Malea tidak pernah tahu kalau selama ini Darren selalu memonitor rutinitasnya sehari-hari melalui kamera pengawas yang terpasang di setiap sudut apartemen. Tidak ada satupun kegiatan Malea yang terlewatkan dari pandangannya.
Siang itu, Darren disibukkan oleh rapat darurat pemegang saham yang menyita sebagian waktunya.
Leo menyerahkan notulen rapat yang dicatatnya segera, beberapa saat setelah rapat berakhir.
Darren membaca notulen tersebut, melirik sekilas ke layar monitor yang tidak menampilkan sosok Malea di sudut mana pun.
Kemana gadis itu pergi? Pikiran Darren teralihkan. Ia memperbesar setiap sudut tampilan layar yang terhubung dengan kamera pengawas apartemennya. Malea tidak berada di mana pun. Gadis itu menghilang dari pengawasannya.
Sontak saja hal itu membuat Darren panik dan cemas. Ia mencoba menelepon apartemennya, namun tidak ada yang menjawab panggilannya.
“Ada masalah, tuan?” Tanya Leo ketika melihat wajah bosnya pucat pasi.
“Tolong batalkan semua kegiatanku setelah ini.” Darren berlari meninggalkan Leo yang terheran-heran melihat bosnya bergegas pergi meninggalkan rapat tanpa penjelasan.
***
Seperti sedang dirasuki, Darren memacu mobilnya hingga batas maksimal, melintasi jalan protokol ibukota yang cukup padat di jam makan siang hari itu. Ia memaki Malea yang membuatnya cemas bukan main.
Bagaimana bisa ia kehilangan gadis itu? Ia mendesah frustrasi. Bagaimana jika Malea kembali ke ayahnya? Apa yang akan Darren lakukan jika itu benar-benar terjadi? Darren belum siap kehilangan gadis itu.
Dengan perasaan cemas, Darren memacu mobilnya lebih kencang lagi. Tak lagi mampu berpikir tenang saat ini. Pikirannya tertuju pada gadis mungil yang membuat hari-harinya sedikit lebih berwarna. Sial, entah bagaimana caranya, secara diam-diam gadis itu telah merasuki pikirannya.
***
Setibanya di apartemen, Darren mendobrak masuk ke dalam pintu dan memanggil gadis itu dengan suara parau.
“Malea... Lea?”
Hening.
“Malea, kau disana?” Ia memanggil gadis itu lagi, tapi tidak ada jawaban.
Ia pun lantas mencari ke semua ruangan, tapi gadis itu tidak ada dimana pun.
Apartemennya telah kosong, Malea telah hilang. Kenyataan itu seperti sambaran petir di siang hari. Membuat tubuhnya terkulai lemas tak berdaya.
Kemudian Darren mengecek rekaman kamera pengawas sebelum Malea pergi meninggalkan apartemennya. Tapi kemana gadis itu pergi? Darren tak mengetahuinya.
Malea dimana kau? Bahkan tidak ada tanda-tanda Malea kabur dari sana. Gadis itu seperti lenyap begitu saja, seperti asap yang tertiup angin. Hush... musnah.
***
Sebelum meninggalkan kasir, Malea menghitung kembali total belajaan dan uang kembalian yang ada di tangannya.
Setelah memastikan semuanya pas, ia tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada kasir yang membalas senyumnya ramah.
Ia pun melangkah keluar supermarket sambil bersenandung riang. Ia berhasil menghemat banyak uang hari ini, berkat teknik berbelanjanya yang sangat ia banggakan.
Hidup dibawah garis kemiskinan membuat Malea harus ekstra keras menghemat semua biaya yang ada, termasuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia akan lebih selektif membeli barang yang hanya ia butuhkan saja. Selebihnya, sisa uangnya bisa ia tabung untuk kebutuhan lainnya.
Malea menatap bingung, melihat pintu apartemen Darren yang terbuka lebar. Ia mengingat-ingat dan memastikan bahwa ia sudah menutup pintu itu sebelum ia meninggalkan apartemen untuk berbelanja.
“Ada apa ini?” Malea memekik melihat beberapa orang berseragam keamanan tengah berbincang dengan seseorang yang belakangan diketahui adalah Darren.
“Ya, Tuhan Malea....!!!” Entah ekspresi apa yang harus Darren tunjukkan ketika melihat gadis itu pulang dengan wajah kebingungan melihat keramaian ini. “Darimana saja kau?” Suara dingin dan ekspresi kesal Darren membuat Malea sedikit gentar.
“Ada apa, Darren? Apa ada maling?” Tanya Malea dengan wajah polos.
“Darimana saja kau, hah? Kau membuatku khawatir? Apa kau tahu bagaimana perasaanku saat kau tak ada?” Mengabaikan pertanyaan Malea, Darren justru memarahinya saat itu juga. Darren benar-benar kesal ketika melihat gadis itu pulang dengan wajah riang tanpa tahu seperti apa perasaannya saat ini.
“Aku hanya pergi sebentar ke supermarket.” Sahut Malea sambil menunjukkan kantong belanjaannya.
Rasanya Darren ingin menghukum gadis yang telah membuatnya panik ini, tapi ia berusaha mengendalikan dirinya.
Malea yang tak tahu akar permasalahannya, menatap Darren dan petugas keamanan secara bergantian.
Mengetahui gadis yang dicari bosnya telah kembali, mereka langsung pamit undur diri sebelum mereka terseret masalah yang lebih pelik hanya karena ulah gadis kecil ini.
Malea melambaikan tangan pada mereka sambil mengucapkan terimakasih sebelum ia menutup pintu. Darren duduk di sofa sambil memandangi kepolosan gadis itu. Ia menarik napas panjang, berusaha mengontrol emosinya yang semakin tak terkendali.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa mereka datang kemari?” Tanya Malea sambil berjingkrakan menaruh kantung-kantung belanjaan itu dengan wajah tanpa dosa.
“Kau darimana? Aku sudah mencarimu kemana-kemana tapi kau tak ada!” Darren mengomel kesal.
“Astaga, Darren! Aku kan cuma pergi ke supermarket!” Mendengar hal itu Malea terkejut. Bagaimana mungkin Darren berpikir dirinya telah hilang? Setelah ia meyakinkan bahwa Malea sepenuhnya adalah milik Darren berkat perjanjian sialan itu.
Ucapan gadis itu membuat kendali diri Darren lepas, “kau tahu betapa cemasnya aku ketika kudapati kau tidak ada dimana pun!” Kata Darren mulai menampakkan emosinya.
“Ya Tuhan, Darren! Kau terlalu membesar-besarkan masalah. Aku cuma pergi ke supermarket, aku tidak hilang!” Balas Malea, sengit.
“Kau hilang!”
Malea mendesah frustrasi, “aku tidak hilang!” Pekiknya, “Kubilang aku hanya belanja di supermarket, itupun supermarket dibawah gedung ini.” Malea memekik frustrasi ketika mendebat pria yang menjengkelkan ini. Malea mendesis kesal mendapati Darren marah padanya hanya karena dia berbelanja di supermarket. Memangnya seberapa lama dia pergi, hah? Hanya dua jam. Dua jam dia berbelanja dan pria konyol ini memanggil petugas keamanan apartemen, menyebutnya sebagai orang hilang. Mungkin Darren sudah kehilangan akal sehatnya, gumam Malea jengkel atas kelakuan Darren yang terlalu mendramatis.
Pembelaan Malea membuat kendali diri Darren lepas. Kemudian dengan gerakan tiba-tiba, tanpa peringatan, Darren menarik tubuh mungil Malea dan menjatuhkannya ke atas sofa. Ia menempatkan tubuhnya tepat di atas tubuh gadis yang tampak terkejut oleh tindakan impulsifnya.
Darren menciumnya dengan membabi-buta. Nafasnya terasa hangat, menyatu bersama desah napasnya. Mata birunya tampak berkabut, dengan pupil hitam yang mengecil oleh gairah.
Malea terperanjat setengah membelalak memandang wajah Darren yang begitu dekat di hadapannya, napasnya memburu, ciumannya semakin rakus, mengecup penuh antisipasi. Dengan lihai, Darren menggerakkan bibirnya, memaksa Malea membuka mulut untuk memprotes.
Lidah Darren merangsek masuk ke dalam mulut Malea, bermain-main dia. Ia menikmati ciuman itu, seolah-olah ia tidak pernah berciuman sebelumnya.
Malea mencoba memberontak, melepaskan diri, namun apa daya ciuman Darren terasa nikmat hingga sadar sadar Malea mendesah ketika Darren dengan lihainya memporak-porandakan akal sehatnya. Tanpa sadar ia memeluk tubuh Darren semakin erat, ia ingin merasakan lebih dari sekadat ciuman dan kehangatan tubuh Darren yang membakar gairahnya.
Sepertinya Malea terjebak oleh percikan gairah yang dipantik oleh Darren. Ketika Malea menggeliatkan tubuh menginginkan hal yang lebih, Darren berhenti. Kelopak mata Malea terbuka, memandang Darren penuh hasrat.
“Ini adalah hukuman untukmu Malea.” Malea tak mengerti apa maksudnya, ia masih terbius oleh hasrat yang dipantik oleh Darren beberapa menit lalu.
“Kau dengarkan aku baik-baik. Kau tidak boleh pergi kemana pun tanpa seizinku. Kau mengerti?” Peringatan itu tersirat dengan jelas dari kata-katanya, tak terbantahkan. Malea hanya bisa menganggukkan kepala lemah. Tak berdaya oleh pesona dan kharisma Darren yang mengintimidasi. Lagipula apa yang bisa ia lakukan selain menuruti apa keinginan majikannya ini.
“Darren, kau mau kemana?” Teriak Maea ketika pria itu meninggalkannya begitu saja.
“Aku mau pergi!” Ujarnya sambil membanting pintu apartemen dengan marah.
Malea hanya bisa mendesah pasrah. Pria majikannya itu memang sulit ditebak.
***