Chapter 26

1816 Kata
"Jangan dipikirkan!" "Kau sudah melakukan hal yang baik, kok!" "Aku tidak akan membencimu, kok!" "Jangan khawatir, tindakanmu keren, kok!" "Jadi, jangan merasa bersalah lagi, ya, Melios!" Setiap hari, teman-teman sekelas Melios selalu mengatakan hal-hal seperti itu padanya, untuk menyemangatinya agar tidak berwajah murung lagi, karena dia selalu merasa bersalah atas lenyapnya Raiga dari Surga. Mesikpun begitu, Melios tetap tidak bisa menjalani hari-harinya dengan normal kembali, karena beban berat terasa sedang bertengger di pundaknya. Bahkan, walaupun sebagian besar penduduk sekolah memandangnya sebagai seorang pahlawan karena telah menemukan dan melenyapkan Sang Malaikat Pendendam dari Surga, tapi tetap saja, ada beberapa murid dan guru yang membencinya. Dan kejadian kemarin--yang dirinya dihajar habis-habisan oleh geng Rey--menjadi sebuah bukti, bahwa tidak semua orang senang padanya, ada orang-orang yang malah memandangnya sebagai  malaikat menjengkelkan. Dan itu membuatnya tertekan. Entah mengapa, akhir-akhir ini, namanya jadi terkenal di seluruh Surga, bahkan beberapa malaikat elit pun sampai mengenalinya, karena bagi mereka, Melios adalah sosok pahlawan penyelamat Surga. Tapi sebaliknya, bagi dirinya sendiri, dia adalah sosok malaikat pengecut, payah, dan bodoh. Sebagian dari dirinya pun, membenci tindakannya saat melaporkan Raiga pada malaikat elit, dan sebagian lagi, merasa bahagia karena salah satu musuhnya telah menghilang. Setelah merasakan dua hal yang berbeda secara bersamaan di jiwanya, Melios jadi heran, mengapa dia terlahir sebagai seorang malaikat? Padahal di dalam hatinya, selalu dipenuhi dengan keegoisan, iri hati, kebencian, dan ketakutan. Jika bukan pengecut, julukan apa yang pantas disandang olehnya? "Ah, maaf," Seorang lelaki tiba-tiba menubruk pundaknya di lorong menuju perpustakaan saat Melios sedang membawa setumpuk buku di tangannya, membuat buku-buku tersebut berjatuhan. "Ah, kau kan, Melios Si Pahlawan!" Ketika lelaki itu menatap muka Melios, ia terkejut. Lelaki berambut cokelat itu pun tergesa-gesa membungkukkan badannya untuk memunguti buku-buku yang berjatuhan itu dan mengangkutnya sendirian. "Terima kasih," ucap Melios dengan menghadapkan wajahnya ke bawah, menundukkan kepala, tidak ingin menatap wajah orang yang barusan memunguti buku-buku tersebut, tapi saat kedua tangannya akan meraih buku-buku yang dipegang lelaki berambut cokelat itu untuk dibawa kembali, orang itu dengan sengaja tidak memberikannya. "Tolong, kembalikan buku-buku itu, aku harus menyimpannya di perpustakaan." "Oh! Tenang saja, biar aku saja yang membawanya! Yah, sembari membalas jasamu karena telah menyelamatkan Surga dari--" "Kumohon! Kembalikan buku-buku itu!" Tidak ingin mendengar ucapan lelaki itu lebih jauh, Melios spontan berseru dengan kesal, kepalanya masih ditundukkan, tidak mau berkontak mata dengan orang tersebut. Kaget karena dibentak oleh Melios, lelaki berambut cokelat itu terheran-heran dan segera bertanya, "Ada apa? Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik? Apakah ada suatu masalah? Jelaskan saja padaku! Aku akan membantumu!" Merasa seruannya tidak didengar, Melios pun dengan terpaksa mengangkat wajahnya untuk menatap muka orang tersebut lalu menjawab pertanyaan itu dengan memasang tampang jengkel dan disertai nada yang tinggi. "Maaf dan terima kasih! Dan juga! Kau tidak perlu khawatir! Karena itu! Bukan urusanmu!" Lalu Melios segera merebut buku-buku yang ada di genggaman lelaki itu dengan cepat dan ia langsung pergi dari hadapan orang itu dengan meninggalkan kesan dingin. "Hah.. Hah... Hah..," Napas Melios terengah-engah setelah sampai di depan pintu perpustakaan, tangannya sampai bergetar. "Bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa aku harus bertemu dengan orang seperti dia! Aku tahu namanya! Dia adalah Norman Bravery! Putra tunggal dari Nicholas Bravery, Malaikat Elit Kesatu!" Di seluruh lapisan Surga, dari langit ketujuh hingga kesatu, tidak ada yang tidak kenal pada Norman Bravery, yang merupakan anak biologis dari Sang Malaikat Elit Kesatu. Bukan hanya itu, Norman pun dikenal sebagai Siswa paling pandai dalam segala hal, mau itu akademik, olahraga, bahkan pergaulan. Dia juga diidolakan oleh banyak gadis karena ketampanannya dan keramahannya. Dan sekarang, malaikat pengecut seperti Melios sudah dikenali oleh Norman Bravery dan bertemu dengannya secara langsung dengannya. Padahal dia lebih nyaman jadi sosok siswa biasa yang tidak dikenal oleh semua orang dan juga hanya menjadi peran pendukung di kehidupan orang populer seperti Norman. Namun saat ini, dia bukan lagi sebagai karakter sampingan di kehidupan Norman Bravery, karena Melios sudah melakukan sesuatu yang membuat namanya terkenal ke seluruh Surga. Bahkan, apabila Melios juga dikenali oleh orang-orang populer semacam Norman Bravery di sekolah ini, atau lingkungan masyarakat, itu akan membuatnya tertekan. Ah, ternyata benar, tindakannya melaporkan Raiga kepada pihak malaikat elit, membuatnya berada di posisi yang tidak nyaman. Karena menurut Melios, menjadi orang terkenal itu sangat menyusahkan, dia ingin menghabiskan sisa hidupnya sebagai malaikat biasa yang mempunyai pekerjaan tak terlalu mencolok dan memiliki keluarga yang biasa pula. Sayangnya, angan-angannya sudah hancur, karena sekarang, semua orang di Surga mengenali Guntara Melios Locky, yang telah dijuluki sebagai Sang Penyelamat Surga. "Oh, kita bertemu lagi!" Dan sialnya, Norman Bravery mengikutinya dari belakang, membuat Melios jadi ingin muntah seketika. *** Sementara itu, di Dunia Rebula. "Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada kalian berdua." Seketika Hill Yustard bersuara, membuat Zapar yang ada di sampingnya menoleh dan Yuna yang ada di kolam air hangat, melongokkan kepala ke arah lelaki elf itu. "Meskipun aku sudah tahu kalau kalian adalah seorang malaikat, tapi aku masih merasa ada sesuatu yang mengganjal." "Kalau begitu, katakan saja, kami akan mendengarmu, kawan!" sahut Zapar dengan menyunggingkan senyuman lebarnya pada Hill Yustard. "Tentu, kau berhak bertanya apa pun pada kami jika kau memang menginginkannya, Hill." respon Yuna dengan nada yang tenang. "Jika kalian memang seorang malaikat, mengapa kalian baru sekarang menunjukkan diri di Rebula? Mengapa kalian tidak datang saat dunia ini diserang oleh pasukan iblis? Apa kalian tahu? Saat itu... Kami membutuhkan pertolongan kalian, para malaikat. Dan karena serangan iblis... Ibuku... Ayahku... Adik Perempuanku.. Mereka semua tewas terbunuh." Hill terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan, "Dan sekarang, aku hidup sendirian di desa Kronic, rumah baruku. Walau semua penduduk di desa Kronic menyambutku dengan ramah, tapi aku masih menyimpan rasa pilu, aku... rindu pada suasana rumahku yang dulu. Jadi, mengapa kalian tidak datang untuk menyelamatkan kami?" Mendengar hal itu, Zapar maupun Yuna mematung, mereka bingung harus menjawab apa, karena mereka tidak tahu soal p*********n iblis ke dunia Rebula atau hal-hal semacam itu, lagipula, meskipun mereka seorang malaikat, tapi mereka masih anak-anak, yang tentu saja, tidak mungkin harus terlibat dalam sebuah pertempuran besar. Dan juga, mengenai mengapa para malaikat tidak datang membantu ke Rebula saat sebuah p*********n besar-besaran dari Iblis menghancurkan dunia tersebut, itu juga, mereka tidak mengetahuinya. "Emm..," Yuna akhirnya mencoba untuk angkat suara. "Hill, begini, kami tidak tahu alasan mengapa bangsa kami tidak datang membantu ke dunia Rebula saat pasukan Iblis menyerang bangsa kalian karena itu sebenarnya bukan tugas kami, dan juga, walaupun kami seorang malaikat, tapi kami belum sepenuhnya menjadi seorang malaikat sesungguhnya seperti yang kau pikirkan. Kami masih... belum matang. Kami masih harus dididik dan dilatih oleh malaikat-malaikat dewasa agar kami bisa menjadi malaikat yang sesungguhnya." Tidak mau diam saja, Zapar pun ikut bersuara, "Apa yang sahabatku bilang, itu memang benar! Aku minta maaf! Mewakili bangsa malaikat! Karena kami saat itu, tidak datang membantu kalian! Aku tidak tahu sedang apa para malaikat dewasa sialan itu saat kalian diserang oleh pasukan Iblis! Tapi aku berjanji! Jika aku sudah menjadi seorang malaikat sesungguhnya, aku akan datang dan melindungi kalian, Bangsa Elf, dari serangan Iblis!" Tertegun mendengar ucapan Yuna dan Zapar, Hill Yustard mengembangkan bibirnya sedikit, tersenyum hangat. "Lalu, jika kalian belum menjadi malaikat sungguhan, mengapa kalian bisa datang kemari sekarang?" Hill sedikit tertawa saat mengatakannya. "Ini masalah yang berbeda! Kawan!" Zapar menanggapi pertanyaan itu dengan semangat. "Aku dan Yun tersesat ke dunia ini! Kawan!" "Tersesat?" Hill tercengang. "Bukankah jika hanya sekedar tersesat, kalian tidak mungkin sampai sejauh ini kan? Hingga memasuki ke dunia yang berbeda?" "Sebenarnya," Yuna langsung membalas pertanyaan itu dengan suara yang dingin. "Kami ingin menyelamatkan sahabat kami, yang katanya dilenyapkan dari Surga." Terkejut, Hill segera bertanya lagi, "Dilenyapkan dari Surga?" ulang Hill dengan nada yang berat. "Tapi kenapa? Apakah sahabatmu melakukan sebuah kesalahan yang tidak termaafkan sampai dilenyapkan dari Surga!?" "Aku tidak tahu detailnya," kata Yuna, dengan beranjak bangun dari kolam air hangat itu untuk kembali memakai pakaiannya. "Karena kami menyelamatkannya hanya dari sebuah firasat saja, dan tanpa persiapan apa pun, kami pun secara nekat masuk ke dalam lubang para pendosa--tempat para malaikat dilenyapkan--untuk menemukannya. Dan saat kami masuk, tiba-tiba saja, aku dan Zapar dikirim ke dunia ini." "Oh, jadi begitu," Raut wajah Hill jadi sedikit b*******h dari sebelumnya. "Itu artinya, mungkin saja sahabat kalian juga dikirim ke dunia ini!" "Kami harap juga begitu," ucap Yuna setelah selesai berpakaian kembali dan berjalan menghampiri Hill Yustard yang sedang duduk menyenderkan punggung ke dinding gua bersama Zapar. "Jadi, untuk saat ini, tujuan kami cuma satu, yaitu, mencari keberadaannya!" Yuna pun ikut duduk bersama mereka. "Ya!" Zapar bersorak. "Aku dan Yun! Pasti akan membawa kembali Raiga ke Surga! Dan menjelaskan kepada seluruh malaikat bahwa sahabatku tidak bersalah!" Kedua mata Hill Yustard bersinar-sinar melihat semangat yang ditunjukkan oleh Zapar dan Yuna melalui jiwanya, membuat dia terkagum-kagum pada dua malaikat muda tersebut. "Jadi, namanya Raiga, ya?" Hill tersenyum lebar. "Kalau begitu, izinkan aku untuk ikut membantu kalian dalam mencari malaikat yang bernama Raiga! Sahabat kalian!" Yuna dan Zapar tersenyum senang mendengarnya. *** Di dunia Iblis. Chogo sedang melompati atap tiap gedung demi mengejar tuannya yang diculik oleh sekelebat bayangan hitam yang sebelumnya jatuh dari langit menimpa pertokoan. Bayangan hitam itu, entah kenapa, melesat semakin jauh saat Chogo mengencangkan kecepatan lompatannya. Sampai akhirnya, bayangan hitam itu menembus awan di langit, membuat Chogo tidak bisa menemukan keberadaannya. Alhasil, dengan amarah yang masih membara, dia terpaksa berhenti di atap salah satu gedung yang baru dicapainya. Dia kesal, kedua tangannya dikepalkan, urat-urat kening, leher, dan tangannya menonjol, saking jengkelnya. "b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! BRENGSEEEEK!" Chogo berteriak-teriak kencang di sana, membuat para penghuni gedung sebelah memandanginya dari jendela masing-masing dengan tatapan sinis. Karena teriakan Chogo mengganggu ketenangan mereka. Merasa diperhatikan oleh ratusan pasang mata, Chogo pun menoleh ke para penghuni yang masih memandanginya dengan sinis, dia jadi semakin marah. "BERHENTI MEMANDANGIKU ATAU KUBUNUH KALIAN SEMUA! b******k!" Sementara itu, saat ini, Raiga sedang ada digendongan seseorang yang merupakan bayangan hitam yang dilihat Chogo. Dia terkejut melihat orang yang menggendongnya ternyata bisa terbang hingga melewati awan putih yang luas, padahal kelihatannya, orang itu tidak punya satupun sebuah sayap. "Hehehehe! Akhirnya kau kudapatkan juga, Kuruga Raiga Bolton! Sesuai ambisiku, aku tidak akan gagal lagi seperti kemarin! Dan lihat? Aku berhasil membawamu dengan mudah! Hehehehe! Ini benar-benar sebuah keberuntungan! Aku suka ini!" Orang yang membawa Raiga terkekeh-kekeh mengerikan, membuat malaikat pemalas itu sedikit kesal. "Mengapa kau menculikku?" tanya Raiga dengan mata yang sayu. Mereka masih sedang terbang di atas awan, menuju tempat yang tidak diketahui Raiga. Mendengar pemuda yang dibawanya berbicara, orang itu menyeringai, "Menurutmu, kenapa ya aku sampai menculikmu, Kuruga Raiga Bolton? Ayo, mari kita bermain tebak-tebakan, aku yakin, kau bisa menebaknya dengan mudah! Hehehe!" "Hah?" Bibir Raiga cemberut. "Jangan bodoh. Aku tidak mungkin bisa menebak pikiran orang berwajah jelek sepertimu." Dihina oleh Raiga, seringaiannya malah semakin lebar dan mengerikan, sampai menampilkan gigi-giginya yang tajam dan terlihat beracun. "Oho? Jangan begitu, aku tahu, otakmu itu sangat pandai, Kuruga Raiga Bolton. Kau tidak mungkin bisa membodohiku. Jadi ayo, tebaklah, mengapa aku repot-repot menculikmu dari hadapan teman perempuanmu tadi?" "Apa jangan-jangan," tebak Raiga dengan jijik. "Kau jatuh cinta padaku?" BERSAMBUNG...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN