Sahabatku Nina

1006 Kata
Namaku Alia Amran. Terlahir kembar dengan saudara lelakiku yang bernama Ali Amran. Dia lebih tua lima menit dariku. Ayahku Amran Chaniago adalah seorang pengusaha yang cukup terpandang di kota Padang. Konon kabarnya Ayah masih bertali  darah dengan  keturunan Kerajaan Pagaruyung. Faktanya entahlah, aku tidak tertarik. Sementara Ibu hanyalah seorang gadis biasa asal Alahan Panjang. Orang-orang menyebut daerah itu kutub tak bersalju karena suhunya yang dingin. Sewaktu kecil, aku dan Ali sering berkunjung kesana. Tempat favoritku adalah Danau  Diateh  yang terletak tidak jauh dari rumah Nenek. Eksotisnya puncak Gumanti juga tidak kalah menakjubkan, dari sana aku bisa melihat empat buah danau sekaligus. Yaitu Danau Diateh, Danau Dibawah, Danau Talang yang berada di kaki gunung Talang, serta hamparan Danau Singkarak yang tampak sekilas dari kejauhan. Menurut cerita, pertemuan Ayah dan Ibu bermula karena sebuah peristiwa lucu. Saat itu Ibu menghajar Ayah karena mengira sudah mengintipnya yang sedang mandi di danau. Ibu memukuli Ayah dengan gayung sampai babak belur. Peristiwa itu bahkan menjadi tontonan warga yang sedang melintas. Namun siapa sangka, pertengkaran itu malah berakhir dengan pernikahan. Sayang keharmonisan itu tidak berlangsung lama. Semua hancur sebab pihak ketiga. Ayah terlena, Ibu pun menyerah. Ayah lebih memilih wanita simpanannya dan Ibu memilih lari dari rumah. Saat itu aku dan Ali masih berusia sepuluh tahun. Sejak kepergian Ibu, aku dan Ali tidak pernah lagi berkunjung ke Alahan Panjang. Kami tinggal di Padang bersama Nenek dari pihak Ayah. Sementara Ayah menetap di Sawah Lunto bersama istri barunya. Tanpa Ibu kehidupan kami terasa hambar. Jarak yang membentang juga menjauhkan hati kami dan Ayah. _ Silau cahaya matahari pagi membuat aku terbangun. Kepala dan punggungku terasa sakit karena tidur di lantai. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi dan aku lapar. Aku beringsut menuju pojokan yang kujadikan sebagai dapur. Ruangan sempit ini mencangkup semuanya. Ruang tamu, kamar tidur dan sekaligus dapur. Sementara untuk kamar mandi menggunakan toilet umum yang terletak di luar. Meski begitu aku nyaman tinggal di sini. Aku membasuh wajahku dengan sisa air di gelas. Pergi ke toilet umum sama saja dengan bunuh diri. Aku takut bertemu dengan Bu Narti. Cacing di perutku kian meronta. Tidak ada makanan, beras juga sudah habis. Aku panik, tubuhku mendadak terasa panas. Aku bergegas membuka lemari. Menyibak dan menyelipkan tangan di antara lipatan pakaian. Dengan gusar kubuang semua pakaian itu ke lantai. Tidak ada apa-apa lagi di sana, hanya terlihat beberapa ekor kecoa yang langsung kabur terbirit-b***t. Semua habis, tidak ada sepeser pun uang yang tersisa.  Perutku semakin melilit. Aku harus keluar mencari bala bantuan. Aku harus pergi ke tempat Nina. Setidaknya aku bisa meminta sepiring nasi putih padanya. Setelah menarik napas dalam, aku memberanikan diri untuk melangkah keluar. _ Pintu rumah Bu Narti tertutup rapat. Aku lega, setidaknya aku aman untuk saat ini. Segera kupercepat langkah menuju kontrakan Nina. Letaknya berada di paling ujung gang ini. Nina itu temanku, lebih tepatnya sahabat terbaikku.  “Tambah lagi lauknya! ah, kamu pakai acara malu-malu segala.” Nina menaruh sepotong ayam lado hijau ke piringku. “Kamu pasti belum makan dari semalam, kan?” tanya Nina. “Iya,” jawabku. Rasa lapar mengalahkan rasa malu. Ini sudah piring yang ketiga. Nina menyuguhkan segala jenis makanan yang dia punya. Aku menyantap semua itu seperti orang yang kesurupan setan lapar. “Dia belum pulang juga?” tanya Nina lagi. “Belum.” “Keterlaluan, nanti kalau dia pulang akan aku beri dia pelajaran.” Nina meninju telapak tangannya sendiri. “Tunggu, apa jangan-jangan kalian bertengkar?” “Nggak kok! Terakhir dia ngasih kabar katanya memang lagi sibuk-sibuknya. Oh iya... Bu Narti ke mana?” aku berbohong, sekaligus mengganti topik pembicaraan. “Bu Narti pulang ke Semarang, katanya mertuanya sakit,” terang Nina. “Benarkah...?” aku terkejut, lebih tepatnya senang mendengar kabar itu. “Kamu pasti belum bayar kontrakan?” Nina menatapku usil. “Hahaha... ya begitulah.” aku menggigit bibirku sendiri. “Eh, tapi ngomong-ngomong hari ini kamu nggak kuliah?” “Aku ngambil jatah libur, capek kalau harus belajar terus,” keluh Nina. _ Rahmadina, maunya dipanggil Nina. Dia seumuran denganku, hampir dua puluh tahun. Selain baik hati, Nina itu juga berparas cantik. Dia memiliki postur tubuh bak seorang model. Berwajah tirus, kulit putih, dan rambut lurus sepinggang.   Dia juga orang Minang. Itulah salah satu alasan yang membuat kami cepat akrab. Nina berasal dari Pasaman Timur. Saat ini dia kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Nina satu-satunya temanku semenjak tinggal disini. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Dia selalu mengantarkan masakan yang dia buat, membagi sembako kiriman dari orang tuanya, dan juga memberiku beberapa perabotan yang tidak kupunya. Bonusnya, Nina juga rekan yang asik untuk diajak ngerumpi. “Tau nggak sih, kemaren itu ada anak Medan yang godain aku di kampus.” Nina bercerita dengan antusias. “Terus gimana? Apa kamu juga suka sama dia?” “Suka sih, anaknya lumayan lucu. Tapi logatnya itu bikin aku kaget terus. Takutnya ntar aku bisa kena serangan jantung.” Nina bergidik ngeri. Aku tergelak mendengar jawaban Nina. “Kan, memang itu ciri khasnya. Lelaki Batak itu seperti duren. Di luarnya memang berduri tapi di dalamnya lembut, kok.” “Sok tau deh, emangnya kamu pernah dekat sama orang Batak?” tanya Nina. “Pernah sih, waktu aku masih SMA. Namanya Erwin Harahap, banyak anak cowok yang takut dan jadi kacungnya dia. Disuruh bikinin PR, beli ini, beli itu, pokoknya dia udah kayak jadi raja di kelas.” “Terus gimana?” Nina semakin penasaran. “Dia nembak aku!” “What...? terus kamu jadian sama dia?” Nina terbelalak kaget. “Nggak! Aku nolak dia. Kamu tau apa yang terjadi selanjutnya?” “Apa? Dia ngehajar kamu?” tebak Nina. “Bukan! Dia nangis dan ngadu sama mamanya.” Nina membeku dengan mulut terbuka. Sesaat kemudian barulah tawanya pecah. Obrolan kami terus berlanjut menceritakan berbagai kisah lucu yang mengundang tawa. Berkat Nina, aku bisa melupakan sejenak rinduku padanya. Aku yakin dia pasti kembali. Sejauh apa pun, selama apa pun, dia pasti pulang padaku. Dia hanya pergi sebentar. Aku cinta dia. Dia cinta aku. Kami saling cinta, karena itulah cinta kami terus diuji. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN