Fajar pun kembali ke Jakarta tanpa mampir ke rumah mamahnya di desa itu lagi. Dia langsung menuju rumah tempat dia dan Nisha tinggal selama ini, karena memang dia juga punya kunci rumah itu.
Fajar benar-benar terhenyak, semua barang Nisha, Naffa dan Zahran sama sekali tak ada. Tak ada memori tersisa di sana untuk dirinya. Foto anak-anak semua dibawa Nisha. Foto pernikahan yang ada Nishanya sudah digunting, yang ada Fajarnya sendirian.
“Aku mau tinggal di mana? Aku tak mau tinggal di rumah Dhani. Tidak mau. Terlebih setelah tahu faktanya dia hanya mencari hartaku. Dia pasti berharap rumah ini. Setidaknya rumah ini akan dibagi dua sehingga bagianku bisa untuk dirinya,” ucap Fajar.
Sehabis Fajar pulang Nisha dan Ujang pun bersiap pulang mereka harus bersiap untuk beraktivitas hari Senin besok. Tentu saja ambu dan bapak sedih tetapi mereka tahu Nisha kuat menghadapi semuanya.
“Tenang saja Ambu, Bapak,” kata Nisha dengan tenang.
“Sejak dia menjatuhkan tolak barusan, bahkan sejak hari Jumat lalu dia sudah tidak bisa memberi tanda belas kasih atau uang sumbangan apa pun untuk aku. Karena sejak hari Kamis aku sudah menutup rekeningku dan membuka yang baru. Dia tidak bisa mentransfer tanda kasihan untuk anak-anak. Aku akan berdiri sendiri. Jadi Bapak mau pun Ambu tenang. Anakmu ini bukan pengemis! Aku berdiri sendiri,” ucap Nisha.
“Satu minggu lagi aku tunggu Bapak dan Ambu di rumah kontrakan kami. Kita lihat siapa Nisha sebenarnya,” ucap Nisha.
Sepeninggal Nisha, Raihana langsung menghubungi Widya, dia menceritakan Fajar sudah menjatuhkan talak dan diterima oleh Nisha dengan senang hati. Dan Raihana juga memberitahu kalau Nisha telah menutup rekeningnya jadi Fajar sama sekali tak akan bisa memberi uang satu rupiah pun pada Nisha mau pun anak-anak. Raihana sengaja memberitahu hal itu agar Widya tahu, anak perempuannya tak butuh dana untuk hidup dari uang Fajar sama sekali.
“Aduh aku lupa, hari Jumat kemarin seharusnya jadwal aku kasih uang mingguan ke Nisha,” kata Fajar.
“Karena senang dia akan pergi ke Banten, aku lupa kasih uang mingguan seperti biasa. Aku pikir biasanya kan Minggu sore akan kembali.” Fajar langsung mengambil ponselnya ingin melakukan m-banking tapi beberapa kali dia coba nomor itu sudah tak bisa menerima transferan darinya. Di situ ditulis bahwa nomor sudah ditutup. Tentu saja Fajar bingung dia langsung menghubungi Nisha tapi rupanya nomor Nisha sudah memblokir nomor dirinya.
Fajar pun langsung menghubungi nomor bapak Lastyanto atau bapaknya Nisha, tapi nomor tersebut juga sudah memblokir dirinya. Begitu pun nomor ibu Raihana dan nomor mamahnya. Nomor mamah kandungnya pun memblokir Fajar. Tentu saja sekarang Fajar hanya seorang diri berteman dengan Dhani yang ternyata adalah sampah. Fajar tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia sama sekali tak diberi peluang untuk memberi nafkah pada anak-anaknya.
“Selama ini Nisha itu cuma aku kasih uang mingguan loh, apa dia cukup uang segitu sedangkan dia punya anak dua dan operasional kami juga besar. Dia masak untuk seisi rumah, tidak seperti Dhani. Dia juga harus membayar bensinnya Ujang untuk antar jemput Naffa di sekolah. Belum lagi uang lain, padahal tiap minggu aku hanya memberi dia 6 juta. Hanya selisih satu juta dari Dhani yang free tidak masak dan tidak membayar apa pun untuk anak-anak. Aku memang terlalu gila,” sesal Fajar.
Fajar bingung harus menghubungi Nisha ke mana? Harus memberikan uang buat anak-anaknya ke mana? Karena biar bagaimanapun anak-anak masih kewajiban dia sampai mereka dewasa nanti. Dia tidak akan mungkin tidak memberi uang walaupun Nisha tak mau. Itu adalah kewajibannya yang akan Allah minta pertanggungjawaban jawab di akhirat kelak.
Pagi ini karena tidak mengantar Naffa ke sekolah, Fajar langsung ke kantornya. Dia bahkan tidak mau menemui Dhani dan tidak menjawab telepon Dhani mengapa Fajar belum pulang atau belum datang ke rumahnya.
Dhani berpikir Fajar pasti pulang bersama Nisha sehingga tidak menghubunginya karena itu saat jam sekolah dia menanti kedatangan Fajar di sekolah seperti biasa.
“Itu kantor firma hukum di depan bukannya sudah lama buka ya?” gumam Fajar lirih saat dia kan memutar arah menuju kantornya.
“Kok baru hari ini banyak karangan bunga bahwa kantor tersebut diresmikan? Apa selama ini kantor hanya operasional tapi belum diresmikan?” pikir Fajar melihat kantor firma di seberang kantornya banyak karangan bunga peresmian. SHASI LAW FIRM, begitu nama kantor lembaga bantuan hukum tersebut.
Semakin siang jalan di seberang mulai macet karena banyak parkiran mobil para tamu undangan. Fajar jadi tertarik, dia lihat dari kaca ruang kerjanya.
Dari jendela ruang kerjanya di lantai 4 kantornya terlihat jelas satu jalur di seberang sangat padat.
“Wah rekanannya sangat banyak, pasti pengacaranya hebat,” kata Fajar pelan. Entah mengapa dia mulai tertarik, padahal selama enam bulan beroperasi dia sama sekali tak ingin tahu soal firma hukum itu.
“Kantor firma hukum! Seandainya dulu Nisha tidak aku nikahi, pasti dia masih bekerja di firma hukum. Dia dulu baru 14 bulan bekerja saat aku nikahi. Dan dia langsung memutuskan berhenti bekerja, karena dia ingin menjadi istri yang berbakti dan ikut pindah ke Jakarta dari Bandung. Ternyata baktinya aku sia-siakan,” Fajar tahu memang Nisha umur 18 tahun sudah menjadi sarjana hukum. Karena itu, waktu mereka menikah Nisha berprofesi sebagai pegawai sebuah firma hukum di Bandung. Lalu mereka mulai berupaya di Bandung 1 tahun kemudian mereka pindah ke Jakarta.
Fajar dan Nisha mulai merangkak dari nol dan akhirnya mereka berhasil atau tepatnya Fajar berhasil menjadi pengusaha di Jakarta tentu tanpa peran aktif Nisha sebagai penunjang semua itu tak akan mungkin dia raih.
“Kamu di mana Pa?” tanya Dhani ketika berhasil menghubungi Fajar dan diterima oleh suaminya.
“Di kantor,” jawab Fajar malas.
“Kok tadi pagi nggak ke sekolah dan sekarang nggak makan siang bareng Mama?” tanya Dhani tak curiga.
“Aku nggak akan mungkin lagi ke sekolah tersebut, karena Naffa sudah pindah sekolah. Tak ada alasan aku untuk datang ke sana pagi-pagi dan satu minggu ini aku sedang super sibuk. Aku tak bisa makan siang bareng kamu atau kamu datang ke sini, ibuku ada di rumahku dan tiap siang dia ke kantor. Jadi seminggu ini tidak ada kunjungan sama sekali,” jawab Fajar menenangkan Dhani. Dia yakin Dhani tak akan mungkin mendatangi rumahnya Nisha atau datang ke kantornya karena ada ibu Widya yang selalu memantau. Alasan tepat karena tentu saja keributan antara Fajar dan Nisha pasti berimbas pada orang tuanya.
“Lalu bagaimana dengan istrimu?” tanya Dhani dengan senang hati membayangkan Nisha sudah menjauh dari suaminya. Sebentar lagi dia istri tunggal Fajar dengan segala kemewahannya.