Part 7 Penyesalan

1329 Kata
Keesokan harinya Malea terlihat manis memakai gaun bermotif bunga sederhana namun terkesan anggun dan elegan ketika ia kenakan. Darren memuji selera berpakaiannya. Gadis itu tanpa perlu menghabiskan banyak uang bisa memilih pakaian yang cocok dengan dirinya. Berbeda dengan para wanita yang Darren kenal selama ini. Kebanyakan mereka lebih menyukai merk dan harga yang fantastis, walau sebenarnya Darren juga tidak menyukai model gaun yang mereka kenakan. “Gaun yang bagus!” “Terimakasih.” Malea tahu pujian itu untuk gaunnya yang ia beli kemarin, tapi entah kenapa mendengar pujian pria itu membuat wajah Malea tersipu kemerahan. “Apa kau sudah mau pergi?” Tanya Malea ketika pria itu menenteng tas kerjanya. “Kurasa aku akan pulang telat malam ini. Kuharap kau tidak menungguku.” Malea terlihat kecewa. Padahal malam ini ia sudah punya rencana akan memasak makan malam istimewa untuk Darren. Sudah seminggu ini, mereka selalu makan malam di luar. “Oh, iya. Kalau ada sesuatu kau bisa meneleponku. Aku sudah menempel nomor teleponku di kulkas.” “Baik.” Malea mengangguk, patuh. Ia berjalan mengikuti Darren keluar pintu yang segera dikunci pria itu. Malea terkurung di apartemen mewah yang terlihat seperti kandang emasnya. Selama berhari-hari tinggal bersama Darren, membuat ketakutan Malea tentang wanita peliharaan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia akhirnya mengakui kalau hidup bersama Darren tidak seburuk yang ia pikirkan. Darren selalu memperlakukannya dengan baik, walau sikapnya terkadang dingin dan tak acuh. Pria itu bahkan tidak menyakitinya secara fisik maupun verbal. Ia benar-benar diperlakukan dengan sangat baik, sehingga Malea merasa ia berutang budi kepadanya. Jika dibandingkan dengan kehidupannya sebelum bertemu Darren, Malea merasa inilah anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Setidaknya ia tidak harus bekerja siang-malam untuk menutupi kebutuhan hidup dan membayar seluruh utang ayahnya. Kehidupan yang indah ini membuatnya lupa tentang nasib ayahnya. Sekarang bagaimana keadaan pria itu, setelah ia mendapatkan uang yang cukup lebih guna membayar utangnya. *** Di sisi lain, Darren dengan berat hati terpaksa meninggalkan gadis itu sendiri di apartemennya. Entah kenapa, semenjak kedatangan Malea, Darren merasa hidupnya sedikit lebih berwarna. Keceriaan gadis itu, sikap lugunya, kepolosannya membuat Darren selalu ingin berada di dekatnya. Tak bosan ia mendengar gadis itu berbicara tentang segala hal. Begitu pun kegiatan yang ia lakukan setiap harinya. Darren selalu memantaunya tanpa sepengetahuan Malea. Di tengah kesibukannya menatap grafik laporan keuangan di layar laptopnya, terdengar panggilan interkom dari sekretarisnya. “Pak, ada seseorang ingin bertemu dengan anda.” “Siapa?” “Dia pria tua waktu itu, pak.” Leo menjawab takut-takut. “Suruh dia masuk!” Darren mengizinkan pria tua itu bertemu dengannya. Ia ingin tahu alasan kedatangan pria itu setelah perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya. Beberapa saat kemudian Leo datang bersama pria tua yang terlihat pucat kala itu. Darren menatapnya dengan dingin dan tanpa ekspresi. Pun pria tua yang tega menjual putrinya, menatap Darren dengan pandangan sendu. “Leo, tinggalkan kami berdua sekarang!” Perintahnya dengan suara yang tak terbantahkan. Dengan patuh, Leo berderap meninggalkan ruangan bosnya segera. *** Selama berhari-hari, Bagas mencari tahu tentang sosok Darren melalui koran ataupun majalah yang ia beli di agen koran langganannya. Tidak sulit mencari informasi mengenai pria yang terkenal akan kesuksesannya membangun bisnis di Indonesia. Ia tak mengerti apa yang membuat pria hebat ini tertarik pada putrinya dan bodohnya ia karena tergoda oleh sejumlah uang yang ditawarkan. Setelah kejadian itu, Bagas hidup dalam kubangan penyesalan. Bagaimana bisa ia menjual putrinya sendiri hanya demi... ah, ia merasa malu pada dirinya sendiri terlebih pada almarhumah istrinya jika mengingat hal tersebut. Wanita yang sangat dicintainya itu pasti menangis jika mengetahui apa yang telah terjadi. Bagas merasa gagal menjadi seorang ayah yang dicintai putrinya. Ia bahkan menyesali kejadian pada malam sebelum Malea menghilang. Malam itu, ia depresi karena uang hasil penjualan motor matik ludes tak bersisa karena kalah dalam berjudi. Ia pulang dengan tangan hampa, beruntung sang pemenang judi menghiburnya dengan mentraktirnya minum, setidaknya ia tidak terlalu meratapi kekalahannya. Seingatnya, ia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk malam itu. Hingga ia seperti melihat istrinya yang sangat dicintainya, hasrat lelakinya muncul, ia pun meraih sosok yang terlihat sebagai istrinya itu. Ia menciumnya dengan membabi-buta, hingga saat tersadar bukan istrinya yang dicumbunya melainkan putrinya yang menangis dalam dekapannya. Airmata bergulir disudut mata Malea, membuat Bagas terhenyak. Beruntung akal sehatnya kembali, sehingga Malea mendorongnya menjauh kemudian melarikan diri. Ia terdiam sejenak sambil menatap pintu yang terbanting keras sepeninggal Malea. Tak disangka Malea tak kunjung pulang, padahal ia sudah menunggu putrinya pulang dan berniat meminta maaf atas apa yang terjadi. Hingga keesokan paginya, Pranoto datang menagih utang yang telah ia janjikan sebelumnya. Karena tak memiliki uang sepeser pun, Bagas memohon untuk diberikan sedikit waktu. Tapi Pranoto sudah kehabisan kesabaran, ia pun mengancam Bagas untuk melaporkannya ke polisi atas kasus penipuan. Merasa takut atas ancaman itu, tanpa pikir panjang Bagas menawarkan Malea sebagai tanda perdamaian. Tentu saja Pranoto dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Sudah sejak lama, pria tua yang hobi menikah itu mengincar Malea untuk dijadikan istri kelimanya. Siapa yang tidak terpesona oleh kecantikan alami Malea yang diturunkan dari ibunya. Wajah yang lembut, rambut hitam panjang, tubuh mungil namun seksi, semua itu dimiliki Malea sebagai anugerah. ia pun setuju dan melepaskan Bagas dari utangnya asalkan pria itu menikahkan putrinya dengan dirinya. Dengan putus asa, Bagas mencari keberadaan Malea di tempat kerjanya. Namun, ia tidak menemukan gadis itu di mana pun. Hingga akhirnya salah seorang temannya menceritakan bahwa ia bertemu Malea di salah satu PUB terkenal di pusat ibukota. Berbekal informasi yang dia dapat, pergilah ia ke PUB itu dan benar saja Malea ada disana tengah melayani tamu dengan pakaian yang sangat minim. Jika mengingat kejadian setelah itu, membuat Bagas menyesali semua perbuatan yang dilakukannya terhadap Malea. Ia menyesal dan bermaksud memperbaiki segalanya. Karena itu ia disini menemui laki-laki yang telah membeli putrinya, “selamat siang, Darren! kurasa kau pasti masih mengingatku?” Sapanya berusaha memberanikan diri menghadapi pria yang memiliki aura yang menggetarkan nyalinya. “Apa maumu?” Tanya Darren dengan suara dingin. Bagas tahu ia akan diperlakukan dingin olehnya, tapi ia takkan gentar. Bagaimana pun, ia ingin mengembalikan putrinya ke sisinya lagi dan memulai semuanya dari awal. Bagas menyerahkan sebuah amplop, “apa ini?” Darren bertanya tanpa tertarik pada apa yang tersimpan di dalamnya. “Itu adalah cek satu milliar yang kau berikan. Aku ingin mengembalikannya dan membatalkan perjanjian kita.” Darren tersenyum sinis, ia menyandarkan tubuhnya dan bergoyang di kursinya sejenak. “Tidak semudah itu! Kau sudah menanda tangani perjanjian yang takkan bisa kau batalkan. Tak peduli kau mengembalikan cek itu padaku atau tidak? Karena berdasarkan perjanjian, putrimu selamanya akan tetap menjadi milikku! Apa kau lupa kalah kau sudah menjualnya padaku?” “Satu-satunya yang bisa membatalkan perjanjian kita adalah putrimu sendiri. Jika ia ingin kembali padamu, aku akan mempersilakannya. Tapi kurasa putrimu tidak akan melakukan itu, setelah apa yang telah kau lakukan padanya!” Ucapan itu membuat wajah keriput Bagas memucat. Darren tersenyum miring, “apa kau masih punya muka datang padaku setelah apa yang kau lakukan pada putrimu sendiri, hah? Kau bahkan nyaris menodainya? Ayah macam apa kau yang tega menodai putrinya sendiri? Bahkan binatang saja tidak melakukan itu terhadap anak mereka!” Aliran darah Bagas berdesir, seakan-akan terserap habis hingga ke permukaan. Ucapan Darren, memukulnya dengan telak. Membuatnya semakin pilu oleh penyesalan mendalam. “Jadi, kusarankan kau nikmati uangmu selama kau masih memilikinya.” Kata-kata terakhir Darren membuat wajah Bagas kelabu. Ia tampak shock karena telah kehilangan satu-satunya hal yang berharga miliknya. Jika mengingat apa yang telah dilakukannya saat itu, Bagas merasa pedih. Kenapa? Kenapa ia bisa menyakiti hati putrinya sendiri. “Pergilah! Aku tak sudi melihat wajahmu di depanku!” Kemudian Darren memanggil Leo yang segera muncul dan menggiring pria tua itu keluar. Dengan langkah gontai ia mengikuti Leo menuju pintu. Leo menatapnya penuh rasa ingin tahu. Tapi Bagas hanya melintasi meja kerjanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pria tua itu tampak terluka, terlukis dari wajah pucatnya. Entah apa yang dikatakan bosnya terhadap pria menyedihkan itu. Leo hanya bisa memberikan tatapan simpati padanya. Pria tua yang malang, gumam Leo dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN