Chapter 9

2237 Kata
Tak memedulikan dinginnya malam dan tetesan air shower yang menusuk setiap pori-pori kulitnya, Elena sengaja berdiri di bawah kucuran air shower yang sedari tadi membasahi tubuhnya—menyamarkan bulir-bulir bening yang jatuh di pipinya. Entah sudah berapa lama wanita paruh baya itu melakukannya. Namun, sepertinya wanita paruh baya itu enggan beranjak dari sana. Tubuh putih Elena semakin memucat, giginya saling bergemeletuk, ditahannya tubuh renta yang menggigil itu dalam dekapannya. Berbagai rasa tak mampu diungkapkan lewat kata-kata. Hanya kebisuan mencekam yang mampu menemani betapa rapuhnya dirinya. Pada akhirnya tubuh itu semakin melemah dan luruh di lantai kamar mandi yang dingin. Tangan wanita paruh baya itu meremas dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Luka itu tak kasat mata. Namun, rasa itu begitu nyata. Antara cinta berselimut penyesalan. Entah siapa yang harus disalahkan dalam situasi yang sangat menyulitkan seperti ini. Tangisan gadis kecilnya selalu terpatri dalam memori. Batinnya menjerit. Luka itu semakin menganga. Bagai taburan garam dan perasan lemon yang menetes tepat di atas lukanya, rasanya Elena tak mampu menahan segala rasa sakitnya. Tangannya terus memukul-mukul kepalanya. Meratapi segala bentuk kekacauan yang ada. Entah salah siapa, yang jelas bukan gadis kecilnya yang patut disalahkan. Tidak, Tania hanyalah korban keegoisan suaminya dan juga dirinya. Permainan takdir seolah asyik mengolok-oloknya. Menari-menari entah sampai kapan semua ini 'kan berakhir. Tak sedetik pun waktu yang bisa ia lewatkan dengan tenang. Apalagi sejak suaminya mengasingkan putrinya. Gadis kecilnya tak lagi bisa digapainya, direngkuh dalam dekapannya, disayangnya penuh cinta, diobatinya di kala sakit, atau disekanya tetes air mata di kala sedih. Gadis kecilnya tak pantas mendapatkan semua luka yang bukan berasal dari kesalahannya. Elena terus tersedu-sedu. Ia sangat mengerti seberapa dalam luka yang tergores di wajah putrinya. Ia turut campur dalam menggoreskan luka itu. Sangat pantas jika putrinya membencinya, karena ialah sumber kekacauan yang ada. "Elena." Suara itu tak asing baginya. Ketukan demi ketukan pintu kamar mandi seolah ditulikannya. Elena semakin menenggelamkan kepala di antara kedua lutut yang ditekuk. "Pergi!!!" Teriakan Elena dari dalam kamar mandi membuat pria yang sedari tadi khawatir pada istrinya mengernyit tak percaya. Pria itu mencoba membuka pintu kamar mandi. Memanggil-manggil sang istri dengan kekhawatiran yang membuncah. Di saat dirinya melakukan ancang-ancang untuk mendobrak pintu, niatnya urung kala melihat pintu itu pada akhirnya terbuka. Ayden terbelalak. Istrinya terlihat sungguh kacau. Pakaian istrinya sudah basah sempurna. Dan pandangan pria itu jatuh pada netra sembap istrinya. Tubuh Elena hampir saja luruh di lantai jika tangan suaminya tidak sigap menahannya. Ayden segera membuka hijab istrinya. Disekanya kristal bening yang masih asyik berjatuhan di pipi yang memucat itu, kemudian merengkuh tubuh tak berdaya itu. "Ada apa, Sayang? Apa anak sialan itu berbuat ulah lagi?" tanya Ayden beruntun. Elena segera mendorong tubuh suaminya. Melepaskan dirinya dari dekapan penuh sayang Ayden. Sepersekian detik selanjutnya ia menguatkan kakinya, kedua tangannya terus memukul-mukul d**a bidang pria yang sudah memporak-porandakan hidupnya. "Aku membencimu, Ayden. Aku membencimu, membenci diriku sendiri," ujar Elena meluapkan segala rasa kecewanya. Ayden hanya diam membiarkan tangan istrinya terus saja memukul dadanya. Dirinya sedikit meringis. Namun, rasa sakit itu diabaikannya. Biarlah istrinya memukulnya sesuka hatinya—menguapkan segala amarah yang sebenarnya tak ia ketahui alasannya. Pada akhirnya meski belum puas Elena luruh di lantai. Kedua tangannya membenamkan wajahnya. Hidupnya teramat miris. Ingin rasanya ia meninggalkan dunia ini. Namun, kembali ia berpikir bagaimana dengan kedua buah hatinya. Ayden menekuk kedua kakinya, berjongkok di depan istrinya. Didekapnya kembali tubuh lemah itu dengan erat, tak peduli istrinya terus meronta. "Ada apa, Sayang?" tanya Ayden sekali lagi. Tangannya terulur untuk mengusap punggung istrinya agar tenang. "Kau b******k, b******n, sialan! Aku membencimu, Ayden. Aku membencimu," keluh Elena dengan napas yang terengah-engah. "Baiklah aku minta maaf, tapi katakan kesalahan apa yang membuatmu semarah ini?" tanya Ayden dengan lembut. Bibir Elena terlihat membiru. Matanya mulai berkunang-kunang. Dirinya sungguh tak sanggup lagi untuk bicara. "Kumohon hentikan semua ini, Ay. Kumohon jangan lagi mengoreskan luka berselimut benci pada hati putriku. Aku mohon," pintanya dengan lirih. Netra Ayden menatap tajam. "Jadi benar semua ini, karena anak sia—" "Cukup!" bentak Elena memotong ucapan suaminya. "Dia bukan anak sialan, Ayden! Kau tahu itu, sangat tahu." "Elena, aku ... aku tidak tahu harus bagaimana," ungkap Ayden jujur. "Kau tahu, Ayden, kau tahu. Kumohon jangan pernah membedakan kedua anak kita. Aku tak sanggup melihat sorot luka mendalam yang tercetak di matanya. Kumohon, Ay, aku tidak ingin suatu saat kau menyesali perbuatanmu. Seminggu lagi dia bukan lagi milik kita, kumohon manfaatlah waktu untuk memperbaiki hubungan kalian. Dia sangat menyayangimu, Ay," terang Elena seraya menundukkan kepalanya. "Aku akan mencobanya. Aku janji, Sayang." Ayden mencoba meyakinkan istrinya. Dikecupnya berkali-kali pucuk kepala istrinya. Tak ada yang tahu di balik keras sikapnya ia pun sama memendam luka yang masih menganga. "Aku takut, Ay. Apa kau yakin Dimas akan mampu membahagiakannya?" tanya Elena di sela-sela tangisnya. "Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya," balas Ayden. Tak ada pula yang tahu betapa ia khawatir melepas anak gadisnya. *** Ayden menatap langit-langit penuh bintang dari atas balkonnya. Lama ia memejamkan mata merenungi segala perbuatannya sembari merasakan terpaan dinginnya angin malam yang seakan-akan mengejeknya. Dirinya menoleh ke dalam kamar—melihat sosok yang sudah menjadi istrinya selama dua puluh delapan tahun ini terlelap, karena saking letihnya menangis. Sebelumnya ia tak pernah melihat istrinya serapuh itu. Lagi-lagi ia membuat istri tercintanya terluka. Pria itu menatap kedua tangannya. Beberapa hari yang lalu untuk pertama kalinya tangan kotor itu merengkuh tubuh putrinya, bahkan saat putrinya terlahir ke dunia ia tak sedikitpun ingin membawa tubuh kecil nan merah itu ke dalam gendongannya. Ia meneguk gelas minumnya. Namun ternyata gelas itu sudah kosong. Ia pun memutuskan menarik kakinya ke luar kamar untuk mencari pelega dahaga. "Ay," panggil Elena dengan suara yang terdengar parau. Ayden menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Sebuah senyuman dilayangkan kepada istrinya. "Tidurlah, aku mau mengambil minum sebentar," titahnya penuh kelembutan. Elena mendudukkan tubuhnya. "Biar aku saja yang ambil." "Tidak usah." Penolakan Ayden membuat Elena yang baru saja hendak menurunkan kedua kakinya ke lantai mengurungkan niatnya. Cukup lama Ayden hanya berdiam diri di dapur padahal gelas yang sedari tadi dibawanya sudah terisi penuh. Pikirannya berkecambuk memikirkan anak gadisnya. Tak terasa dalam waktu seminggu lagi putri kecilnya akan berubah menjadi istri dari seseorang. Setelah cukup lama pria paruh baya itu menenggelamkan wajahnya di atas meja makan, pria paruh baya itu memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun langkahnya terhenti saat samar-samar ia mendengar sebuah isakan dan teriakan dari kamar putrinya. "Sakit Ayah ... hiks ... sakit. Ibu ...." Apa dia mimpi buruk? tanya batin Ayden saat ia menempelkan telinganya di pintu kamar putrinya. Sayup-sayup ia kembali mendengar racauan itu lagi. Tanpa sadar Ayden mengetuk-ngetuk pintu kamar Tania. Tania tersentak dengan peluh di dahinya. Napasnya memburu. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara. "Siapa?" tanya Tania. "Apa Ayah boleh masuk?" Bukannya menjawab Ayden malah balik bertanya. Tania mengernyit memikirkan ada apa ayahnya malam-malam begini mengunjunginya. Apa ia tidak salah dengar atau ia masih berada di dunia mimpi, tapi ... ah telinganya cukup sehat mendengar suara ayahnya. "Sebentar," teriak Tania. Ia masih menstabilkan napasnya dan mengumpulkan kesadarannya. Beberapa saat kemudian pintu berderit menampilkan Tania yang menatap bingung ayahnya yang berdiri di depannya. "Ayah dengar kau meracau. Apa kau mimpi buruk?" tanya Ayden mencoba dengan nada yang terdengar lebih bersahabat. "Sebenarnya itu bukan mimpi." Perkataan Tania bagaikan sebuah tombak panas yang tepat menusuk jantungnya. "Maaf jika aku mengganggu tidur Ayah," sesal gadis itu. "Boleh Ayah masuk?" tanya Ayden dengan ragu. Hatinya sungguh cemas menanti penolakan putrinya. Namun alih-alih ditolak, anggukan putrinya membuat senyumnya terbit seketika. "Silakan," jawab Tania. Gadis itu berjalan terlebih dahulu diikuti ayahnya yang mengekor di belakang. Ayden menatap ke segala penjuru kamar putrinya. Ia menatap miris kala mengingat hanya Elena yang antusias menyiapkan kamar set kedua malaikat kecilnya. Di saat istrinya itu tahu putri mereka akan kembali seminggu yang lalu, Elena pun begitu antusias untuk mengganti dekorasinya. Gadis kecilnya sudah dewasa, tidak mungkin jika Tania harus tidur dalam nuansa kamar anak-anak, tapi keegoisan Ayden kembali muncul. Laki-laki itu melarangnya dengan dalih menghambur-hamburkan uang. Padahal kamar Abyan pun sudah sejak lama diubah sesuai gaya putranya yang kini sudah berusia dua puluh dua tahun. "Sepertinya besok kau tak usah tidur di sini," ucap Ayden membuat mata Tania membola. "Apa?! Ayah mengusirku?" tanya Tania dengan mata yang masih terbelalak. Ayden menggeleng seraya menyimpan gelas minumnya. "Kau butuh nuansa kamar yang baru. Lihatlah, kamar ini sudah tidak cocok lagi untukmu apalagi sebentar lagi kau akan punya suami. Suamimu pasti geli, jika tidur di tempat seperti ini," jawabnya. Berbicara tentang suami, apa kabar dengan Dimas. Sejak pertemuan malam itu pria itu belum menghubunginya. Apa mungkin pria itu pada akhirnya menyerah? Ah ... semoga saja begitu, pikir Tania. "Dimas pria yang baik. Setiap hari ia tidak pernah absen menanyakan kabarmu pada Ayah." Perkataan Ayden seolah menjawab apa yang Tania pikirkan. "Bagaimana jika yang Ayah pikirkan itu salah? Dia hanya pria yang akan menyakitiku. Sesuai perjanjian, apa Ayah sanggup berpisah dengan Ibu?" Ayden sudah berusaha untuk bersikap tenang, tapi entah mengapa putrinya selalu menyulut api. "Kau tahu Ayah tidak akan sanggup, tapi janji dibuat untuk ditepati, bukan diingkari," jawab Ayden seraya mengembuskan napas panjang. "Jika Ayah ragu, Ayah bisa membatalkan perjodohan itu," usul Tania yang sedang duduk di pinggir ranjang. Ayden terkekeh, ternyata benar alasan putrinya mengajukan hal mustahil itu demi membatalkan perjodohan ini. Syukurlah, ia bisa sedikit lebih tenang, ia kira putrinya melakukannya untuk membalaskan dendam. "Jadi kau benar-benar tidak ingin dijodohkan, ya? Apa ada pria lain yang kau cintai?" tanya Ayden. Demi Tuhan ke mana saja ia selama ini sampai-sampai ia tak sedikit pun mengetahui kehidupan putrinya. "Jika iya?" Alih-alih menjawab Tania malah balik bertanya. Ayden beranjak dari sofa milik putrinya, berjalan dan duduk di samping putrinya. Tangannya menggenggam sebelah tangan putrinya sambil sesekali mengusap punggung tangannya. "Jika iya sebaiknya kau lupakan pria itu. Aku tahu ini sulit. Aku pun tak memiliki pilihan lain, tapi mau bagaimana lagi ... keluarga Dimas tidak mau membatalkan perjodohan ini. Yang bisa Ayah lakukan saat ini hanya mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga kau bisa berbahagia dengannya," jawab Ayden dengan pasrah. Tania masih belum bisa menetralkan degup jantungnya yang terdengar aneh kala tangan ayahnya masih menggenggamnya. "Mereka keluarga kaya, mengapa mereka memilihku?" Ya, Tania memang begitu penasaran, apalagi sikap Dimas yang dengan sukarelanya menerima bahwa dia bukanlah gadis suci. "Karena mereka tahu bahwa putri Ayah memang yang terbaik," jawab Ayden tulus seraya menyelipkan anak rambut putrinya ke belakang telinga. Tania menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari ayahnya. "Aku bukan yang terbaik. Aku hanya pengacau dan pembunuh, benar begitu?" Tanpa rasa takut Tania bertanya seperti itu. "Aku sudah bertanya pada Ibu siapa yang sudah aku lenyapkan nyawanya, tapi Ibu tidak mau memberikan jawabannya. Sekarang aku bertanya pada Ayah, siapa saja nyawa tak bersalah yang sudah aku layangkan?" lanjutnya sambil menatap ayahnya penuh harap. "Maaf Ayah sudah mengganggu waktumu. Sebenarnya Ayah hanya ingin mengatakan bulan depan kau sudah bisa masuk kuliah di kampus barumu." Ayden menghela napas kasar. Ia pun beranjak dari tempat duduknya. Di saat ia hendak mengambil gelas minumnya, tangan Tania mencekalnya. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Ayah. Jawab pertanyaanku? Siapa yang sudah aku lenyapkan hingga Ayah begitu membenciku?" tanya Tania terkesan dingin. "Nyamuk," jawab Ayden sambil tersenyum tipis dan melepaskan tangan Tania. Tania membisu, hatinya sungguh tidak puas mendengar jawaban ayahnya yang terdengar seperti sebuah lelucon yang mengolok-oloknya. "Empat nyawa." Ucapan Tania seketika menghentikan langkah Ayden yang sudah berdiri di ambang pintu. "Jadi saat itu ada tiga nyawa yang lebih tepatnya Ayah layangkan hingga kemudian Tuhan mengambil satu nyawa lainnya," lanjut Tania tanpa takut. Otaknya selama ini terus berputar mencari potongan puzzle yang merumitkan logikanya. Ayden meremas gelas yang berada dalam genggamannya dengan kuat. Sepersekian detik selanjutnya ia melemparkan gelas itu hingga menjadi serpihan kaca yang berhambur di lantai bersamaan air yang kini berceceran. "Hentikan omong kosongmu, Tania!!!" bentak Ayden. Habis sudah emosinya terbakar. "Kenapa Ayah begitu pengecut mengakuinya?" tanya Tania dengan nada yang tak kalah tinggi. "Aku bukan pengecut!" elak Ayden dengan napas yang memburu. "Kumohon bawa aku ke makam mereka," pinta Tania sambil mendekati ayahnya dengan langkah hati-hati agar tidak terkena serpihan kaca. Namun apa daya, ayahnya justru mendorongnya hingga serpihan kaca yang cukup besar itu tak terelakan menancap tangannya. Sakit, itulah yang Tania rasakan saat ini. Namun jauh di lubuk hatinya paling dalam lebih sakit. Gadis itu meringis kala ia mencabut kaca yang dengan manisnya menempel di sana. "Ada apa ini?" tanya Elena yang baru saja datang karena mendengar sebuah keributan. Netranya terbelalak melihat darah yang mulai menyeruak dari telapak tangan putrinya. Dengan sigap Elena menghampiri putrinya dan menyeka darah itu dengan gaun tidurnya. Tania segera menepis perlakuan Elena. "Jangan bersikap manis padaku, padahal kaulah sumber deritaku." "Sudah kukatakan bersikaplah yang sopan pada wanita yang telah melahirkan dan menyayangimu dengan tulus, Tania!" bentak Ayden tidak suka. "Cukup, Ayden. Kau berjanji akan memperbaiki semuanya, tetapi yang kulihat kau semakin memperburuknya," keluh Elena dengan mata yang berkaca-kaca. Bukan ia tersinggung atas perkataan Tania, hanya saja putrinya itu benar. Ialah yang membuat gadis itu menderita. "Aku sudah mencobanya, Lena, tapi anak sialan ini yang terus saja ...." Tiba-tiba Ayden menghentikan ucapannya. Ia menudukkan kepalanya ke bawah dan melangkah hati-hati. "Tania apa yang kau lakukan?" tanyanya segera menghampiri putrinya yang wajahnya mulai memucat. Pandangan Elena beralih pada sosok gadis yang berada di sebelahnya. Lagi-lagi ia terbelalak melihat kali ini bukan hanya telapak tangan putrinya yang terluka, melainkan pergelangannya yang jauh lebih deras mengeluarkan tetesan merah itu. Napas Tania mulai tercekat. Ia melirik Ayden yang kini merobek ujung seprai dan mencoba melilitkannya pada pergelangannya. "Ibu," ucap Tania lirih dengan sebulir kristal bening yang jatuh di sudut matanya sebelum kegelapan itu merenggut kesadarannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN