Tak Terduga

1141 Kata
Lana berdiri di sisi Jeffrey yang nampak tampan--seperti biasa--dengan balutan tuxedo hitam beserta tataan rambutnya yang rapi. Demi kerang ajaib dan spatula berharga milik Spongebob, Lana sudah hampir mati karena lama berdiri dengan gaunnya yang seberat bobot Patrick. Berpose dengan banyak gaya bersama lelaki yang menyandang status suaminya sekarang. "Tangan masnya coba peluk pinggang si Mbak. Nah, iya, begitu. Tangan mbaknya sebelah di d**a si Mas sambil nyender sedikit. Oke." Astaga. Lana sangat muak. Sungguh. Setiap pose yang diminta sang fotografer membuat Lana sebal bukan main. Terlalu intim dan romantis. Lana tidak suka. "Mbaknya mendongak sedikit. Iya, senyum." "Senyumnya kurang natural. Lebih rileks dan tatap lembut. Iya, begitu." Cekrek. Cekrek. "b******k. Sampai kapan, sih, ini sesi foto? Gue udah mau mati gini," gerutu Lana pelan, tentunya masih didengar Jeffrey yang berdiri tepat di sisinya. Padahal, sesi foto baru dimulai sejak lima menit lalu. Sungguh. "Berhenti mengumpat, Svetlana. Ini hari sakral kita," gumam Jeffrey. Enteng sekali dia bicara begitu, tanpa tahu semenderita apa seorang Svetlana Vledinir. "Bodo amat. Saya nggak peduli. Saya capek. Saya mau pergi--" "Kamu nggak lihat banyak tamu undangan yang mengantri untuk memberikan selamat?" Lana mengikuti arah pandang Jeffrey. Lalu berdesis, "Sial." "Duduk dan berhentilah mengumpat, Sweety." "Sweety? Dia kira gue burung kuning cerewet yang di dalem sangkar itu, ya?" Itu Tweety, Lana! Lana duduk di kursi singgasana mereka akhirnya. Kemudian seorang pria paruh baya dengan senyuman tenang datang menghampiri keduanya. Lana tahu pria itu. Dia adalah sosok yang datang bersama Jeffrey. Tanpa perlu bertanya, Lana tahu dia ayah Jeffrey. Mereka nampak mirip, dan sejak tadi lelaki paruh baya di depannya nampak paling antusias menyambut tamu. Oke, mungkin kalian bertanya-tanya mengapa Lana baru tahu ayah Jeffrey hari ini. Jawabannya tentu karena dia tidak sempat bertemu dengannya sebelum pernikahan. Bukan dia, tapi ayahnya. Katanya, dia baru pulang dari luar negeri semalam. Bukankah dia ayah yang baik? "Lana?" panggil laki-laki tersebut, membuat Lana terpaksa menampilkan senyumannya meskipun sangat enggan. Lana berdiri, menyalami pria tersebut. "Ah, kamu sangat cantik. Jeffrey pandai memilih perempuan ternyata," gumamnya, melirik sang putera yang berdiri di sisi Lana dengan sangat tegap. "Salam kenal, Om." Lana menunduk sopan. "Panggil Ayah saja. Kamu sudah jadi menantu saya sekarang." Lana tersenyum kaku, lantas mengangguk singkat. "Semoga pernikahan kalian langgeng, ya. Dan segera mendapat momongan." Lana membeku. Momongan? Sial. Lana masih sangat muda untuk memikirkan hal sejauh itu. Menikah di usianya yang sekarang saja sudah membuat dirinya sendiri terkejut, apalagi memiliki seorang anak? Oh, s**t, yang benar saja! Melihat keponakan Lucas saja Lana sudah ketakutan. Astaga. "Iya, Ayah. Kalau tidak ada halangan, kami pasti akan segera memberikan Ayah cucu yang lucu-lucu." Lana menoleh pada Jeffrey yang tersenyum lebar pada ayahnya. Pada detik itu juga, ketika dia mendengar jawaban Jeffrey yang amat ringan, ingin rasanya Lana meninju wajah tampan pria itu. Tapi sisi lainnya memberontak, tidak bisa, wajah itu terlalu tampan untuk dihadiahi sebuah tinjuan. Sial. Lana kira, usai ayah Jeffrey pergi untuk menyambut tamu lain, dia bisa duduk dengan tenang. Nyatanya, tidak sama sekali! Tamu-tamu berdatangan ke arah mereka satu per satu, memberi salam dan selamat. Menjengkelkannya, mereka semua rekan bisnis Jeffrey yang malah bisa-bisanya ada yang bicara soal bisnis hampir sepuluh menit, tidak melihat wajah Lana yang sudah memerah kesal. Lalu... "Ibu." Jeffrey memasang seulas senyum tipis begitu Amanda menghampiri mereka. Tapi dia tidak sendiri. Ada seorang lelaki tinggi di belakang wanita itu, dan seorang gadis seusia Lana yang... tunggu! "Agnes?!" pekik Lana tertahan. Dia Agnes. Teman sekelasnya. Si pintar kesayangan dosen-dosen dan si picik yang selalu bermasalah dengannya! Bagaimana bisa? "Kalian... saling kenal?" Jeffrey bergumam, menatap Lana dan Agnes bergantian. Pada detik itu juga, ketika Agnes menatapnya dengan mata membulat, Lana ingin kabur sejauh mungkin. Dia sudah menyembunyikan pernikahan ini dari teman-temannya, termasuk Lucas, karena pernikahan ini amat dadakan dan Lana tidak ingin mengakuinya. Tapi ternyata... "Kak Jeffrey, Lana... kenapa bisa?" Sial. Lana ingin menghilang saja rasanya. "Ah, saya lupa. Kalian kuliah di Universitas yang sama. Satu fakultas juga, kan?" Jeffrey tersenyum. Entah mengapa senyuman tersebut rasanya memiliki sejuta misteri di mata Lana. Sepertinya, ada unsur kesengajaan, dan Jeffrey tahu sejak jauh-jauh hari lalu. Tapi, Agnes siapanya Jeffrey? "Agnes anak tiri Ibu saya, Lana," ujar Jeffrey, seolah menjawab tanya yang sejak tadi bergelayut di benak. "Itu artinya, ADIK TIRI KAMU?" pekik Lana kelepasan. "Kenapa kaget begitu?" Jeffrey mengusap surai panjang Lana yang digelung--dengan senyuman manis bermakna ganda di wajahnya. "Ah, maaf." Lana meringis menatap Amanda yang menatap bingung pada Lana dan puterinya. "Selamat atas pernikahan kalian," gumam Amanda pada Jeffrey dan Lana. Dia memeluk singkat Jeffrey, membuat lelaki itu bergeming. Dan itu berhasil menghadirkan banyak tanya lagi di benak Lana perihal hubungan mereka. Sepertinya, pelukan sesingkat itu amat jarang Jeffrey dapatkan. Terlihat dari reaksi Jeffrey yang termenung lama setelahnya. Lalu Amanda beralih padanya, memeluk Lana untuk waktu yang lebih lama. Menepuk pelan punggungnya, seolah menyiratkan sebuah pesan yang tidak bisa Lana baca. "Selamat atas pernikahan kamu," gumam seorang lelaki di belakang Amanda setelah wanita paruh baya itu turun. "Ini sangat nggak terduga." "Karena Vanilla?" respon Jeffrey santai. "Ah, iya. Di mana dia sekarang? Kenapa nggak bareng kamu?" Terlihat senyuman tipis di wajah lelaki tampan di depan Jeffrey tersebut. Dilihat dari penampilan, dia sangat berbanding terbalik dengan Jeffrey yang selalu tampil hedon. Lelaki ini nampak sangat sederhana, berwajah ramah, dan sopan. "Mampir ke rumah kalau ada kesempatan," ujar lelaki itu, mengalihkan topik dan perhatiannya pada Lana. "Kemarin waktu kalian ke rumah, di sana cuma ada Mama." "Iya, tentu," balas Lana sekenanya. Dia berlalu setelahnya. Hingga, kini Agnes berada di hadapan mereka berdua. Masih dengan tampang bingung, tapi tidak seperti tadi. "Lo beruntung dapatin Kak Jeffrey." Lana tersenyum kecut mendengar ucapan Agnes. Beruntung? Hell, dari mananya?! "Jagain Kak Jeffrey. Jangan lo mainin. Kalau gue lihat lo deket-deket sama cowok lain, awas aja!" bisik gadis itu kemudian. Lana hanya membalas dengan cibiran tak jelasnya. Kemudian lupa untuk mengatakan sesuatu, sehingga dia menarik lengan perempuan tersebut mendekat ke arahnya. "Jangan bilang ke siapa-siapa kalau gue udah nikah!" desisnya pelan tetapi tajam. "Why? Lo nggak ada niat mau selingkuh dari kakak gue, kan?" Lana memicing tajam. "Pokoknya jangan sampai ada yang tahu." "Uhm, oke. Tergantung sikap lo aja, sih." Agnes tersenyum manis. Amat memuakkan di mata Lana. "Kak, selamat, ya, atas pernikahannya. Semoga langgeng, dan... kapan-kapan pulang ke rumah." Jeffrey menatap adik tirinya tersebut dalam diam selama beberapa saat, kemudian senyumnya terbit tipis. "Saya nggak pernah punya tempat di rumah itu," katanya. "Kamu belajar yang benar. Jangan kecewain orang yang selalu memprioritaskan kamu." Lana mungkin tidak memperhatikan mereka, tetapi dia mendengar dengan saksama apa yang dibicarakan dua orang itu. Dan pertanyaan-pertanyaan baru terus muncul, sungguh mengganggu. "Kak..." "Mama kamu udah nggak ada. Cari, gih." Agnes menunduk selama beberapa saat. Lalu tanpa diduga berhambur ke pelukan Jeffrey selama detik, kemudian melepasnya dan berlari dari sana, meninggalkan Jeffrey yang bergeming sempurna. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN