BAB 2 :: PERTEMUAN (KAVIN ARDANA ABIPUTRA)

2143 Kata
            Laki-laki ini menatap gedung sekolah yang ada di depannya dengan malas. Setelah satu bulan meninggalkan sekolah ini karena mengikuti perlombaan beladiri di luar kota dengan tak bersemangat dirinya harus kembali untuk menimba ilmu di sekolah ini. laki-laki itu berjalan menyusuri koridor yang sepi menuju ke ruang guru dengan tangan memegang sebuah map berwarna hijau.             “Assalamualaikum..” setelah mengetuk pintunya laki-laki ini langsung membuka pintu berwarna coklat di depannya.             “Ehh Ardan, sini Nak.” Ucap pria paruh baya yang menjabat sebagai guru olahraga sekaligus pelatihnya itu. Ardan pun masuk ke ruang guru yang sepi ini karena hampir semua guru sedang mengajar di kelas.             “Ini Pak, dokumen yang Bapak minta kemarin.” Ucap Ardan sambil menyerahkan map berwarna hijau itu.             Pak Gani pun mengambil map hijau tersebut. Dan menatap murid di depannya itu dengan bangga. “Bapak bangga sama kamu. Lagi-lagi kamu bisa mendapatkan kejuaraan ini.” ucap Pak Gani sambil menepuk-nepuk bahu tegap milik Ardan.             “Makasih Pak karena bimbingan dari Bapak juga saya bisa sampai di tahap ini.” ucap Ardan dengan senyum yang tersungging di kedua sudut bibirnya.             “Oh iya, bagaimana respond kedua orang tuamu? Ahhh.. terutama Ayah kamu?” Tanya Pak Gani. Walaupun sebenarnya pria paruh baya ini sudah sangat hafal betul jawabannya.             Ardan tersenyum miris. “Bapak pasti tahu jawaban saya.”             “Ayahmu… masih nggak peduli?” Ardan mengangguk. Orang tuanya terutama Ayahnya memang tidak mendukung dirinya dalam bidang ini. Bukan karena Ardan tidak diperbolehkan mempelajari ilmu beladiri. Tapi Ayahnya lebih menuntut dirinya untuk selalu fokus dengan pelajaran akademiknya di sekolah. Padahal selama Ardan bersekolah, Peringkat umum ke-1 selalu Ardan raih. Ardan selalu berfikir, apa hal yang diberikannya ini masih belum cukup menjadi barang bukti untuk Ayahnya?             “Kamu pasti bisa. Bapak yakin, suatu saat nanti Ayah kamu akan bangga dengan prestasi yang kamu raih selama ini.”             Ardan menganggukkan kepalanya. Semuanya hanya soal waktu. Saat ini Ayahnya boleh saja tidak mendukung dirinya dalam bidang ini. Tapi di masa depan nanti, siapa yang tahu?             “Yasudah, kalau begitu saya pamit ya Pak. Assalamualaikum..” Ucap Ardan ketika mendengar bel istirahat baru saja berbunyi. Ardan pun pergi meninggalkan ruangan ini.             Ardan yang pikirannya sedang berkelana entah kemana, membuatnya menjadi tidak fokus dengan jalan yang ada di depannya. Ardan hanya mengikuti kemana kakinya melangkah. Wajahnya yang datar namun tampan itu membuat sebagian siswi yang berlalu lalang memandang ke arahnya dengan tatapan yang memuja.             ‘Bruk’             Ardan langsung tersadar ketika dirinya merasa menabrak seseorang. Ardan menundukkan kepalanya, melihat siapa yang baru saja Ardan tabrak tadi. Dalam hatinya laki-laki itu meringis ketika melihat gadis yang ditabraknya barusan itu tertimpa tumpukan buku yang dibawanya. Terlihat…. Sangat mengenaskan.             Ardan pun dengan segera merendahkan posisi tubuhnya kemudian memungut buku-buku itu dan menumpuknya dengan rapih. “Nih.” Ucap Ardan sambil menyerahkan tumpukkan buku itu. Setelah itu, Ardan langsung melangkan kakinya pergi tanpa mengucapkan satu patah kata pun.             Namun tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Membuatnya langsung menoleh. “Apa?” Tanya Ardan sambil memandang gadis di depannya aneh.              “Lo nggak ada perasaan bersalah gitu sama gue? Setelah lo buat gue jatuh?” ucap gadis yang tidak diketahui namanya itu.             “Hah? Ngapain? Lo jatuh kan karena lo nya aja yang nggak lihat jalan. Udah tahu badan lo kecil, pendek lagi. Tapi sok-sok an bawa buku tumpukan gitu.”  Ucap Ardan dengan nada yang meremehkan.             Gadis di depannya ini terlihat emosi. Ardan yang melihatnya memasang wajah yang menyebalkan namun masih terlihat tampan di depan murid perempuan yang berada di koridor ini.  “LO!” teriak Gadis itu kesal sambil mengacungkan jari telunjuknya kearah Ardan.             “Kenapa? Udah ya, gue nggak mau habisin waktu gue cuma buat ngurusin cewek pendek kaya lo. Bye..” Setelah mengucapkan itu Ardan pun segera pergi meninggalkan gadis yang menurutnya aneh ini.             “Ardan!” Ardan tersenyum menatap gadis cantik di depannya itu. Ardan berjalan mendekat kearah gadis itu. Senyuman yang Ardan tampilkan membuat siswi yang berada dikoridor sekitar mereka menjerit tertahan karena kadar ketampanan laki-laki itu semakin bertambah. Namun, mereka harus menahan iri juga sebab senyum itu bukan diberikan kepada mereka. Tetapi kepada Fany. Pacar laki-laki itu.             “Ke kantin?” Tanya Ardan lembut. Gadis itu mengangguk. Ardan pun langsung menggenggam tangan Fany dan mengajak gadis itu ke kantin bersama.             “Gimana ulangan kamu hari ini?” Tanya Ardan walaupun sebenarnya Ardan sudah tahu, gadis di sampingnya ini pasti dapat dengan mudah menjawab soal ulangan itu. Kalian ingatkan? Bahwa gadis di sebelahnya ini sama seperti Ardan. Pintar.             Fany tersenyum. Jelas-jelas Fany yakin laki-laki di sampingnya ini pasti tahu jawabannya. “Aku tuh aneh sama kamu tahu nggak! Kamu selalu nanya, padahal kamu tahu jawabannya. Pacar kamu yang pintar ini nggak mungkin kan, nggak bisa ngerjain soal ulangan?” ucap Fany dengan seringaian wajah sombongnya.             Ardan tertawa. Tangannya mengacak rambut gadis itu. “Iya kamu pintar. Tapi kamu harus ingat, kalau aku lebih pintar dari kamu. Right?” ucap Ardan lebih sombong.             “Ya..ya.. aku akuin kalau kamu lebih pintar dari aku.” Ucap Fany. “Oh iya, aku lupa. Selamat ya!” lanjut Fanya dengan semangat.             “Buat?” Tanya Ardan bingung.             “Aku dengar, kamu jadi juara umum lagi di lomba beladiri kemarin. Sekali lagi, selamat. Aku lagi-lagi ngerasa bangga sama kamu.”              Ardan tertawa kecil. Setidaknya, gadis di depannya ini menjadi alasan untuk dirinya agar terus mencetak prestasi dibidang yang sedang Ardan geluti ini selain akademiknya.             Kini dirinya dan Fany pun telah sampai di kantin. Baik dirinya maupun Fany sama-sama mencari meja yang kosong. Namun, tiba-tiba pandangannya terhenti kearah gadis yang kini sedang menatapnya tajam. Cih! Batin Ardan ketika mengingat bahwa gadis itu adalah gadis yang Ardan tabrak tadi. Sepertinya gadis itu masih menyimpan dendam terhadapnya. Terlihat dari tatapan gadis itu yang semakin tajam. Namun, dengan jahil Ardan balik menatap gadis itu tajam. Seolah-olah dirinya juga mengibarkan bendera perang terhadap gadis itu.             Ardan melihat gadis itu memutuskan kontak mata lebih dulu. Ardan tersenyum remeh. Lo kira gue akan minta maaf dan nyerah gitu aja? Tapi sorry, gue akan ikutin permainan lo.  Entah mengapa Ardan malah merasa tertantang. Karena tanpa diberitahupun, Ardan sudah mendapat sinyal peperangan di antara mereka.             “Eh.. Ar disana kosong. Yuk kesana.” Ucap Fany. Ardan pun menganggukkan kepalanya dan berjalan mengikuti Fany. ***             Sepulang sekolah, Ardan menunggu Fany di depan kelas gadis itu. Seorang guru masih asyik menjelaskan materi pembelajaran. Maklum, yang mengajar dikelas Fany kali ini adalah Bu Tuti, guru yang selalu terlambat memulangkan murid-muridnya. Ardan pun duduk di kursi koridor dan mengeluarkan handphone dari saku celananya. Memainkan handphone itu sambil menunggu Fany keluar.                     Tak lama, teman-teman sekelas Fany pun keluar. Ardan langsung  memasukkan kembali handphonenya dan segera berdiri di samping pintu kelas gadis itu.             “Fan!” panggil Ardan ketika Fany pergi begitu saja tanpa menyadari kehadirannya.             Gadis itu pun menoleh, kemudian tersenyum sambil berjalan menghampiri Ardan. “Aku kira kamu udah di parkiran, karena aku bubarnya lama. Ternyata masih disini.” Ucap Fany. “Yaudah yuk! Kita pulang.” Lanjut Fany. Ardan pun mengangguk kepalanya.             Keduanya pun berjalan beriringan menuju parkiran dimana mobil Ardan terparkir. “Hari ini jadi kerumah sakit dulu kan?” tanya Ardan.             Fany yang langsung teringat langsung menganggukkan kepalanya. “Oh iya aku lupa! Untung kamu ngingetin. Iya hari ini harus check-up lagi.” Ucap Fany lesu.             Ardan yang melihatnya tersenyum berusaha memberikan semangat kepada gadis di depannya ini. “Jangan lemas gitu dong. Semangat! Kamu mau sembuhkan?” ucap Ardan.            Fany menganggukkan kepalanya. “Yaudah kalau kamu mau cepat sembuh, kamu harus semangat. Nggak boleh lemas gini.” Ucap Ardan lagi.             “Iyaa..demi aku sembuh, aku akan semangat. Udah ah! Kita kerumah sakit langsung! Biar nggak kemalaman pulangnya.” Ucap Fany.             Sesampainya di parkiran, keduanya langsung memasuki mobil dan memakai sabuk pengaman masing-masing. Setelah itu, Ardan pun mulai melajukan mobilnya. Namun, ketika sampai di gerbang Ardan melihat seorang gadis yang Ardan yakini itu adalah gadis yang Ardan tabrak tadi. Seketika, pikiran jahil pun melintas di otaknya.             Ardan menyalakan klaksonnya keras. ‘Tin..Tin. Tinnnn…’ Namun, gadis itu tidak juga menyingkir.             “Eh cebol minggir lo!” teriak Ardan sambil mencondongkan tubuhnya keluar dari mobil. Sedangkan Fany yang berada di samping Ardan menatap laki-laki didepannya tajam. “Kamu tuh ya! Dia tuh punya nama! Nggak sopan tahu nggak manggil dia cebol-cebol.” Tegur Fany.             Ardan yang mendengarnya hanya menjawab “Biarin. Abisnya dia emang benaran pendek kan?” balas Ardan.             “Ya tapikan nggak harus gitu juga Ardan sayang...” Peringat Fany lagi. Namun Fany yakin, laki-laki di sampingnya ini tak akan mengindahkan  ucapannya.             “Woy cebol!” sekali lagi Ardan berteriak. Fany hanya mendenguskan nafasnya kasar. Terserahlah! Lagian dirinya sudah menegur Ardan juga kan? Lagipula tumben sekali Ardan mau membuang-buang waktu dengan hal-hal yang tidak berguna seperti ini.             Tiba-tiba Ardan turun dari mobilnya. Mengabaikan Fany yang kini semakin heran akan sikap Ardan yang jarang sekali laki-laki itu keluarkan di sekolah. Karena biasanya Ardan cuek dengan apapun itu. Apalagi cuma masalah seperti ini. Lagipula jalan di depannya masih lebar, kenapa Ardan harus repot-repot untuk menyingkirkan gadis itu? Aneh.             “Lo! Gue bilang minggir! Mobil gue mau lewat! Badan lo itu ngehalangin gue tahu nggak!” ucap Ardan lalu menarik lengan gadis itu agar menghadap kearahnya.             Gadis itu langsung membelalakkan matanya. “LO?!”             “Kenapa? Mending sana lo minggir. Mobil gue mau lewat.” Ucap Ardan lalu mendorong gadis itu kasar. Memang sedikit kelewatan, tapi Ardan tak peduli! Niatnya kali ini memang ingin membuat gadis itu kesal. Dan… berhasil! Ardan melihat tatapan perempuan itu langsung menajam.             “Heh! Biasa aja dong! Nggak usah kasar-kasar! Lagian lo b**o, bodoh apa oon. Ini jalan masih lebar! Lo bisa kan belokkin mobil rengsek lo itu dikit. Dan satu lagi, nama gue Queena. Vanya. Putri. Bukan Cebol. Ingat itu baik-baik! supaya lo nggak lupa.” Ucap gadis itu kesal sambil menunjukan jari telunjuknya kearah Ardan.             “Heh? Gue kasih tahu nih! Lo tuh cewek yang nggak pantes dilembutin. Dan satu lagi, ingetin nama lo? Emang lo siapa? Penting? Nggak! Jadi ngapain gue pusing-pusing ingetin nama lo yang aneh itu!” Ucap Ardan sinis dengan memasang wajah yang super duper nyebelin agar gadis yang ternyata bernama Queena itu semakin kesal.             “Oke, kalau lo emang mau ngajak ribut sama gue. Besok gue tunggu lo di ekskul Taekwondo. Lo tanding sama gue. Kita lihat siapa yang menang nanti.” Tantang Vanya yang membuat Ardan kaget namun mencoba untuk menyembunyikan ekspresinya. Baru kali ini Ardan menemukan seorang perempuan yang berani menantangnya. Jangankan perempuan, laki-laki saja jarang sekali menantangnya. Kebanyakan dari mereka merasa takut. Padahal belum pernah mencoba.             Untuk menyembunyikan rasa kagetnya, Ardan langsung tertawa. “Hahahahah…. Serius lo mau ngajak  gue tanding? Lo nggak tahu gue siapa? Bukannya gue sombong, tapi gue takut lo nangis karena lo kalah nanti.”             “Gue serius. Pokoknya besok gue tunggu lo! Dan satu lagi, lo jangan percaya diri dulu. Karena lo lebih nggak tahu siapa gue!” setelah mengatakan itu Vanya langsung pergi menuju taksi yang baru saja berhenti tak jauh dari posisi mereka saat ini.             Sedangkan Ardan, masih diam mematung. Tak menyangka Ardan bisa bertemu dengan spesies perempuan seperti itu. Namun, tak ayal dirinya pun merasa tertantang. Lihat aja, gue pasti menang! ***             Ardan menuntun Fany menuju ranjang gadis itu. Lalu membaringkan tubuh Fany perlahan. “Sekarang kamu tidur ya. Jangan lupa malam harus minum obat.” Ucap Ardan kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Fany sebatas bahu gadis itu.             “Iya..” jawab Fany lemas. Wajahnya pucat setelah tadi menjalani beberapa rangkaian pengobatan di rumah sakit.             “Yaudah, aku pulang dulu ya. Kamu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa kamu telepon aku.” Ucap Ardan mengingat orang tua Fany kini sedang pergi keluar kota untuk menjalankan bisnisnya membuat Fany harus tinggal di rumah sendirian walaupun sudah terbiasa tapi tetap saja, hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Walaupun sebenarnya Fany tidak benar-benar sendirian karena ada pembantu rumah tangganya.             “Yaudah hati-hati ya. I love you..” Ucap Fany dengan senyumnya. Ardan tidak menjawabnya. Laki-laki itu hanya tersenyum kemudian mengusap puncak kepala Fany sebelum beranjak dari rumah Fany.             Ardan menutup pintu kamar Fany. Meninggalkan Fany yang kini menatap lurus kearah pintu itu.  Fany tersenyum pahit mengingat laki-laki yang sudah 2 tahun ini berhubungan dengannya tidak pernah menjawab hal serupa dengan apa yang Fany ucap tadi.             Fany membuka laci nakas yang berada di sampingnya. Mengambil kertas origami berwarna merah muda dan pulpen yang berada di samping kertas itu. Kemudian Fany menuliskan beberapa kalimat di dalam kertas itu. Tak terasa air matanya terjatuh membasahi kertas yang sedang Fany tulis itu.             Aku tahu Ar... Aku sadar. Kamu bertahan di sisiku karena penyakit aku ini. Aku sadar kamu tidak pernah mencintaiku sedikitpun. Maaf, aku membuat kamu terjebak berada di situasi ini. Dan maaf, aku tidak akan melepaskan kamu walaupun aku tahu kamu tidak akan pernah mencintaiku. Aku memang egois, tapi aku punya alasan. Aku hanya mau di sisa hidup aku yang tidak panjang lagi ini, aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersama laki-laki yang aku cintai. Dan laki-laki itu kamu Ardan. Aku mencintai kamu, walaupun kamu tidak pernah mencintaiku.             Setelah selesai, Fany melipat-lipat kertas itu. Hingga kertas itu membentuk sebuah burung, lalu memberikannya angka pada sayap burung kertas itu. Ini burung kertas ke 25 yang Fany tulis. Kemudian, Fany menaruh kertas itu di kotak yang berwarna Biru muda. Warna kesukaan Ardan. Di dalam kotak itu sudah terisi penuh oleh burung kertas dengan warna yang serupa. Fany sengaja mengumpulkannya. Gadis itu berharap suatu saat nanti Ardan akan tahu seberapa besar cinta yang Fany berikan untuk laki-laki itu melalui burung kertas ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN