Jeffrey akhirnya keluar dari ruangan menyesakkan yang menjadi tempat rapat barusan. Napasnya memburu, sudah terlalu lama menahan diri untuk tetap bersikap rasional. Sekarang, dia keluar dari gedung perusahaan tempatnya bekerja secara terburu-buru. Mengambil alih kemudi dari petugas yang barusan mengambil mobilnya dari parkiran.
"Saya tidak akan ke kantor lagi hari ini. Simpan berkas-berkas yang perlu saya tinjau dan tandatangani di meja," kata Jaffrey pada Ardi sebelum tancap gas meninggalkan lingkungan itu.
Kurang dari setengah jam, Jeffrey sudah sampai di tempat yang dituju. Sebuah bangunan bertingkat yang terletak di pusat kota. Jeffrey turun dari mobil dan kaki-kaki panjangnya melangkah pasti. Memasuki lift menuju lantai teratas bangunan tersebut.
"Pak Jeffrey?" Dia disambut seorang perempuan semampai, berpakaian hitam ketat dengan rambut bersanggul dan make up yang terlalu tebal di depan lift. "Pak Tyas sudah menunggu Anda. Mari."
Jeffrey hanya manut langkah perempuan itu. Berjalan di sekitaran lorong panjang dan kemudian berhenti di pintu ketiga yang berukuran raksasa.
"Yo, Jeffrey! How're you, man? Gila, lama gue nggak ketemu lo!"
Jeffrey mengulas senyum tipis begitu sahabat karibnya menyambut. Tyas Libra, laki-laki berparas tampan. Saking tampannya sehingga terlihat nyaris cantik, bagaikan jelmaan tokoh manga. Mereka berteman sejak kuliah, dan sekarang Tyas sudah sukses dengan kariernya sebagai pengelola jasa travel. Tidak usah ditanya seberapa kaya lelaki itu.
"I'm okay. As you can see, Yas." Jeffrey menjabat tangan Tyas jantan lantas saling memeluk singkat.
"Dan gue nggak dianggap di sini?"
Jeffrey merotasikan bola matanya menatap satu orang lain yang duduk di sofa raksasa ruangan tersebut, bertopang kaki. Yanan Prawira. Sahabat Jeffrey juga. Tidak seperti pada Tyas, Jeffrey hanya melirik singkat lelaki itu lantas duduk di sofa dan menuangkan anggur di gelasnya.
"Anda kenapa di sini, Tuan Yanan? Bukankah seharusnya Anda sibuk dengan pembangunan mall baru Anda di Bandung?"
Yanan tergelak karena ucapan Jeffrey. "Jijik amat gue bicara formal anjir," decaknya.
Jeffrey mengulas senyum yang menghadirkan lesung pipinya begitu mendengar pernyataan related Yanan. Memang, berbicara formal sepanjang hari dengan orang-orang kaku di sekitar amat melelahkan. Tak jarang Jeffrey ingin resign jika saja dia tidak ingat akan tujuan awalnya datang ke perusahaan.
Perihal Yanan, dia memang lebih santai di antara mereka bertiga. Tapi jangan salah, kekayaan laki-laki itu sangat melimpah ruah berkat beberapa mall yang dia miliki. Meski bukan milik dia seutuhnya, tapi bayangkan saja sekaya apa orang yang memiliki mall terbesar di kota Jakarta dan dua yang tengah berkembang!
"Jadi, acara kumpul kita hari ini dalam rangka apa?" tanya Tyas setelah menyesap anggur di gelasnya dengan gaya elegan.
"Ya, kumpul aja. Udah lama kita nggak kumpul gini. Ya, nggak?" balas Yanan.
Memang, rasanya sudah lama sekali ketiganya tidak berkumpul santai. Pekerjaan yang menumpuk membuat mereka jarang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, apalagi Jeffrey. Sedangkan untuk Yanan, sesekali dia masih menikmati hidup. Bahkan dia masih bisa mengganggu Jeffrey di jam-jam kerjanya. Entah menelpon hanya untuk mengatakan hal-hal unfaedah, atau menculik Jeffrey ke sebuah pub yang berakhir Jeffrey pergi lebih dulu karena berbagai alasan.
Sedang Tyas, tentu saja Yanan tidak berani menculik atau sekadar mengganggu lelaki itu. Dia galaknya maksimal, sih. Belum lagi, lelaki perfectionist itu paling tidak suka jika orang mengganggu saat dia bekerja. Ketika kuliah pun begitu.
"By the way, I saw ur girlfriend at ur mom's house last night. Lo udah kenalin Vanilla ke nyokap?"
Jeffrey geming. Tyas tidak mengetahui apa-apa perihal dia dan Vanilla. Jelas, mereka bertemu saja baru kali ini lagi setelah hampir setahun.
"Ssst. Mereka udah putus," gumam Yanan yang paling tahu sekacau apa Jeffrey mabuk saat mereka putus.
"Seriously?" Tyas berdecak keras. "Terus, kenapa gue ngelihat Vanilla pas kebetulan lewat depan rumah nyokap lo?"
"Ada urusan, maybe?" Jeffrey berusaha bersikap tak peduli, meski hatinya meradang, apalagi saat dia mengingat kembali kejadian pagi tadi. Padahal, kedatangan Jeffrey ke sini untuk melupakan kejadian tersebut, tetapi malah diingatkan lagi.
***
"Kenapa lo? Murung amat."
Lana hanya melengos, tidak berniat bicara dengan siapa pun termasuk Lucas. Bukan apa-apa, ia takut saja berakhir menyemprot lawan bicaranya dengan kata-kata pedas.
"Yaelah. Sini cerita ke abang."
"Abang tukang bajigur, hih?" Lana berdecak sinis. Menenggelamkan wajah di meja kantin.
"Mode serius ini gue, Babeee." Dengan tidak tahu dirinya, Lucas menyeruput caramel macchiato milik Lana dan memasang wajah innocent--yang entah mengapa amat menyebalkan di mata Lana. Tapi akhirnya Lana mau angkat bicara begitu menatap senyuman Lucas yang tulus. Semenyebalkan apa pun pemuda itu, dia tetaplah satu-satunya teman terdekat yang mau mendengarkan keluh kesah Lana tanpa pernah menghakimi.
"Gue kesel sama si Agnes," kata Lana, mendengkus kesal memikirkan bagaimana gadis berambut ombre itu bersikap apatis padanya. "Gila aja nama gue nggak dimasukkin di dalam makalah buat presentasi."
Lucas mengernyit. Sepertinya memikirkan siapa gerangan Agnes itu. Setelah ngeuh, dia lantas terkekeh. "Ya elah gitu doang. Santai aja. Mata kuliah siapa, btw?"
"BU SALAMAH, BLOON. BU SALAMAH! Lo tahu kan kalau beliau tuh gedeg banget sama gue dari semester lalu?" Kan, kumat ngegasnya. Gara-gara Lucas menggampangkan, sih.
"Ya, salah lo. Udah tahu mata Bu Salamah banyak, eh pecicilan mulu di kelas. Ribut. Sekarang, kesalahan lo segede upil pun bakal dia besar-besarin."
"Padahal yang suka ngajak ngocol di kelas juga siapa? Lo!"
Lucas nyengir. "Tapi gue nggak pernah ketahuan," katanya. "Eh, gimana tuh sekarang? Nilai lo kosong berarti. Bukannya tugas kelompok itu penting katanya? Kalo lo nggak lulus gimana?"
Lana mempoutkan bibir. Lucas malah menakut-nakutinya. "Nggak tahu, ah. Pusing gue. Ke club lo, yuk?" tanya Lana dengan wajah ditekuk.
"Ngapain? Masih jam segini, ege."
"Ya, bukan sekarang juga dong, curut!"
"O, kirain." Lucas haha-hehe tidak jelas. "Cerita tentang laki lo itu, dong. Gimana lo sama dia sekarang?"
"Gimana apanya?" tanya Lana kesal.
Semakin buruk saja moodnya saat membicarakan laki-laki itu. Teringat akan malam kemarin saat dia bicara pada ayahnya, memohon agar membatalkan perjodohan. Tapi yang ada, ayahnya malah mengancam mempercepat tanggal pertunangan dan pernikahan jika Lana terus memberontak. Gila, bukan?
"Cas, semisal nanti gue mau kabur nih pas acara, lo kudu bantuin gue," kata Lana dengan tatapan intens yang menegaskan bahwa ucapannya sangat serius.
"Lo, mau kabur pas acara kawinan lo? Serius, lo nggak waras?"
"GUE WARAS, MAKANYA KABUR!" teriak Lana, membuat penghuni kantin menatapnya dengan tatapan tanya. Dan Lucas tergelak melihat Lana mempermalukan dirinya sendiri.
"Resek."
***