Pagi ini, Aluna menatap langit – langit kamarnya dengan mata sembab. Bagaimanapun ia merasakan patah hati dua kali lipat. Ia kehilangan teman satu – satunya di kampus, teman yang belakangan ini memberinya semangat untuk berangkat kuliah dan memberinya pengalaman menyenangkan selama ia menempuh Pendidikan sarjana. Dhimas bahkan satu – satunya orang yang tidak pernah mem-bully dirinya di kampus. Selain itu, ia juga kehilangan sosok pertama yang berhasil membuka hatinya, memberinya pupuk untuk bisa berbunga. Kini, bunganya layu bahkan saat belum mekar.
Tapi ia menyadari, sejak awal bunganya tidak akan mungkin bisa berkembang indah. Ia telah memiliki perasaan yang salah pada seseorang yang sudah memiliki kekasih. Perlakuan yang menurut pria tersebut adalah hal biasa, tapi menurut Aluna, perlakuan yang ia terima sangat luar biasa dan membuatnya terpesona oleh semua kebaikan Dhimas.
Aluna mendesis sebal, ia tidak suka merasakan suasana hati gundah seperti ini, tapi air mata tetap saja keluar dari pelupuknya. Ia melirik jam di dinding, hari ini dia ada jadwal kuliah jam 10 pagi dan jam 2 siang, tapi rasanya sangat berat untuk memulai harinya.
Dia menyukai sendirian dan patah hati sendirian. Bahkan Dhimas tidak menghubunginya setelah mereka berpisah kemarin. Aluna sangat malu untuk mengakuinya, tapi sekarang ia merindukan sosok Dhimas.
Sosok yang selalu tertangkap oleh matanya bahkan sebelum ia mengenal pria tersebut. Bisa dekat, bicara dan tertawa dengan Dhimas adalah hal yang mustahil bagi Aluna pada awalnya. Tapi semua berubah Ketika laki – laki itu mengajaknya berteman. Mungkin memang sejak awal Aluna telah menyukai Dhimas tanpa sadar. Ia jatuh hati Ketika melihat Dhimas berjalan di koridor kampus, ia jatuh hati Ketika Dhimas duduk di kelas mereka, ia jatuh hati melihat Dhimas yang tertawa dengan teman – temannya di kampus. Tapi ia tidak menyadari karena ia tau laki – laki yang ia lihat tidak mungkin bisa ia gapai.
Aluna bangkit dari tidurnya dan bersandar pada headboard ranjangnya. Ia meraih buku lagu yang berada di atas nakas dan melihat beberapa lagu yang ia tulis Ketika menikmati momen bersama Dhimas. Ia tersenyum tipis, kini ia malu melihat tulisannya yang terlihat seperti sedang mentertawakan Aluna. Mungkin ia akan ditertawakan lagi setelah menulis di lembar baru bukunya. Ia mengambil pena berwarna hitam untuk kertas berwarna putih. Ia mulai menulis rangkaian kata yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Di jalan yang aku lalui
Aku melihat sekuntum bunga
Ukurannya lebih kecil dari tanganku
Bunga kecil seperti salju di Eropa
Hatiku terguncang
Bagaimana jika hujan turun?
Apakah akan membeku?
Aku jadi mengkhawatirkanmu
Aku tidak bisa merangkai kata – kata indah
Aku pernah melakukannya satu kali
Tapi aku tidak pernah memberitahumu
Aku akan selalu mengkhawatirkanmu
Selalu untukmu
Aku selalu mengarah kepadamu
Jika momen ini sangat membahagiakan
Jika aku memilikimu
Jangan lupa bahwa aku ada disini
Kamu seperti sebuah bibit bunga
Lalu ditanam di hatiku
Kamu terlihat seperti pohon rindang
Di bawah sinar matahari
Matahari yang bersinar padamu setiap hari
Kamu tidak menyadarinya
Disaat aku menyirami hatiku setiap hari
Hatiku telah memilih, dan aku tak tau harus bagaimana
Ketika aku tanpamu, Kupikir bunga itu akan layu
Semua duniaku akan kembali seperti dulu
Ternyata aku salah
Kamu adalah bungaku yang tidak akan mekar
Aluna menghela nafas, terkadang ia kesal dengan kemampuannya menuangkan perasaan dalam bentuk kata – kata seperti ini, tapi ia tidak bisa jika memendamnya tanpa menuliskannya. Ia memikirkan judul yang tepat untuk lagunya.
“Bunga”, gumam Aluna sebelum menuliskan judul di atas bait – bait tersebut.
Ia menghela nafas lagi dan menyenderkan kepalanya.
“Aku tidak ingin kuliah hari ini”, gumamnya.
Tok! Tok! Tok!
Aluna menatap pintunya yang diketuk seseorang, sejujurnya ia sangat malas untuk bertemu dengan seseorang hari ini.
“Dek? Kamu sudah bangun?”, saut Mitha.
Aluna akan merasa bersalah jika tidak menanggapi kakaknya, maka ia memutuskan untuk menjawab kakaknya.
“Masuk aja, Kak. Luna sudah bangun”, jawab Aluna.
Mitha membuka kenop pintu kamar Aluna dan tersenyum menatap adiknya. Ia berjalan untuk duduk di sisi ranjang Aluna yang kosong dan ikut bersandar di headboard Ranjang Aluna. Keduanya menatap langit – langit kamar bersama.
“Sakit ya, Dek?”, tanya Mitha tanpa menatap.
“Banget, Kak”, jawab Aluna.
“Tapi itu yang terbaik, Dek. Kakak nggak mau kamu semakin sakit kalau terlalu lama menjalani momen sama dia”, ungkap Mitha.
“Iya, Kak. Aluna juga berpikir yang sama, Cuma memang baru tau rasanya setidak enak ini”, balas Aluna.
“Ini kali pertama kamu suka seseorang ya?”, tanya Mitha.
“Ya”, jawab Aluna seraya mengangguk.
“Patah sebelum berkembang”, imbuh Aluna.
“Dek, kamu pasti bisa melalui ini semua. Kamu memang sakit sekarang, tapi kakak tau kok kamu pasti kuat”, ungkap Mitha.
Aluna tersenyum hampa.
“Ternyata jatuh hati rasanya nggak enak ya, Kak. Sakitnya bisa bikin lupa saat – saat awal jatuh hati”, balas Aluna.
“Ya begitulah”, saut Mitha.
“Kalau kakak?”, tanya Aluna.
“Hmm?”, gumam Mitha.
“Pernah patah hati nggak, Kak?”, tanya Mitha.
“Pernah lah, Namanya juga hidup, pasti pernah ngerasain yang Namanya patah hati”, jawab Mitha.
Aluna menatap kakaknya yang tengah tersenyum sedih.
“Kenapa, Kak?”, tanya Aluna.
“Kamu ingat sama temen kakak yang Namanya Dio?”, tanya Mitha.
Aluna mengangguk.
“Ingat, Kak”, jawab Aluna.
“Kakak bertepuk sebelah tangan sama Dio, kakak suka banget sama dia, cinta malahan, tapi ternyata dia nganggep kakak sahabat aja. Kadang aneh sih, rasanya nggak mungkin pertemanan antara wanita dan pria tidak ditumbuhi sebuah perasaan suka atau bahkan cinta. Tapi, dia benar – benar kekeuh dan mengatakan ia tidak suka dengan kakak. Padahal kakak sudah memberanikan diri untuk menyatakan kakak suka sama dia”, ucap Mitha.
“Aku malah berpikir kalau kak Dio itu pacarana sama kakak”, saut Aluna.
“Semua orang juga bilang kita kayak pacaran, Dek, tapi nyatanya nggak. Yah, kita nggak ada yang tau Namanya isi hati manusia, dan kita juga nggak bisa memaksa perasaan seseorang untuk suka sama kita. Karena itu, kakak menyarankan kamu untuk bicara sama dia, kakak tau, kamu pasti sakit, tapi akan lebih sakit kalau kamu tidak bergerak sekarang, Luna”, jelas Mitha.
Aluna mengangguk paham.
“Iya, Kak. Luna paham, Luna mau berusaha lupain dia aja, tapi hari ini Luna nggak mau kuliah dulu ya Kak, Luna belum sanggup kalau harus ketemu dan dia ajak ngobrol”, pinta Aluna.
Mitha mengangguk dan merangkul adiknya.
“Iya, hari ini kakak temani kamu di rumah juga”, ucap Mitha.
Aluna tersenyum senang.
“Yang benar, Kak?”, tanyanya.
“Iya benar”, jawab Mitha
Aluna memekik senang dan memeluk Mitha dengan sayang.
“Sayang kakak banyak – banyak”, seru Aluna.
Mitha tertawa dan mengeratkan pelukannya.
“Sayang Adek juga, banyak pake banget pake komplit”, balas Mitha.
Keduanya tertawa sebelum mengurai pelukan masing – masing.
“Dek, bikin mie instan yuk!”, ajak Mitha.
Aluna menatapnya takut.
“Kalau Papa tau bisa marah, lho”, jawab Aluna.
Ya, papa mereka memang tidak suka jika anak – anaknya memakan mie instan. Tidak, bukan karena aasan kesehatan, tapi ia tau istrinya sudah memasak banyak untuk mereka dan tidak ingin menyia – nyiakan usaha istrinya. Karena itu, ia tidak suka jika anak – anaknya memilih makan mie instan alih – alih menikmati masakan mama mereka sendiri.
“Nggak, kok. Papa udah berangkat kerja, Mama juga belum masak, masih belanja, jadi kita aman. Ayok, Dek.. terakhir makan mie kan sudah satu bulan yang lalu”, pinta Mitha.
Aluna membayangkan betapa nikmatnya rasa mie instan kesukaannya, jangankan rasa, aromanya saja sudah membuat dia ngiler.
“Gas?”, saut Mitha.
Aluna menatap kakaknya penuh semangat.
“Gas, Kak”, balas Aluna.
Mereka berdua beranjak dari Kasur dan berlarian menuju daur untuk membuat makanan dengan rasa lezat tersebut. Aluna bersyukur memiliki kakak seperti Mitha yang selalu ada untuknya. Ia bahkan bisa terhibur dengan kakaknya.
Aluna sangat menyayangi kakaknya, baginya Mitha sudah bukanlah saudara tiri. Melainkan saudara kandung yang saling mendukung satu sama lain. Ia sangat mencintai keluarganya, dan ia tau. Keluargnya sangat berharga dan peduli padanya. Karena itu ia tidak ingin berlarut dengan perasaannya saat ini. Ia memang sakit, dan mungkin akan sulit melupakan perasaan ini, tapi ia tidak ingin terpuruk dan membuat sulit keluarganya.
Aluna harus menjadi sosok periang seperti biasanya agar tidak ada yang mencemaskan dirinya. Ya, semoga bisa seperti itu
*****