9. Tak semudah itu kau lari dariku

1001 Kata
**** "Ana, aku ingin bicara." Mas Azzam menarik tangan ku dan membawa ku keluar dari ruangan Ibu. Aku dan Mas Azzam duduk di taman rumah sakit tak jauh dari ruangan Ibu. Dengan perasaan yang campur aduk aku menarik napas dalam-dalam. Aku yakin jika Mas Azzam akan bertanya banyak hal pada ku terutama tentang ucapan ku tadi. "Sudah berapa lama kita bersahabat, An?" tanya Mas Azzam dengan suara khasnya. "Kalau terhitung sejak kita bersahabat dari kita SMP, mungkin sudah hampir 10 tahun," ucapku dengan menatap lurus ke depan. "Selama itu juga lah aku mencintaimu, Ana." Deg!! Entah aku harus merasa bahagia atau justru sedih karena aku lagi-lagi merasa menyesal karena sudah menikah dengan Mas Salman. Jujur, aku bahagia mendengar ucapan Mas Azzam. Namun, aku justru merasa bersalah karena tak bisa membalas cintanya. "An, aku mencintaimu sejak kita masih SMP. Sampai sekarang belum ada yang mampu memasuki hati ini," ucapnya menoleh pada ku. Aku masih terdiam tak bergeming entah apa yang harus aku katakan. Mulut ku kembali kelu. Bayangan indah saat dulu bersama Mas Azzam pun kian asik mengejekku. Mengejekku karena kini hidupku bahkan tak seindah zaman itu. "Aku sudah menikah, Mas." Mas Azzam kembali menoleh pada ku dan menarik tubuhnya agar bisa menatapnya. "Tapi kamu tidak bahagia, An! Dia tidak mencintaimu bukan?" 'Benar, dia tidak mencintaiku dia justru mencintai sesama jenisnya.' Ingin sekali aku mengatakan itu pada Mas Azzam. "Aku mencintainya, Mas," ucapku berbohong agar Mas Azzam tidak terlalu mengkhawatirkan ku. Mas Azzam menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Bohong! Kamu bohong, Ana! Jawab dengan jujur Ana, apa kamu mencintaiku?" Aku tak tahu harus mengatakan apa. Deraian air mata yang terus mengalir deras dari mataku lah yang menjadi jawaban dari pertanyaan Mas Azzam. Mas Azzam sendiri meminta maaf karena merasa dirinya sudah terlalu menekan ku. "Astaghfirullah ... maaf, Ana. Aku terlalu emosi mendengar perkataanmu tadi." Mas Azzam kembali duduk di kursinya dan mengusap wajahnya dengan sangat kasar. "Aku minta maaf jika aku sudah lancang mengatakan cinta padamu, An. Tapi itu kenyataannya, An. Sampai sekarang aku hanya mencintaimu," ucapnya cemas karena ungkapan hatinya pada ku yang sudah sangat lama dipendamnya. 'Maafkan aku, Mas. Jujur dulu aku mungkin memang mencintai Mas Salman, tapi tidak dengan sekarang bahkan aku sangat jijik mendengar namanya saja,' gumamku dalam hati. "Kamu tidak salah, Mas. Takdir kita yang tidak merestui hubungan kita." Mas Azzam kembali menatap ku. "Tapi, apa kamu yakin akan tetap bertahan bersamanya? Dia tidak mencintaimu lalu kenapa kamu harus bertahan dengannya, An?" "Apa maksudmu yang mengatakan saya tidak mencintainya?" Mas Salman datang tiba-tiba dari belakang kami. "Mas Salman," ucapku terkejut, Mas Azzam sendiri hanya menoleh tak suka pada Mas Salman. Mas Salman menghampiri ku dan seperti biasanya dia akan berpura-pura begitu mencintaiku. "Aku sangat mencintai istriku, mana mungkin aku tidak mencintai istri yang cantik jelita seperti Ana." Mas Salman membelaiku lembut dengan tatapan penuh arti. Romantis, sangat romantis dan sungguh membuatku bahagia jika aku mendengarnya saat belum tahu hubungan Mas Salman dengan Sandy. Namun, sekarang rasa romantis itu sudah tak bisa membuatku tersenyum lagi. Ingatan ku hanyalah pada saat Mas Salman dengan Sandy di kamar hotel yang tengah melakukan hal terlarang itu. "Apa yang kamu katakan padanya, sayang?" tanya Mas padaku dengan sorot mata marah tapi di tahannya. "Apa aku tidak mencintaimu selama ini, sayang?" Mas Salman mengapit tangan ku menunjukkan kepemilikannya pada Mas Azzam. "Ck, kamu yakin kamu mencintai Ana, Salman?" ejek Mas Azzam merasa jika Mas Salman terlalu mengada-ada. "Tentu saja aku mencintainya, jika tidak mana mungkin aku mau membiayai rumah sakit ibunya yang tak sedikit, iya'kan sayang?" Mas Salman menoleh pada ku dengan sorot penuh ancaman. Mas Azzam menatapku lalu tersenyum tipis mengejek. "Jadi, karena biaya perawatan rumah sakit, An? Jadi, kamu bertahan karena biaya perawatan ibu?" Aku tersentak dengan tebakan Mas Azzam namun sepertinya Mas Azzam sudah tidak bisa di bohongi lagi. "Tidak Mas, aku ...." Mas Azzam menarik tangan ku dari tangan Mas Salman. "Aku akan membiayai perawatan Ibu, An. Kamu jangan khawatir tentang itu," ujar Mas Azzam meyakinkan'ku. " Aku tidak akan membiarkan kamu menderita lagi, Ana. Aku akan membiayai semua perawatan Ibu dan melepaskan kamu dari pria yang tak mencintaimu." Mas Azzam mengapit wajahku dengan lembut lalu menempelkan keningnya pada keningku. "Tapi, Mas. Biaya pengobatan Ibu cukup besar, aku tidak mungkin bisa membayarnya dalam waktu dekat," ucapku seperti mendapatkan angin segar agar aku bisa keluar dari belenggu rumah tangga ku. "Ssttttt." Mas Azzam menempelkan tangannya pada bibirku. "Tidak, An. Tidak akan ada hutang di antara kita, aku mencintaimu dan akan menikahi kamu setelah kamu bercerai nanti." Sungguh aku tak mampu mengatakan apapun mendengar ucapan Mas Azzam. "Tapi, Mas." "Sudah, Ana. Bereskan masalah mu dengan pria itu maka kita akan memulai kehidupan baru setelah itu," ucapnya lagi dengan terus menyeka air mataku. "Hentikan omong kosong itu, Ana!" sentak Mas Salman yang sedari tadi hanya terdiam menyaksikan ungkapan cinta dari Mas Azzam. "Aku tidak akan menceraikan' mu, Ana," sentaknya lagi dengan tegas. Sayang, ketegasannya tak sesempurna gendernya. "Mas Azzam, mungkin sebaiknya Mas Azzam pulang dulu. Aku janji setelah aku menyesuaikan urusanku dengannya, aku akan kabarin Mas Azzam." Mas Azzam menatap ku iba. "Kamu yakin bisa sendiri, An?" "Insya Allah, Mas. Allah akan selalu bersama ku, tolong doakan aku akan selalu kuat." "Tentu, Ana. Kamu wanita kuat juga wanita sholehah. Aku yakin jika dia akan menyesal karena menyia-nyiakan kamu," ucap Mas Azzam menyindir Mas Salman. "Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa, jangan lupa kabarin." "Baik, Mas. Terima kasih." "Untuk apa?" goda Mas Azzam tersenyum manis padaku. Aku pun membalas tersenyum tipis. "Untuk semuanya, Mas." "No problem, Ana. Mulai saat ini kamu prioritasku." Mas Azzam pun beranjak pergi meninggalkan ku dengan Mas Salman mempercayakan urusan Mas Salman padaku. Tak kusadari ternyata Mas Salman begitu geram melihat pemandangan romantis antara aku dengan Mas Azzam. Entah apa maksud dan tujuannya menatapku tajam seperti tak suka. Aku pun tak ingin banyak berpikir, apalagi ucapan demi ucapan Mas Azzam tadi membuat ku seperti mempunyai kekuatan untuk melawan Mas Salman. "Kamu pikir semudah itu kamu bisa lepas dariku, Ana?" Suara Mas Salman yang menejelegar, tapi kali ini tak membuatku takut
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN