"Kita ke club? Udah lama anjir nggak clubing bareng kalian. Terakhir gue ngajak satu makhluk malah ditinggal duluan," keluh Yanan, melirik Jeffrey menyindir.
Tyas yang di balik wajah tenangnya tengah menyembunyikan sebuah kegundahan, mengangguk setuju. Tidak biasanya semudah itu mengajak seorang Tyas Libra bersenang-senang tanpa harus merajuk terlebih dahulu. Begitu pun Jeffrey, yang memang sudah sangat lelah menanggung sesaknya. Dia ingin melampiaskan beban pada apa pun itu.
Lantas tanpa menunggu lama, ketiga sahabat karib itu beranjak dari duduknya. Dipimpin oleh Yanan yang amat semangat jika soal bersenang-senang, apalagi jika melibatkan wanita seksi.
***
Club milik Lucas amat ramai malam itu. Dari pintu masuk hingga ke pojok-pojok ruangan dipenuhi oleh manusia-manusia yang haus akan kesenangan yang semu.
Lana di sana. Duduk di depan meja bar sambil telunjuknya memutari gelas berisi alkohol di meja. Niatnya untuk bersenang-senang gagal saat beberapa saat lalu melihat Stevan dan Anya masuk. Tanpa perasaan, mereka berpelukan di depan Lana. Saling menatap penuh cinta. Tak peduli, bahwa ada hati yang retak saat menyaksikannya.
Lana akui, dia memang lemah jika sudah berurusan dengan Stevan. Padahal, Lana sudah memberi jarak pada lelaki itu. Memberi jeda pada hatinya untuk melupakan rasa yang sudah sekian lama bersemayam jauh dalam lubuk hatinya. Namun, sekeras apa pun Lana mencoba, perasaannya tak lantas hilang dengan mudah. Masih saja, hatinya terluka setiap kali Anya hadir di antara mereka.
"Lo nggak turun?"
Lana mengalihkan atensinya pada Lucas, yang tengah menatap lekat wajahnya sambil menopang dagu.
Lana mendesah pelan. "Nggak. Gue cuma mau minum," balas Lana yang lantas menenggak minuman di depannya hingga tandas. Matanya memerah menyaksikan Stevan dan Anya berjoged senang di bawah sana sambil sesekali saling merangkul mesra.
Sialan, Lana. b******k. Jangan noleh ke sana lagi. Jangan!
Lana menuangkan kembali minumannya ke dalam gelas dengan emosi. Menenggak minuman tersebut hingga tandas dan menuangnya lagi dan lagi. Sampai akhirnya Lucas menahan lengannya saat Lana hendak meraih botol kedua di sana.
"Lo suka Stevan. Gue bener, kan?" tanya Lucas menatap Lana lurus.
Lana berdesis. Sebagian kesadarannya sudah lenyap karena minuman keras. "Kenapa? Lo mau bilang gue bego suka sama Stevan?" tanya Lana tertawa sinis. "IYA! Gue emang bego. Gue cewek paling g****k di dunia ini karena suka sama temen gue sendiri!" jerit Lana histeris. Dengan sekuat tenaga mengenyahkan lengan Lucas dan menenggak alkohol dari botolnya langsung.
Selama beberapa saat, Lucas hanya memperhatikan Lana dalam diam. Membiarkan perempuan itu menangisi perasaannya sendiri. Hingga ketika Lana menunduk semakin dalam seusai menenggak minumannya, Lucas mengeluarkan suara.
"Lo nggak salah. Lo nggak bego apalagi g****k. Lo cuma nggak bisa ngatur perasaan lo. Dan bukan cuma lo aja. Semua orang, nggak pernah bisa mengatur soal perasaan, termasuk gue."
Lana mengangkat wajah begitu Lucas mengatakan hal demikian.
"Kalau lo ngerasa lo g****k karena perasaan yang lo punya, apa kabar dengan gue? i***t?" tanya Lucas pelan. "Gue suka sama sahabat gue. Ngelihat dia patah hati hampir setiap hari, dan pura-pura nggak tahu apa-apa. Gue lebih dari g****k, lo tahu?"
Lucas tersenyum tipis. Mengusap puncak kepala Lana lembut. "Lo cuma perlu berdamai dengan perasaan lo. Lo harus yakin, kalau dia nggak bisa lihat lo, artinya bukan dia orang yang Tuhan kirim untuk jagain lo."
"Cas," lirih Lana, menitikkan air matanya mendengar penuturan Lucas yang mengena di hati. "Thanks," lanjut Lana tersenyum tipis.
Lucas membalas senyuman perempuan itu. Lantas kembali menegakkan tubuh, berdiri. "Bebasin diri lo. Gue suka lihat lo yang bebas berekspresi. Jangan hanya karena perasaan itu, lo jadi murung," katanya.
Mendengar penuturan Lucas, Lana mengusap air matanya. Dia beranjak turun dari kursi tinggi yang sejak tadi diduduki. Meninggalkan Lucas dengan langkah mundur seraya terus memperhatikan sahabatnya itu dengan senyuman, hingga Lana sampai di depan kerumunan orang yang tengah menggila meliukkan tubuh mereka.
"Lucas, gue mau bebas!" teriak Lana, melambaikan kedua tangannya kepada Lucas sambil mulai membaur dengan yang lain. Berpesta ria seperti yang selalu dia lakukan. Tanpa sadar, Lana mulai hanyut dalam hingar bingar pesta. Lupa bahwa ia sedang patah, lupa bahwa ia sedang terpuruk. Alkohol dan musik yang berdentum keras membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Menyenangkan.
Stev, sori. Gue cuma bisa memulai sendirian dan mengakhiri semua ini sendirian pula. Selamat tinggal.
***
Jeffrey tertawa mendengar celotehan Yanan selama perjalanan dari parkiran hingga ke pintu masuk club yang mereka datangi. Samar-samar, ingatannya memutar sebuah memori tentang tempat yang dia pijak saat ini. Tidak asing. Tapi Jeffrey tak ambil pusing. Tetap melanjutkan langkah semakin dalam. Mengamati ruangan gelap yang disinari oleh lampu-lampu remang berwarna-warni. Musik terdengar semakin keras. Membuat degup jantung Jeffrey semakin cepat.
"Sial. Selama sebulan gue nggak pernah nyentuh makhluk bernama perempuan," Yanan berdecak keras sambil menepuk pundak kedua sahabatnya di sisi kanan dan kiri.
"Dasar otak seksualitas," desis Jeffrey memicing.
Yanan tertawa keras. "Emang otak lo pada nggak gitu? Cuma cowok nggak normal yang otaknya bersih dari hal begituan," katanya seraya mencolek lengan mulus seorang gadis yang tengah berdiri di tangga menuju lantai dua.
Yanan mengerling ketika perempuan itu menoleh. Lantas keduanya saling melempar senyum. Baik Tyas mau pun Jeffrey tahu apa yang selanjutnya terjadi jika saja mereka tidak menarik lengan Yanan dan mengingatkan pemuda itu bahwa tujuan utama mereka ke sini bukan untuk memangsa betina.
"Gila, boy. Malam ini rame banget atau emang karena gue yang udah lama nggak clubing?" tanya Yanan seraya duduk di salah satu sofa di lantai atas. Menyaksikan betapa riuhnya dance floor di bawah sana.
Jeffrey hanya tersenyum tipis mendengar ocehan Yanan. Lantas menuang minuman yang baru saja disajikan seorang pelayan di meja.
Atensi Jeffrey teralihkan begitu mendengar teriakkan heboh di bawah. Dan betapa terkejutnya saat ia melihat sesosok yang tak asing.
Lana. Dia di sana. s**t!
"Jeff, ke mana?" teriak Yanan menyaksikan Jeffrey berdiri dengan sekali sentakan setelah menenggak segelas alkohol.
Tanpa peduli akan teriakkan Yanan dan wajah bingung Tyas, Jeffrey mempercepat langkah hingga nyaris berlari ke lantai bawah. Tanpa berpikir apa pun lagi, Jeffrey menarik lengan Lana. Gadis yang tengah menggila di tengah-tengah para lelaki yang tidak tahu berpikir apa tentang gadis itu. Apalagi dengan pakaian yang terbuka begitu.
"Kamu!" pekik Lana terkejut. "Apa-apaan!" lanjutnya, hendak mengempaskan tangan Jeffrey. Tapi tidak bisa karena Jeffrey mencengkeram tangannya sangat erat.
"Kamu yang kenapa, Svetlana!" ujar Jeffrey tenang, tetapi tajam.
"Lepasin!" teriak Lana, berusaha melepaskan cengkraman tangannya ketika Jeffrey menariknya keluar dari kerumunan orang-orang yang sudah setengah waras.
"Gue bilang lepasin!" Lana menampar salah satu sisi pipi Jeffrey dengan satu tangannya yang bebas. Membuat Jeffrey menghentikan langkah dan menatapnya tajam.
Beberapa pasang mata di sekitar sana menyaksikan kejadian itu. Termasuk Lucas di balik meja bar, dan juga Tyas Yanan yang turun menyusul Jeffrey barusan.
"Kapan, sih, lo mau berenti ganggu hidup gue? Kapan?" teriak Lana serak. "Udah cukup lo nyuci otak bokap gue. Bikin dia kukuh buat terus majuin tanggal pernikahan. Seenggaknya biarin gue tenang sejenak. Bebas sejenak. Gue capek, lo tahu? Capek!"
Jeffrey menatap lurus mata Lana yang memerah. Tercium bau alkohol yang amat menyengat di tubuh gadis itu. Dia tahu, Lana tengah mabuk parah. "Saya nggak suka kamu ada di tempat seperti ini, Lana." Jeffrey membalas singkat, masih tenang.
"Gue nggak peduli lo suka atau nggak. Itu bukan urusan gue!" bentak Lana.
"Svetlana!" desis Jeffrey mulai hilang kesabaran akan gadis di depannya.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Jeffrey menarik tangan Lana untuk meninggalkan kerumunan. Tak peduli berapa kali gadis itu memberontak. Jeffrey amat marah sekarang, sampai untuk mengeluarkan suara pun rasanya enggan.
Di parkiran, di sebuah tempat yang agak sepi dan jauh dari kerumunan, Jeffrey melepaskan tangan Lana dan menatap perempuan itu lurus.
"Apa kamu nggak malu berpakaian seperti ini? Kamu nggak sadar gimana tatapan para laki-laki di dalam? Mereka seperti pemburu yang melihat mangsa. Kamu nggak takut?"
"Kenapa?" tanya Lana, berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang oleng. "Saya cuma senang-senang aja di dalam. Nggak ada yang salah." Entah apa yang merasuki Lana sampai dia mengubah ucapannya kembali formal, seperti saat dia tengah sadar.
"Dan kamu suka ditatap begitu sama laki-laki di dalam? Disentuh di mana-mana. Kamu bangga jadi perempuan murahan?" desis Jeffrey berang. "Kamu akan jadi istri saya. Jadi berenti bersikap kekanakan begini, Svetlana."
Lana geming selama beberapa saat mendengar penuturan Jeffrey. Namun beberapa detik kemudian dia tertawa sumbang.
"Memangnya kamu nggak suka perempuan murahan?" tanya Lana lirih. Gadis itu mendekat, mempersempit jarak di antara mereka, sampai Jeffrey bisa menghirup aroma alkohol yang pekat dari mulutnya. Lantas dia mengalungkan tangan di leher Jeffrey.
"Lana," panggil Jeffrey pelan. Merasa Lana sangat berani melakukan hal demikian di tempat terbuka seperti ini.
Mata Lana memerah. Menatap lurus ke dalam netra kelam Jeffrey. Memorinya memutar adegan demi adegan Stevan dan Anya yang menyakiti hatinya--tanpa diminta. Meluluhkan rasanya.
Dalam hitungan detik, bibir Lana mendarat di bibir ranum Jeffrey. Menyentuhnya dengan sempurna. Setitik air mata Lana meluruh dari pelupuk mata. Perih. Perih karena perasaannya pada Stevan, perih karena paksaan ayahnya untuk menikah, dan perih karena kata-kata Jeffrey sesaat tadi.
Sementara, Jeffrey menegang merasakan sentuhan Lana. Merasa sesuatu yang berada jauh dalam lubuk hatinya terbangun. Sesuatu yang sudah lama mati untuk perempuan lain. Sesuatu yang hanya pernah ia rasakan terhadap satu perempuan; Vanilla.
Dituntun insting, Jeffrey mendekap tubuh Lana. Membalas pagutan bibir gadis tersebut di bibirnya. Sampai ketika ia sudah terhanyut dengan kehangatan yang diberikan Lana, Lana menjauhkan wajahnya. Melepas paksa sentuhan yang dia mulai sendiri. Membuat Jeffrey merasakan kehilangan yang amat besar.
"See. Kamu menikmatinya. Kamu suka dengan sentuhan perempuan murahan ini," ucap Lana, tersenyum getir. Tatapan terluka jelas nampak di balik mata sayupnya. Hal yang sukses membuat Jeffrey membeku sempurna.
Lana mendorong tubuh Jeffrey, lantas mundur tiga langkah dari hadapan lelaki tersebut. Masih dengan tatapan yang sama, tetapi kali ini dia tersenyum lebih lebar.
"Dengan ini, saya menyetujui pernikahan kita. Dengan satu syarat, tidak ada kontak fisik. Tubuh saya terlalu hina untuk orang suci seperti Anda," ucap Lana menohok keras di hati Jeffrey. Kemudian gadis itu menunduk sopan. "Saya pamit. Sampai ketemu nanti, calon suami."
Dan, Lana benar-benar pergi setelahnya. Meninggalkan Jeffrey yang masih bergeming bingung. Ikut terluka karena tatapan gadis itu.
Shit. Lana marah karena kata-kata tadi.
***