Peluh membanjiri gadis yang sedang terlelap itu, memunculkan manik-manik kecil di sana. Sudah satu minggu sekembalinya ke Indonesia, mimpi itu semakin gencar menghantuinya. Dan lagi-lagi ia tak bisa melupakan rasa panas yang menjalar di pipinya dan nyeri di sudut bibirnya.
Gadis itu terjaga dari tidurnya. Napasnya terengah dan jantungnya terasa berdenyut nyeri. Tangannya terulur untuk mengambil air minum yang berada di atas nakasnya. Dengan cepat ia meminumnya hingga tandas. Padahal ini masih siang. Namun, sepertinya Tuhan tak mengizinkannya tenang sejenak kendati dalam mimpi.
"Seharusnya dia tidak pernah lahir. Andai saja saat itu dia tidak lahir, mungkin rencanaku yang sudah aku persiapkan tidak akan tertunda dan kekacauan semua ini tidak akan terjadi."
Entah mengapa kata-kata yang ia dengar saat melihat perdebatan orangtuanya terus saja terngiang di pikirannya. Rencana. Kekacauan. Sungguh gadis itu tak mengerti maksud dari apa yang ayahnya lontarkan, terkecuali kata dia, karena ia yakin kata dia yang dimaksud adalah sesuatu yang ditujukan padanya. Lihat saja sampai saat ini, siapa lagi yang ayahnya itu benci selain dirinya. Belum lagi cap pembunuh yang ayahnya berikan padanya. Mungkin itu yang ayahnya maksud sebagai kekacauan. Sungguh ia tak mengerti nyawa siapa yang sudah ia layangkan. Memangnya apa yang bisa gadis kecil yang bahkan usianya belum genap lima tahun itu lakukan.
Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah membuka lemari pakaiannya. Satu fakta yang ia terima bahwa tak ada satu pakaian baru di lemari itu untuk menyambut kedatangaannya. Semua pakaian yang berbaris rapi itu berasal dari apartment-nya. Apakah ayahnya benar-benar bangkrut hingga tak memberikannya sehelai baju pun. Rasanya tidak. Buktinya pria tua itu masih mampu membayar orang suruhannya.
Tangan Tania tergerak memilih salah satu baju. Setelah memakainya, ia sedikit memoles wajahnya. Lagi-lagi, ia mengusap sudut bibirnya. Rasa sakit itu masih jelas terpatri dalam benaknya. Namun, kilasan kala tangan tua ayahnya yang memeluknya beberapa hari lalu seketika menggantikan rasa sakit itu. Hatinya mendamba. Ingin rasanya ia diperlakukan seperti itu lagi. Dulu, selepas ayahnya pulang kerja, dirinya dan Abyan selalu berlari menghampiri sang ayah. Kedua tangan kecilnya terentang meminta digendong. Namun, bukan ia yang mendapat pelukan dan gendongan dari sang ayah, melainkan kakaknya.
Sejak dulu Ayden memang bersikap dingin pada kedua anaknya. Namun ia selalu saja memberikan yang terbaik untuk si sulung dan mengabaikan si bungsu. Di saat hati gadis kecilnya menatap iri sang kakak, beruntung Abyan selalu menjadi pengganti sosok sang ayah.
"Kau mau pergi? Bukankah Ayah melarangmu ke mana-mana?" tanya Elena saat menatap putrinya yang sudah rapi.
Tania tak langsung membalas pertanyaan sang ibu. Ia hanya berdiri seraya mengunci mulutnya rapat-rapat.
"Aku hanya pergi sebentar. Aku janji tidak akan membuat ulah." Akhirnya setelah beberapa saat gadis itu mau membuka suaranya.
"Kalau begitu Ibu ikut." Elena mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun ia tidak mau mengambil resiko.
"Tapi—"
"Ibu mohon, Sayang," potong Elena sambil menghampiri putrinya, kemudian mengusap punggung tangan putrinya.
Tania mengembuskan napas panjang. Dirinya hanya bisa mengangguk pasrah tak kuasa menatap tatapan memohon ibunya.
***
Tawa riang anak-anak saling bersahutan. Beberapa di antaranya ada yang berlari ke sana kemari, bermain bola, bermain boneka, membaca, bahkan tak jarang ada pula yang menangis. Tempat itu seperti biasa tak pernah sepi. Selalu saja ramai oleh tingkah anak-anak yang menggemaskan.
Di sebuah bangku taman, seorang wanita paruh baya tengah asyik mengayunkan sebuah bayi yang terlelap dalam buaian hangatnya. Di sebelahnya seorang gadis tengah memainkan jari telunjuknya yang dipegang erat bayi yang terlelap dengan damai itu. Netra coklat madu gadis itu tak pernah bosan memandangi wajah sang bayi, pun dengan wanita paruh baya itu.
"Boleh aku menggendongnya?" tanya gadis itu.
Wanita paruh baya itu mengangguk. Dengan hati-hati ia menyerahkan bayi dalam gendongannya kepada gadis yang ada di sebelahnya. Gadis itu pun menggendong sang bayi dengan hati-hati. Tangan lembutnya terulur untuk mengusap lembut pipi bayi merah itu.
"Ibu tak pernah mengerti dengan orang-orang yang tega membuang darah dagingnya padahal di luar sana banyak yang menginginkan kehadiran anak di tengah-tengah pernikahannya. Seharusnya mereka berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak hingga tak menyakiti bayi yang tak bersalah seperti ini," keluh Elena.
Saat ini Elena dan Tania sedang berada di sebuah panti asuhan. Wanita paruh baya itu sempat tak percaya ketika ternyata putrinya mengajaknya ke tempat itu. Ia kira putrinya akan mengajaknya bersenang-senang ke mall misalnya. Ia sendiri tak tahu mengapa putrinya memilih tempat ini.
"Kurasa tak semua pasangan mengharapkan kehadiran seorang anak di tengah pernikahannya," celetuk Tania sambil menatap wajah ibunya. "Aku contohnya. Seorang anak yang tidak diinginkan. Benar begitu?" lanjutnya tersenyum masam.
"Mengapa kau berkata seperti itu? Kau tidak tahu betapa susahnya kami menanti kehadiranmu dan Abyan," elak Elena. Ia sungguh tak percaya atas apa yang putrinya tanyakan.
"Hanya Kak Aby, tidak denganku. Sejak dulu Ayah selalu mengatakan seharusnya aku tidak pernah lahir," ujar Tania dengan air mata yang sudah menggenang.
"Tidak seperti itu. Ayahmu menyayangimu sama seperti menyayangi kakakmu," tukas Elena seraya mengeka butiran bening yang baru saja jatuh di pipi putrinya.
"Menyayangi? Rasanya itu mustahil bagiku," ucap Tania retoris. "Tak ada kehangatan yang Ayah berikan padaku, bahkan baginya aku adalah penyebab semua kekacauan. Apa karena kehadiranku telah menghancurkan rencananya? Memangnya rencana apa yang Ayah maksud?" tanyanya.
Tubuh Tania sedikit bergetar. Kenyataan itu bagaikan sebuah tamparan telak yang menohok hatinya. Nasibnya tak jauh berbeda dengan bayi yang sedang digendongnya, bedanya ia sedikit beruntung karena tak dibuang oleh orangtuanya.
Elena merengkuh tubuh lemah putrinya. Lidahnya terasa kelu. Rasa tak percaya menghantamnya melihat bagaimana memori putrinya masih merekam jelas kejadian belasan tahun silam. Sungguh ia sendiri pun tak mampu menjelaskan kenyataan yang sebenarnya.
"Maafkan Ibu, seharusnya ... seharusnya ... kau lahir lebih cepat." Hanya itu yang bisa Elena ucapkan. Itu pun dengan susah payah.
"Bukan aku yang meminta kapan aku dilahirkan, bahkan jika bisa aku justru akan memilih untuk tidak terlahir ke dunia ini dengan begitu rencana Ayah tak mungkin hancur," ucap Tania dengan lirih. "Jika aku bisa memperbaiki rencana yang Ayah maksud, apa Ayah akan berubah menyayangiku?" tanyanya sambil menyeka air matanya.
"Rencana itu sudah terlaksana." Entah mengapa ucapan yang terlontar dari sang ibu membuat Tania hanya mampu mengernyit.
"A—apa maksud Ibu? Jika rencana itu sudah berhasil terlaksana, mengapa Ayah masih membenciku? Apa karena aku sudah melayangkan empat nyawa tak bersalah?" tanya Tania bingung. "Kumohon beri tahu aku yang sesungguhnya Ibu. Aku tidak tahu siapa saja yang sudah aku lenyapkan. Kumohon beri tahu aku. Aku ... aku ... sungguh tidak mengerti dengan semua ini," keluhnya terdengar frustasi.
Elena menatap bingung wajah putrinya. Wanita paruh baya itu menggigit bibirnya menahan tangis yang meronta untuk segera dibebaskan. Pikirannya pun melayang pada kejadian yang sungguh ingin ia lupakan.
"Tidak ada satu nyawa pun yang kau layangkan, Tania. Kau bukanlah seorang pembunuh. Kau adalah malaikat kecil yang mewarnai kebahagiaanku," jawab Elena sambil menutup wajahnya yang tengah menangis dengan kedua telapak tangannya.
Sebelah tangan Tania yang bebas—tidak menggendong bayi—mencoba melepaskan tangan yang menutupi wajah Elena.
"Tatap aku, Ibu. Kumohon jujurlah. Jika memang benar aku telah membunuh seseorang, aku akan meminta maaf pada keluarganya. Aku akan menebus semua kesalahanku," pinta Tania semakin frustasi. Lima belas tahun sudah ia memendam semua ketidaktahuannya. Ia butuh tahu kenyataan yang sebenarnya. "Apa salah satunya adalah adikku, bayi yang Ibu kandung?" tanyanya terdengar lirih.
Elena menggeleng dengan tetes air mata yang semakin deras jatuh di pipinya. "Tidak, Tania, tidak. Kematian adikmu yang sedang Ibu kandung adalah takdir yang sudah Tuhan tentukan," tukasnya.
"Tapi aku telah mendorong tubuh Ibu hingga tersungkur," ujar Tania penuh sesal.
"Saat itu kau tidak sengaja mendorong Ibu. Itu bukan salahmu. Saat itu kau begitu kecewa terhadap Ibu. Adikmu ... jika memang Tuhan menghendakinya untuk terlahir ke dunia, maka tidak ada yang mampu menghalanginya terlahir ke dunia meski kecelakaan hebat sekalipun," jelas Elena. Tangannya mengusap punggung tangan putrinya. Menghantarkan sebuah ketenangan. "Kau tahu, sebelum kejadian itu dokter sudah mengatakan kemungkinan Ibu bisa mempertahankan janin itu sangat kecil," lanjutnya.
"Dan aku semakin memperburuk keadaan," sela Tania.
"Tidak, Tania. Cukup kau menyalahkan dirimu. Jangan kau dengarkan perkataan pria tua itu lagi, ya," ucap Elena sambil menyeka air mata putrinya yang terus bercucuran.
Tania terkekeh kecil kala mendengar ibunya menyebut ayahnya pria tua. "Tapi tetap saja aku turut andil dengan peristiwa keguguran itu. Maaf," ucapnya lirih seraya menyeka wajah ibunya yang juga basah.
Elena menghentikan tangan Tania yang sedang menyeka wajahnya, kemudian membawa tubuh putrinya itu kembali dalam dekapan eratnya hingga suara tangis bayi yang terhimpit menyadarkan keduanya.
Tania mengayun-ayun tubuh kecil bayi itu agar kembali tenang. Gerakannya terlihat lincah, seperti seorang ibu pada umumnya. Tak beberapa lama kemudian bayi itu kembali tenang dan tertidur.
"Dia sangat cantik. Semoga takdir baik menghampirinya," ujar Tania sambil mengecup hidung mungil sang bayi.
"Kau tahu, rasanya begitu sakit kala Ibu harus kehilangan adikmu, tapi rasanya jauh lebih sakit saat ayahmu memisahkanmu dari Ibu. Tak ada satu wanita pun yang ingin terpisah dengan buah hatinya. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Ibu yakin, para ibu anak-anak yang berada di sini juga merindukan buah hatinya," ujar Elena sambil mengelus kepala bayi yang belum ditumbuhi rambut itu.
"Aku tahu bagaimana rasanya," ujar Tania tanpa menatap wajah Elena. Aku tahu pancaran rasa sakit itu, lanjutnya dalam hati.
***
Benda-benda berserakan di lantai akibat ulah pria tampan yang sedang memijit-mijit kedua pelipisnya. Hati pria itu bergemuruh. Amarahnya sudah memuncak sejak ia membaca laporan orang suruhannya.
"Apa kau yakin dengan semua ini? Kau tahu gadis itu cukup cerdik untuk memalsukan semua ini." Pria itu mengerang frustasi.
"Saya yakin, Tuan. Lagi pula, itu rumah sakit besar. Rumah sakit itu tidak mungkin memalsukan laporan ini. Jika hal ini merupakan suatu kebohongan, maka saya tidak sesulit itu meyakinkan mereka untuk memberi catatan medis pasiennya yang memang sangat dirahasiakan," jawab orang suruhan yang sedang berdiri di depannya.
"Lalu di mana pria yang telah menghamilinya?" tanya Dimas. Ya, sejak Tania memberinya kabar bahwa gadis itu sudah melakukan kureter, pria itu langsung menyuruh seseorang untuk mencari kebenarannya.
"Mohon maaf saya tidak mengetahui hal itu. Pihak rumah sakit mengatakan saat itu Nona Tania datang sendiri dengan keadaan kacau ke rumah sakit," jawab orang suruhan itu.
Rahang tegas Dimas semakin mengeras. Ia kira Tania menipunya kembali. Namun, orang suruhannya benar, tidak mungkin rumah sakit itu memberinya laporan palsu. Tania tidak mungkin bisa menyogok rumah sakit sebesar itu. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana lagi. Bagaimanapun ia tak bisa mundur dari perjodohan ini. Sebelumnya ia sudah membicarakan kemungkinan gadis itu sudah tidak perawan lagi mengingat pergaulan di negara itu seperti apa dengan ayahnya. Namun entah mengapa ayahnya tak mempermasalahkannya. Ayahnya justru balik memojokkan dirinya bahwa ia pun pasti bukanlah seorang perjaka yang suci.
Dimas mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Tania, gadis itu benar-benar menguji imannya. Namun satu fakta yang membuatnya berpikir bahwa gadis itu tak seburuk perkiraannya kala mengingat laporan itu mengatakan alasan gadis itu kehilangan janinnya, karena benturan cukup keras saat gadis itu terpeleset di kamar mandi, bukan karena gadis itu mengaborsinya.
Apa alasanmu mempertahankan janin itu, karena kau terlalu mencintai ayahnya? tanya batin Dimas. Namun entah mengapa memikirkan Tania mencintai pria lain membuat hatinya bergemuruh. Ingin rasanya ia memotong alat vital pria yang sudah seenaknya menebar benih di rahim calon istrinya itu.
Dimas terus mengerang tak tertahankan. Dirobeknya laporan itu hingga menjadi potongan-potongan kecil yang bertebaran di lantai.
"Sebaiknya kau pergi dan jangan biarkan siapa pun tahu, termasuk ayahku," titah Dimas sambil mengibas-ngibas tangannya.
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu," balas orang suruhan itu seraya membungkukkan tubuhnya penuh hormat.
"Tania ... tunggulah mimpi buruk yang aku ciptakan untukmu," gumam Dimas dengan seringai iblis yang tercetak jelas di wajahnya.