Bab 10 The Truth

1415 Kata
"Dek", saut Mitha. "Iya, Kak?", balas Aluna. Kakak dan adik itu tengah menikmati suasana sora hari di halaman belakang rumah mereka. "Gimana hubungan kamu sama si dia?", tanya Mitha. Aluna tersenyum menatap kakaknya dari samping. "Kami hanya berteman, Kak. Kami tidak punya hubungan apapun", jawab Aluna. "Hah?! Kok bisa?", seru Mitha kaget. Aluna mengangkat bahunya cuek.  "Pasti bisa kak, kami hanya teman satu kampus, tidak lebih", ujar Aluna. Mitha menatapnya tidak percaya. "Bagaimana bisa kedekatan kalian gak ada hubungan apapun?", tanya Mitha. "Ya bisa aja, Kak. Aku sama Dhimas memang cuma teman, tidak lebih", jelas Aluna. "Lalu bagaimana perasaanmu? Kmau suka dia kan?", tanya Mitha. Aluna menatap kakaknya terkejut. "Apa? Ya ampun, Dek.. anak SD yang masih ingusan juga tau kali kalau kamu suka sama dia", ujar Mitha menatapnya dengan malas. Aluna meringis malu. "Keliatan banget ya, Kak?", tanya Aluna. "Banget, makanya kakak heran, kok bisa - bisanya kamu sama dia cuma berteman", ujar Mitha. "Bisa, kak. Soalnya dia punya pacar", ungkap Aluna. "Hah?! Punya pacar?!", seru Mitha. "Sssst... Kak, jangan teriak - teriak, nanti Mama sama Papa dengar", ujar Aluna. "Oh iya, sorry, Dek. Tapi bagaimana bisa seseorang diam saja melihat kekasihnya menghabiskan waktu bersama dengan teman wanitanya, Dek? Gak masuk akal, Aluna", ujar Mitha. "Masuk akal kak, karena.. jadi gini ceritanya" Mitha memutar posisi duduknya menghadap Aluna untuk mendengarkan cerita Aluna dengan seksama. "Pacar dia seorang single parent", ungkap Aluna. "Hah?! Single parent?!", seru Mitha. Aluna meleltakan telunjuk di depan bibirnya untuk memberi isyarat pada kakaknya untuk diam. "Ssst, Kak, jangan teriak - teriak, dong", ujar Aluna. Mitha meringis meminta maaf. "Lanjut", imbuh Mitha. Aluna mengangguk. "Dia bilang, tidak peduli apapun status kekasihnya, statusnya tidak mengubah apapun kalau dia menyukai pacarnya", ujar Aluna. "Tapi, tetap saja, Dek. Wanita mana yang mau pacarnya jalan - jalan sama teman wanitanya hampir setiap hari", protes Mitha. Aluna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kata dia, pacarnya sangat cuek dan tidak peduli ia pergi dengan siapa. Hanya kepentingan anaknya yang ia perhatikan. Biarpun semua orang tua memang begitu, tapi dia memperlakukan pacarnya terlalu cuek sehingga pacarnya juga tidak bisa kemanapun, karena setiap kali diajak pergi main jawabannya selalu penolakan", jelas Aluna. Mitha mengangguk - angguk memahami situasinya. "Aku terkesan seperti perebut pacar orang ya, Kak?", tanya Aluna. Mitha menatap Aluna. "Nggak bisa dibilang begitu juga sih, Dek. Biarpun kamu menyukainya, tapi kamu tidak ada niat merebut dia dari pacarnya kan?", tanya Mitha. Aluna mengangguk. "Tapi kamu tetap ada perasaan berharap?", tanya Mitha. Aluna kembali mengangguk. "Kalau begitu, yang salah temanmu itu", simpul Mitha. Aluna mengernyit bingung. "Lho? kok jadi dia, Kak?", tanya Aluna. Mitha mengangguk. "Ya, dia sumbernya. Kenapa dia tidak berbicara dari hati ke hati pada pacarnya untuk menyampaikan rasa keberatan dan berbagai keluhannya dan malah mengajak wanita lain jalan - jalan dengannya apapun alasan yang ia berikan", jelas Mitha. Aluna menunduk malu, ia terkesan seperti seorang perempuan gampangan yang mau saja di ajak main oleh seorang laki - laki berpacar. "Luna terkesan gampangan ya, Kak?", sedihnya. Mitha mengusap pundak adiknya untuk menenangkan. "Nggak kok, seperti yang Kakak bilang barusan, yang salah itu temanmu, harusnya ia menjadi lebih bijaksana. Kalau memang cinta dengan pacarnya, harusnya berjuang juga dong, mungkin saja dia juga tidak perhatian sampai - sampai pacarnya menjadi seorang yang cuek dan hanya fokus untuk merawat anaknya", jelas Mitha. Aluna merasa ucapan kakaknya adalah benar. "Jadi, Luna suka sama dia salah ya, Kak?", tanya Aluna. "Nggak, Dek. Kamu nggak salah, perasaan itu tidak bisa diatur. Ketika kamu menyukai seseorang, yang harus kamu lakukan adalah menikmati perasaan indah itu. Hanya saja, terkadang perasaan itu datang di waktu yang salah, sehingga orang - orang seringkali memberi peran si antagonis dan si protagonis yang malang. Padahal, keduanya tidak salah, perasaan itu tidak bisa dikendalikan", jelas Mitha. "Berarti Luna antagonisnya?", tanya Aluna. "Belum tentu, bisa saja temanmu antagonisnya, karena dia hanya diam melihat situasi ini", jawab Mitha. Aluna mengernyit. "Masa dia tau aku suka sama dia, Kak?", tanya Aluna takut. "Kalau dia laki - laki berperasaan peka, maka ia akan tau kalau kamu suka dia. Tapi jika dia tau dan membiarkan perasaan kamu tumbuh begitu saja tanpa ia hentikan sementara ia masih menjalin hubungan dengan kekasihnya, berarti dia jahat karena menikmati perhatian dari kamu tapi mengharapkan cinta dari orang lain", ungkap Mitha. Ya, Mitha memang wanita yang memiliki sisi rasional besar dalam pikirannya. Segala sesuatu ia nilai dari perspektif yang berbeda dari orang lain. "Kecuali, kalau kamu menyukai seseorang yang dari awal sudah kamu ketahui bahwa dia memiliki keterikatan komitmen seperti pernikahan dan kamu masih saja berharap dan mendekatinya, itu kamu salah. Namanya kamu ingin merebut kebahagiaan wanita lain demi kebahagiaan kamu sendiri. Itu namanya antagonis", imbuh Mitha. Aluna mengangguk paham. "Lalu Luna harus bagaimana, Kak? Luna bingung", tanya Aluna. Mitha tampak berpikir sejenak. "Kamu bicarakan dengan dia, bilang kalau kamu mereasa tidak enak dengan semua ini, dan lihat bagaimana responsnya", saran Mitha. Aluna mengangguk, ia setuju dengan kakaknya. Ia harus berbicara dengan Dhimas. ***** "Lun? Kok nggak dimakan? Apa tidak enak?", tanya Dhimas yang sedang menikmati makan siang dengan Aluna di sebuah cafe yang terletak cukup jauh dari kampus mereka. Aluna tersenyum samar. "Enak kok, Dhim", jawab Aluna. "Lalu kenapa tidak dimakan?", tanya Dhimas yang ikut berhenti makan. Aluna mengulum bibirnya. "Hmm.. aku hanya merasa tidak enak dengan pacarmu", jawab Aluna. Dhimas mengernyit bingung. "Kenapa dengan pacarku?", tanya Dhimas. "Bagaimana pun kamu berstatus pacar seseorang, tapi kamu menghabiskan waktu dengan teman wanita kamu hampir setiap hari. Aku rasa ini salah, secuek apapun seorang wanita pasti tidak suka jika kekasihnya jalan - jalan dengan teman wanitanya", ungkap Aluna. Dhimas menatap Aluna dengan tatapan menilai. "Kamu ingin aku bicara dengannya?", tanya Dhimas. "Bukan tentangku, tapi tentang kamu dan dia. Kamu bilang dia terlalu cuek dan lebih mengutamakan anaknya. Tapi apakah kamu pernah berbicara dari hati ke hati dengannya? Kenapa dia bersikap cuek seperti itu? Pasti ada alasannya kan?", tanya Aluna. Dhimas terdiam mendengar kalimat Aluna. "Sebenarnya, alasan dia adalah malu", ungkap Dhimas. Aluna mengernyit bingung. "Malu?", ulangnya. Dhimas mengangguk. "Dia malu karena punya pacar yang masih kuliah", ungkap Dhimas. Aluna terkejut mendengar alasan yang tidak masuk akal itu. "Lho? Kan memang sudah sesuai tingkatannya kamu kuliah, kalau dia malu dengan pacarnya yang masih kuliah, kenapa dia menerima kamu?", tanya Aluna. Dhimas tersenyum samar. "Sebenarnya, aku empat tahun lebih tua dari kamu dan angkatan kita", ungkap Dhimas. Aluna terdiam. Empat tahun? Itu berarti umurnya sekarang sudah 25 tahun? "Aku sempat berhenti kuliah di universitas lain sebelum kuliah di kampus kita. Aku dan dia adalah teman satu angkatan saat SMA. Dia menikah setelah lulus kuliah dan mempunyai anak, tetapi pernikahannya tidak berjalan lancar sehingga ia bercerai denga mantan suaminya. Kini mantan suaminya sudah menikah lagi dan begitu mengetahui dia berpacaran denganku yang masih kuliah, mantannya menertawakanku dan bilang kepada pacarku kalau dia sangat tidak bermutu dalam memilih pasangan pengganti. Sejak itu dia cuek dan tidak peduli dengan apa yang aku lakukan", jelas Dhimas. Aluna tidak bisa mencerna kenyaaan yang membuatnya mematung.  "Lalu kenapa kamu masih bertahan?", tanya Aluna. "Karena aku menyukainya", ungkap Dhimas. Aluna terdiam. Benar apa yang dikatakan Mitha, Dhimas bukan tidak menyadari perasaannya, tapi pria itu hanya tidak ingin kesepian dan mencari seorang teman. "Ini salah, Dhim", ucap Aluna. "Maksudnya?", tanya Dhimas. "Apa yang kita lakukan ini salah, tidak seharusnya kamu jalan - jalan denganku seperti ini. Harusnya kamu berusaha meyakinkan pacar kamu untuk menerima kamu apa adanya", jawab Aluna. "Lun.." "Maaf, Dhim. Tapi aku mereasa menjadi orang jahat yang bermain dengan pacar seseorang", ungkap Aluna. "Tapi aku ingin berteman denganmu", ungkap Dhimas. Aluna tersenyum. "Berteman tidak harus keluar bersama setiap saat, Dhim. Jika orang lain melihat kita mereka akan salah paham", balas Aluna. Dhimas terdiam dan menunduk sedih. "Baiklah, aku akan bicara dengannya, maaf karena telah menempatkan kamu ke posisi yang tidak nyaman", ucap Dhimas. "Tidak masalah, itu gunanya teman", balas Aluna. Dhimas tersenyum kecil menatap Aluna. Aluna yang tidak ingin menatap Dhimas terlalu lama meraih tasnya dan berdiri. "Kalau gitu, aku pulang dulu ya", pamitnya. "Aku antar.." "Nggak perlu, Dhim. Lebih baik kamu hubungi pacar kamu, aku akan naik taksi online", sergah Aluna. Dhimas mengangguk tak berdaya. "Baiklah, hati - hati, kabari kalau sampai rumah", ucap Dhimas. Aluna tersennyum sambil mengaitkan tas di pundaknya. "Aku akan sampai rumah dengan selamat, jadi jangan menunggu kabarku ya", ucap Aluna sebelum meninggalkan Dhimas di cafe tersebut. Aluna berpikir, apa yang ia lakukan benar. Dan inilah akhir dari pertemanannya dan Dhimas. Ia tidak ingin menjadi benalu di sebuah hubungan, maka dari itu, ia memilih untuk melepaskannya dari pada harus menyakiti orang lain. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN