Om Tua Jelek

1004 Kata
Jeffrey duduk di hadapan seorang lelaki berbadan tinggi yang mengenakan pakaian santai. Sangat kontras dengannya yang selalu mengenakan pakaian formal. Wajah lelaki itu nampak tenang, tetapi Jeffrey yakin ada banyak emosi yang dia sembunyikan di balik wajah itu. "Jadi, ada apa?" Jeffrey membuka suara seraya menyeruput Caramel Macchiato di gelasnya. "Sejak kapan?" Jeffrey mengernyitkan dahi. Menatap lurus pada pemuda tampan itu dengan tampang datar. "Perihal kamu dan Vanilla." "Ah," Jeffrey mendesah singkat, mengangguk. "Sejak lama. Tapi berakhir sejak kehadiran kamu di hubungan kami." "Aku nggak pernah tahu kalian menjalin hubungan. Bahkan Mama...." Ck! Jeffrey berdecak, membuat Gara--lelaki itu--menghentikan kalimatnya. "Kamu nggak pernah tahu? Lalu apa yang kamu ketahui?" "Jeff." "Sejak dulu prioritas Ibu adalah kalian. Kamu nggak tahu, kan?" "Kamu salah." "Lalu apa yang benar? Apa?" Jeffrey berdesis sinis. "Hanya itu yang mau kamu bicarakan? Saya sibuk. Banyak pekerjaan yang harus saya urus." Jeffrey lekas berdiri, menepuk jasnya seolah membersihkan kotoran di sana. Tetapi langkah pemuda itu terhenti ketika suara kakak tirinya kembali terdengar. "Mama menyayangi kamu sama seperti dia menyayangi kami. Dan soal Vanilla, aku benar-benar nggak tahu." Jeffrey berbalik. "Lalu?" tanyanya singkat. "Aku minta maaf." "Bagian mana yang perlu saya beri maaf?" Jeffrey menghela napas dalam, lalu melengos. "Kalau kamu sendiri nggak tahu bagian mana yang perlu dimaafkan, jangan minta maaf." Lalu setelahnya, dia benar-benar pergi dari kafe tersebut. Meninggalkan Gara yang termenung sendiri. *** "Kamu di mana sekarang? Jangan datang ke kampus saya. Tunggu di sana!" Jeffrey tersenyum lebar mendengar penuturan Lana yang panik di seberang sana. Membayangkan raut wajah perempuan itu saja sudah membuat Jeffrey geli. Entah mengapa, sifat pemarah dan menantangnya membuat Jeffrey semakin suka bermain-main dengan gadis itu. "Saya lagi di jalan. Sebentar lagi sampai di kampus kamu." "Jangan berani-berani!" semprot suara Lana, yang membuat Jeffrey terkekeh kecil memandangi layar ponselnya di dashboard. "Berhenti sekarang! Saya yang akan ke sana." "Aduh, gimana ya? Mobil saya nggak mau berhenti." "Aihs, b******k!" Umpatan tersebut sepertinya refleks keluar dari mulut Lana. Dan itu berhasil membuat Jeffrey hampir saja tergelak jika dia tidak menggigit lidahnya sampai lecet. "Tolong jangan main-main. Hentikan mobil kamu segera. Atau--" "Saya sudah berada di depan gedung fakultas kamu." Dengan enteng Jeffrey memotong kalimat Lana. Hingga terdengar pekikan tertahan berupa rentetan umpatan. "Diam di sana! Atau putar balik lagi. Enyah dari depan kampus saya!" "Memang kenapa?" "Pokoknya enyah!" "Mobil saya mendadak nggak mau jalan," ujar Jeffrey. Meraih ponselnya dan mematikan loud speaker lalu menempelkan benda pipih itu di telinga, sementara tangan yang lain menurunkan kaca mobil hingga dia kini leluasa melihat sekitaran tempat Lana mengenyam pendidikan. "Kamu sengaja ingin saya meledak? Pergi nggak?!" "Ya. Saya baru saja keluar dari mobil," goda Jeffrey semakin menjadi-jadi. Dia benar-benar turun dari mobilnya setelah menemukan sosok Lana yang tengah berjalan terburu-buru. "LO GILA?" "Ya, saya tampan." Jeffrey terkekeh pelan, melangkahkan kaki-kaki panjangnya menghampiri sosok Lana yang hingga kini belum menyadari kehadirannya. Sampai.... "Excusme?" Jeffrey mengetuk punggung Lana dengan telunjuk. Lana menoleh, dan, "s**t!" umpatan itu dikeluarkan tepat di depan wajah Jeffrey yang setengah menunduk menatap perempuan tersebut. "Lo, tuh--ihs, sialan, b******k. Dasar om-om tua jelek!" Lana menggerutu sendirian. Meski begitu, Jeffrey masih bisa mendengarnya. "Saya bilang jangan datang ke kampus saya. Terus kenapa kamu di sini sekarang? Mau mati?" desis Lana tajam. Apalagi ketika beberapa orang menatap ingin tahu ke arah mereka. "Saya menjemput calon istri saya." Jeffrey mematikan ponselnya lantas memasukkan benda itu ke dalam saku jas hitam yang dia kenakan. Setelahnya kembali menatap Lana dengan datar. "Mau jalan sendiri atau digendong seperti beberapa hari lalu?" Melihat reaksi Lana yang langsung membeliak tajam, ingin rasanya Jeffrey tertawa keras. Untung saja dia bisa menahannya. "Jangan coba-coba kalau kamu nggak mau mati muda!" desis Lana tajam. Lalu berjalan cepat meninggalkan Jeffrey di belakang. Namun di langkah yang ke sekian, dia kembali menoleh. "Mobilnya di mana?" tanya gadis itu, berusaha mempertahankan wajah pongahnya, tetapi gagal. Jeffrey tersenyum singkat. Menunjuk sedikit ke arah kanan, tepat pada mobilnya yang terparkir cantik. *** Keduanya kini sampai di sebuah butik yang tidak begitu mewah, tapi terlihat cantik. Desain interior dan gaun-gaun yang terpampang sungguh menyilaukan mata. Jeffrey memasang wajah datar sesaat setelah turun dari mobil. Sementara Lana tentu saja berusaha bersikap biasa saja. Muak rasanya melihat gaun-gaun feminin yang bertengger. Sungguh bukan seleranya. Meski dia sendiri tahu bahwa itu cantik, tapi membayangkan salah satu dari gaun itu akan dia pakai? Oh, ghost! "Ah, selamat siang. Ada yang bisa kami ban--tu?" kalimat perempuan berdenim merah muda itu nyaris menggantung. Lana tidak tahu mengapa. Sementara Jeffrey jelas sudah memprediksi hal ini. "Kenapa kamu ke sini lagi?" Lana menoleh pada Jeffrey, yang menjadi pusat perhatian si perempuan. Merasa aneh dengan sikap dua orang tersebut. "Saya mau fitting baju pengantin." Jeffrey mengedikkan dagu pada Lana. Lalu tangan-tangan besarnya meraih bahu gadis tersebut, memeluknya. "Sebelumnya saya sudah buat janji dengan April," Jeffrey melanjutkan. Menyebut seorang pegawai dari butik tersebut yang lumayan dia kenal. "Ah, kamu--" "Boleh kita mulai sekarang saja? Saya sangat sibuk. Belum lagi pernikahan kami sangat mepet." Kemudian tanpa menunggu perempuan itu bereaksi, Jeffrey masuk ke dalam bangunan yang sudah tak asing lagi baginya. Bangunan yang menjadi saksi akan cinta dan luka yang dia dapatkan dari perempuan bernama Vanilla. "Siapa?" Lana berbisik tak lama kemudian. "Pemilik butik ini," balas Jeffrey enggan. Lana menepuk tangan Jeffrey yang masih memeluk bahunya. Lantas memicing tajam pada lelaki tersebut. "Oke. Tapi tolong kondisikan tangan Anda," desis Lana yang lalu duduk di salah satu sofa yang tersedia. Menopang sebelah kaki di atas pahanya. "Jangan lupa tentang apa yang saya katakan malam itu. "Yang mana?" "Tidak ada kontak fisik." "Oh, oke." Jeffrey membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. "Saya nggak janji." "Eh?" "Saya laki-laki normal. Kamu perempuan dewasa yang cukup cantik. Dan uhm--" "Stop!" "Kita akan sah nanti." Lana menatap berang. "Tapi perjanjian yang kita buat nggak kayak gitu!" "Perjanjian? Kita nggak pernah membuat perjanjian apa pun. Itu cuma kamu." Shit. Lana amat kesal sekarang. Dia berniat menjebak Jeffrey dan mempermainkannya, tetapi malah dia yang saat ini terjebak lantas dipermainkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN