. Air mata dan rasa dipermalukan tergambar jelas dari wajahnya yang Rosèlind akui memang cantik. Namun itu tak jadi soal. Rosèlind kemudian terduduk, posisinya kini sudah sejajar dan tiba-tiba Rosèlind menjambak rambut panjang perempuan itu dalam sekali tarik hingga dirinya seolah terjengkang.
"Jalang. Beraninya kau menggoda suami sahabatku. Berkedok sekretaris pribadi secara tiba-tiba padahal hanya seorang p*****r. Dasar tidak tau malu."
Mata Meisei membulat. Jika dipikirkan semua ini terjadi setelah pertemuan pertamanya dengan istri Grigorii mungkinkah dia yang mengutus perempuan itu untuk menyiksanya mewakilkan dirinya ? dia merasa tengah diintimidasi. Perempuan yang dirinya kagumi beberapa saat lalu, kini membuatnya marah. Apalagi tindakannya dengan menggunakan oranglain untuk menyakitinya tak bisa dia maafkan. Meisei marah.
"Jadi kau diperintahkan dia untuk menyiksaku. Karena dia tak bisa mengotori tangannya sendiri"
Rosèlind terbahak. Bisa-bisanya perempuan itu buka suara dan lagi hanya omong kosong belaka. Rasa jijik menguar. Cih. Rosèlind meludah tepat pada muka Meisei. Tentu saja hal tersebut dibalas tatapan ngeri. Dia diludahi ?
"Kupikir kau punya otak. Rupanya tidak ya. Saking menjijikannya aku tidak tahu harus berbuat apa padamu."
Rosèlind mendorong Meisei hingga dia terjembab keras pada pagar yang terbuat dari besi sebagai pembatas. Rasa nyeri menyebar ditubuhnya. Namun Meisei tak gentar. Membuat Rosèlind makin gerah.
"Kau ini gila ya ! Aku bahkan tidak mengenalmu !"
Meisei tak punya daya yang cukup untuk melawan. Mata perempuan itu menyalak. Seolah hendak membunuhnya.
"Kau meneriaki aku gila sedangkan otak saja kau tak punya. Lebih gila mana perempuan yang b******u dengan suami orang tepat didepan muka istrinya dengan aku? Harusnya kau tau mana yang lebih hina. Itu juga kalau kau punya otak."
"Hikss.."
“Asal kau tahu, Aghta tak akan pernah mau melakukan hal seperti ini sesakit apapun dia. Aku melakukannya karena aku peduli pada dirinya. Dengan membiarkanmu berada disekitar suaminya saja seharusnya kau bersyukur. Perempuan lain yang mendapati kejadian buruk seperti ini mungkin sudah membunuhmu sekarang.”
Rosèlind kini muak. Dari apa yang dilihatnya dia jelas berpikir apa yang membuat CEO tega menyakiti Aghta dan memilih wanita ini. Baginya Meisei hanyalah batu kerikil yang mengganggu. Sahabatnya tidak akan berbuat apapun. Dia berani jamin jika Aghta hanya akan menendam masalah ini sendirian. Dia hafal jika sahabatnya itu sangat benci dengan bentrok dan hal merepotkan.
"Menangis ya? Jadi itu senjatamu. Kau pikir aku akan berbelas kasih dengan tangismu ? Tidak ada disini yang akan membelamu !"
Rosèlind mencengkram dagu Meisei dan membuangnya kesamping. Meisei hanya mampu mengaduh. Ditengah keputusasaannya dia hanya berharap ada seseorang yang menyelamatkannya. Dia ingin Grigorii..
"Ada itu aku."
Suara itu bagaikan surga, Meisei mendongak dan air mata langsung membanjiri pipinya.
"Pak CEO."
Rosèlind membalik muka mendengar suara yang familiar itu. Dan ya dibelakangnya berdiri Grigorii yang murka.
"Tak kusangka Aghta sampai menyuruhmu melakukan tindakan keji seperti ini."
Meisei kini berlaku seolah korban dan Rosèlind tercengang dengan yang dikatakan bosnya. Dari sekian banyak nya hal mengapa itu yang dia katakan ? Rosèlind merasa kesal. Tidakkah dia berpikir yang mendorongnya melakukan tindakan nekat ini adalah karena Grigorii sendiri ? Lantas mengapa pria itu dengan entengnya menyalahkan Aghta dan membela perempuan sialan itu ?
"Tidak pak.. ini tidak ada hubungannya dengan Aghta."
Rosèlind membantah. Dan apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Aghta tak pernah menyuruhnya. Dia bertindak karena memiliki hati nurani itu saja.
"Bahkan dia menyumpalmu dengan uangnya."
"Apa ?"
"Kenapa kau memelototi bosmu ? Apa kata-kataku tepat sasaran ?"
"Hah.. kurasa aku mengerti. Aghta melakukan kesalahan pertama dalam hidupnya."
"Apa maksudmu ?"
"Anda adalah orang yang seharusnya saya jauhkan dari sisinya. Pemikiran anda sangat dangkal Bos Yang Terhormat."
"Kau menghinaku. Dengar tindakanmu kali ini tidak bisa ditolerir lagi. Kau kupecat."
"Baguslah. Setidaknya aku tidak hidup dari uangmu lagi. Terimakasih. Berbahagialah dengan si jalang."