"Aihs! Baju apaan, sih, ini? Yang bener aja! Desainernya pengin orang mati, ya, pakai baju berat gini?"
Lana tak henti-hentinya menggerutu sejak tadi ketika dia mencoba gaun pertamanya. Sudah bajunya berat, menjuntai panjang sehingga menutup seluruh bagian kakinya, belum lagi resleting yang tidak muat. Oke, yang terakhir karena Lana malas berdiet. Lagi pula, for what?
Lana menatap dirinya di depan cermin besar di dalam fitting room. Senyuman kecutnya hadir menghiasi wajah ayu gadis berusia awal dua puluhan itu.
"Cantik. Tapi ribet," monolognya. "Kenapa orang harus rela ribet demi terlihat cantik? Nggak banget."
"Mbak!" panggilan seorang karyawan butik itu yang barusan membantunya memakai gaun tersebut menginterupsi. "Ayo, calon suami Anda ingin melihat penampilan Anda dengan gaun ini."
Lana menarik napas jengah. Calon suami. Rasanya menyebalkan mendengar kalimat itu.
Lana berjalan dengan susah payah keluar dari fitting room, lalu menemukan Jeffrey yang duduk dengan gaya elegan. Menatap lurus padanya.
"Cantik. Tapi terlalu ramai," komentar lelaki itu.
"MEMANG BENAR!" Lana menjerit histeris. Amat kesal. "Sumpah, siapa sih yang bikin baju kayak.gini? Udah bikin sesek, bikin celaka susah jalan, berat juga!"
"Kamu menderita?" Jeffrey bertanya dengan gayanya, menaikkan sebelah alis dengan tatapan mematikan.
"Kenapa?"
"Kalau ya, saya mau gaun itu untuk kamu kenakan nanti."
Lana melotot tak percaya. Hampir saja umpatan kasarnya terlontar jika saja dia tidak terjatuh karena hendak melempar Jeffrey dengan sebuah gantungan baju. Dan sumpah, itu adalah kejadian paling memalukan dalam hidup Lana!
"Hei, kamu kenapa?" Jeffrey nyaris terkekeh di tempatnya duduk, menyaksikan Lana tersungkur di bawah sana.
Baru jadi calon suami saja sudah durhaka, bukan?
"b******k!" umpatan tersebut akhirnya tersuarakan, beserta gantungan baju yang melayang--yang untungnya mampu dihindari oleh Jeffrey.
Lana berdiri kembali, dibantu oleh karyawan sana yang sebenarnya Lana tahu sudah menahan tawa hingga pipinya memerah sejak tadi.
"Coba gaun yang kedua."
"Nggak."
"Ya sudah. Kamu pakai gaun itu nanti."
"Aihs, Om tua jelek sialan!" desis Lana, lantas berbalik dan mengangkat gaunnya tersebut susah payah. Masuk kembali ke dalam fitting room.
Gaun kedua, tidak begitu berat. Tapi sama saja! Masih ribet.
"Mbak, ngga ada ya gaun pengantin yang panjangnya selutut? Yang simpel aja gitu. Bukan yang punya buntut kayak gini. Kalo keinjek dari belakang terus saya nyuksruk di altar, kan, nggak etis?" gerutu Lana, "kayak tadi," lanjutnya pelan dan kesal.
Si mbaknya malah terkekeh. "Namanya juga gaun pengantin, Mbak."
"Mau batal nikah aja rasanya daripada tahu ribet gini."
"Jangan, Mbak. Sayang, calon suaminya ganteng gitu, lho. Mana lucu. Terus sepertinya juga laki-laki yang sopan."
Lana menatap wanita di sisinya itu dengan tak percaya. Lucu? Sopan? DARI MANA?
"Mbak mau sama dia?" tanya Lana tak habis pikir. "Ambil aja. Saya hibahin."
"Aduh, kalian pasangan yang romantis, ya. Gemes lihatnya."
Si Mbak jadi mesem-mesem tidak jelas. Sementara Lana sudah bergidik ngeri. Romantis, katanya. Katarak kali si mbaknya. Apanya yang romantis coba?
"Gaun ini lebih cantik. Lebih simpel juga. Cocok sama tubuh Mbak yang tinggi ramping."
Lana memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Melihat dengan saksama penampilannya di balik balutan gaun berwarna putih yang memiliki ekor sangat panjang tersebut. Mungkin ekor gaun itu bisa untuk menjadi alat gantung diri atau untuknya kabur lewat jendela seperti di sinetron-sinetron.
"Mbak mau gantiin saya nggak pas nikahan nanti?" tanya Lana ngasal. "Gaun segini ribetnya dikata simpel."
Mbak karyawan itu tertawa lagi. Receh sekali.
Tirai fitting room kembali dibuka. Kali ini Lana tidak membuat wajah sok datar seperti sebelumnya. Tapi benar-benar menunjukkan raut kesal yang amat kentara.
"Jelek. Jelek, kan? Ganti, ya? Pakai gaun biasa aja, deh. Banyak di kamar Mama gaun putih. Atau batal nikah aja, gimana?"
Jeffrey berdiri menghampiri Lana dengan langkah pelan yang amat mengintimidasi. Setiap hentakkan 'tak... tak... tak...' yang dihasilkan oleh pentopelnya mendadak membuat jantung Lana berdegup.
Lelaki tersebut lalu menoleh pada karyawan di samping Lana. "Mbak, saya mau bicara sebentar dengan calon istri saya," tutur Jeffrey dengan senyuman singkat.
Tanpa menunggu lama, si karyawan langsung pergi. Tentu dengan semburat merah yang hadir di pipinya. Entah karena apa.
"Bagus. Cantik."
"Jangan bilang--"
"Tapi terlalu terbuka," lanjut Jeffrey, menyela ucapan Lana.
Lelaki itu melangkah maju sedikit. Lana mundur. Maju. Mundur. Terus seperti itu hingga keduanya masuk ke dalam fitting room.
Jantung Lana rasanya hampir copot ketika Jeffrey menutup tirai dengan sekali tarikan. Apalagi ketika kedua netra lelaki tersebut menatap tajam padanya, seolah mengulitinya hingga tak bersisa.
"K-kenapa?" Lana berusaha bersuara senormal mungkin. Tapi sial, reaksi tubuhnya tidak sejalan dengan pikirannya.
Lana terjebak di antara dinding dan kaca. Sementara Jeffrey mendekat maju padanya. Dekat dan semakin dekat hingga deru napas keduanya bisa terdengar oleh masing-masing.
"Lana," bisik Jeffrey tepat di telinga Lana yang membuat seluruh tubuh gadis itu bergetar. "Sepertinya, saya tidak sabar untuk membuka hidangan saya sebelum pernikahan terjadi."
Smirk sialan itu!
Lana menggeram kesal dalam hati melihat senyuman setan dari bibir Jeffrey. Tapi binar jenaka dari mata lelaki itu amat bisa Lana baca. Sehingga...
"Lalu, ayo kita lakukan!"
Lana mengalungkan tangannya di leher Jeffrey. Menatap lurus ke dalam netranya. Sesaat, Lana menangkap ekspresi terkejut lelaki itu. Dan Lana bersumpah, dia ingin tertawa saat itu, tapi mati-matian menahannya.
Lana mendekatkan wajahnya dengan perlahan-lahan ke wajah Jeffrey. Dekat, dan semakin dekat. Ketika Jeffrey memejamkan mata dan bibir keduanya hampir bersentuhan, Lana tergelak. Membuat Jeffrey membuka matanya dan termenung. Memicing tajam pada Lana.
"Kamu sungguh-sungguh menginginkan saya, Pak Jeffrey Elvano? Really? Ah, ghost! This is so funny!"
Lana masih tergelak tak habis pikir. Sampai akhirnya Jeffrey memerangkap tubuhnya. Memenjarakan Lana dengan tubuh panasnya yang menggelora.
"Apa yang lucu? Kenyataan bahwa saya menginginkan kamu?" Tatapan Jeffrey menusuk relung Lana.
"Saya laki-laki normal. Wajar, jika saya menginginkan kamu, Svetlana," ujarnya dengan suara rendah.
Lana terjebak. Jantungnya benar-benar hampir berhenti berdetak kala itu. Apalagi ketika tangan Jeffrey menyusuri lengan telanjangnya dan berakhir di leher.
"Kamu lupa bahwa saya sehina itu di mata kamu?" Lana bertanya dengan sisa-sisa kewarasan dalam dirinya.
Jeffrey mengangkat sudut bibirnya. Dan entah mengapa senyuman tersebut terasa begitu sensual.
"Siapa yang bilang? Saya? Kapan? Saya nggak pernah mengatakannya. Itu hanya asumsi kamu sendiri," gumam Jeffrey. "Kalau pun iya, saya nggak peduli. Laki-laki lainnya pun nggak akan peduli."
"H-hei!" Lana melengos ketika Jeffrey hendak mencium bibirnya, hingga ciuman itu hanya berakhir di telinga Lana. Dan sial, itu bahkan menghadirkan percikan yang lebih panas. Tapi beruntungnya, Jeffrey tidak melanjutkan aksi tersebut.
Jeffrey menjauhkan tubuhnya dari Lana yang nyaris kehabisan napas karena jantungnya yang berdebar terlalu keras. Tapi sebelumnya, dia menyempatkan menarik resleting belakang gaun Lana.
Ketika dia mundur dan tersenyum, lalu Lana berdiri tegak, saat itu...
"AIHS, JEFFREY SIALAN! b******k!" teriaknya murka. Gaunnya hampir saja melorot. Dan Jeffrey yang kekanakan itu tersenyum evil sambil meninggalkan Lana yang sudah ingin menguburnya hidup-hidup.
***