Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing.
"Kok lama, ya?"
Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu.
"Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut.
Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal.
"Tania." Seorang memanggil namanya.
Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
"Eh, Hai!"
Tania berdiri dan balas menyapa. Sedangkan Nero terdiam mengamati mereka berdua. Dalam hatinya bertanya siapa lelaki muda ini. Mungkin saja teman sekolah istrinya.
"Kamu nungguin siapa?" tanya Rizal. Matanya melirik ke arah Nero. Dalam hatinya juga berkata, mungkin ini si om yang sering mengantar jemput Tania.
"Papa. Baru balik dari Singapura. Kamu nungguin siapa, Zal?"
Nero tertegun sesaat. Dalam hatinya bergumam, ternyata ini lelaki yang bernama Rizal. Penampilannya boleh juga, tampan dan bersih.
"Sama. Nungguin Papa juga. Dari Aussie."
Mata Tania berbinar mendengar jawaban itu. Pas sekali momennya mereka bertemu. Jika begini kan, dia bisa berlama-lama dengan sang pujaan hati.
"Kalau gitu kita bareng aja, gimana?" tawar Tania. Dia menarik kursi untuk Rizal dan menyuruhnya duduk bersebelahan.
Raut wajah Nero berubah masam. Hatinya dongkol melihat dua orang itu. Apalagi saat mereka tersenyum malu-malu. Apa Tania lupa kalau dia ini suaminya?
"Mau minum apa, Zal?" tanya Tania manja.
"Apa aja boleh," jawab Rizal santai. Matanya tak lepas menatap sosok cantik di sebelahnya.
Nero mulai terpancing emosi. Lelaki itu semakin kuat mencengkeram cangkir kopi.
"Eh, kenalin ini om Nero," ucap Tania sembari menunjuk suaminya.
Lelaki itu sekarang malah berpura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal pikirannya entah ke mana.
"Hai, om. Aku Rizal, temen sekolah Tania." Dia mengulurkan tangan.
Nero mendongak dan menyambut uluran tangannya. "Nero. Saya su--"
"Ini om aku!"
Tania memutus kata-kata Nero. Dia menatap Nero dengan tajam, seolah-olah memberi kode bahwa lelaki itu harus merahasiakan hubungan mereka.
Nero mendengkus. Dalam hati berkata, kalau di depan Rizal Tania tidak mau mengakuinya sebagai suami. Namun, kalau di rumah kerap merayunya.
Setelah itu, mereka asik ngobrol berdua. Entah apa yang dibicarakan, Nero sudah tidak memerhatikan. Hatinya panas. Dia seperti obat nyamuk aja bagi dua remaja yang sedang jatuh cinta itu.
"Eh, liatin, deh. Ini loh yang aku bilang sama kamu waktu itu." Rizal menunjukkan sesuatu di ponsel kepada Tania.
"Mana?" tanya Tania penasaran. Gadis itu bahkan menggeser duduknya sehingga semakin rapat dengan Rizal.
Nero menatap Rizal yang tampak senang sekali dengan momen itu. Lelaki memang akan bereaksi jika bertemu dengan wanita yang disukai.
Mereka terus berdiskusi dan mengabaikan Nero. Rizal bahkan mulai berani menyentuh jemari Tania, membuat gadis itu semakin tersipu malu dengan wajah merona. Mereka bertatapan mesra, dengan debar-debar yang semakin kencang.
"Uhuk!" Nero berpura-pura batuk, sengaja ingin mengacaukan momen romantis itu.
Tani dan Rizal terkejut, lalu saling melepaskan tangan. Mereka berpura-pura kembali melihat layar ponsel, padahal dalam hati ketakutan.
Suasana kembali hening. Hingga pembetitahuan bahwa pesawat yang ditumpangi oleh Bram telah tiba.
"Ayo, papa kamu udah nyampai."
Nero mengajak Tania menuju pintu kedatangan. Maksud hati ingin menggandeng lengan sang istri. Apalah daya, harapannya sirna.
"Ayo, Zal."
Tania malah menarik lengan Rizal. Mereka malah bergandengan tangan sembari tertawa senang. Dia malah mengabaikan sang suami yang sedari tadi menahan emosi.
“Awas kau bocah!” rutuk Nero.
Tak lama. Sosok Bram muncul dengan tawa lebar khasnya.
"Papaaa ...." Tania berlari.
Bulan ini Bram memang pergi agak lama dari biasanya. Namun, adegan Tania saat memeluk papanya itu seperti sudah setahun tidak bertemu.
"Princess papa yang cantik."
Bram memeluk putrinya erat. Dia juga merasakan hal yang sama, rindu.
"Sehat, Mas?" Nero menjabat tangan Bram.
"Eh, menantu," jawab Bram santai. Mereka berpelukan erat lalu berbincang sejenak.
Rizal sedari tadi hanya bengong melihat mereka karena tak mengerti apa yang sedang dibicarakan.
"Pa, kenalin. Ini Rizal temen aku," ucap Tania.
"Halo, Om."
Rizal menyapa Bram, lalu mencium tangannya. Sikapnya begitu sopan sehingga membuat respek siapa saja yang melihat.
"Rizal tahun ini masuk FK UI loh, Pa." Tania mulai bercerita.
"Oh, ya? Keren, dong!" Bram memuji. Merasa salut dengan anak muda di depannya ini, yang tahu bersopan santun tetapi juga pintar.
Nero yang mendengar itu menjadi semakin dongkol. Dia merasa tersaingi dengan keberadaan Rizal.
Melihat wajah Nero yang masam, Bram mengulum senyum. Sebuah rencana kini berkelebat di benaknya.
"Iya. Om. Aku dapat beasiswa," jawab Rizal.
Nero tertawa masam dan membuang pandangan. Sementara Tania semakin senang karena berhasil mengenalkan pujaan hatinya.
"Wah. Pasti orang tua kamu bangga. Rizal ini udah ganteng, pinter lagi." Bram sengaja memuji, ingin melihat bagaimana reaksi Nero.
"Ini lagi nungguin papa. Sebentar lagi landing," katanya.
"Kalau gitu boleh kami duluan?" Bram berpamitan.
"Silakan. Om pasti capek mau istirahat."
"Hati-hati ya, Zal," ucap Tania. Tatapan matanya sendu seakan tak rela kalau mereka akan berpisah.
"Bye Tania. Sampai ketemu lagi." Rizal mengedipkan mata.
Bram tertawa melihat ekspresi wajah Nero. Sedangkan putrinya tersenyum senang.
"Ayo, Mas. Kita jalan."
Nero mengambil alih koper. Dilihatnya Bram semakin lemah dengan wajah yang lebih pucat dari sebelum keberangkatan.
Sepanjang perjalanan Tania asyik berbicara dengan papanya. Nero memilih diam dan mendengarkan. Lelaki itu fokus menyetir agar perjalanan mereka selamat sampai tujuan.
Berulang kali Nero menarik napas untuk mengendalikan diri. Apalagi Tania terus-terusan menceritakan anak muda itu. Rizal yang baik, pintar, mantan ketua OSIS, dan jago main basket sampai bisa mendapatkan beasiswa kedokteran.
Orang tua Rizal yang punya perusahaan besar, tetapi anaknya sederhana dan memilih kuliah di Jakarta daripada di luar negeri.
Bram menanggapi obrolan putrinya dengan serius dan ikut memuji Rizal. Perbincangan itu membuat Nero benar-benar gregetan. Beberapa kali dia melirik ke arah mertuanya dengan kesal.
Bram tahu jika Nero mulai cemburu. Dia sengaja membuat suasana menjadi panas, supaya lelaki itu merasa semakin memiliki Tania. Sehingga misinya untuk memiliki cucu segera terlaksana.
Selama ini Nero selalu mengalihkan pembicaraan jika Bram bertanya tentang hal itu. Entah kenapa keinginannya semakin kuat. Apalagi waktu dokter memvonis bahwa kankernya semakin menyebar, sehingga dia harus dirawat lama.
Mulai bulan depan, Bram harus melakukan terapi di rumah sakit terdekat. Dia dilarang bepergian jauh. Sebagai gantinya, dokternya yang akan datang ke Indonesia.
Sampai di rumah, Tania semakim asyik bercerita dengan papanya, juga meminta oleh-oleh. Ini wajib ada. Nero hanya bisa menggeleng melihat kelakuan istrinya. Apalagi sejak tadi dia diacuhkan dan seolah-olah tidak ada.
"Kalian pulang sana. Udah malam. Besok Nero ngantor, kan?" Bram mengusir mereka secara halus.
"Tapi aku kan masih kangen." Tania memeluk papanya manja.
"Kalau gitu nginep di sini aja. Kamar kamu kosong, tuh."
Tiba-tina Tania teringat sesuatu. Dia tidak boleh menginap di sini. Nanti bisa ketahuan kalau mereka pisah kamar. Bisa-bisa papanya marah dan berakibat fatal.
"Kita pulang aja. Ya kan, Om?"
"Terserah kamu," jawab Nero malas.
"Penganten baru memang gitu. Pengen berduaan terus. Biar enggak ada yang gangguin." Bram tersenyum geli.
"Apaan sih, Papa."
"Sana kalian pulang. Bikin cucu buat papa."
Wajah Tania memerah.
Nero bertekad dalam hati. Dia sudah sangat kesal dengan kelakukan Tania di bandara tadi.
“Cucu? Baiklah, Mas. Akan aku kabulkan permintaanmu kali ini," gumamnya.
***
Tania melangkah riang saat memasuki rumah. Hatinya berbunga-bunga. Kepulangan papa dan pertemuan dengan Rizal, membuatnya senang bukan main.
Nero segera mengunci pintu depan dan masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Lalu, dia berjalan menuju dapur. Dilihatnya Tania sedang membuka kulkas dan mengambil buah.
Tania sedang bernyanyi riang, seperti Cinderella yang habis bertemu dengan pangeran impian. Nero berjalan mendekati istrinya dari belakang. Dalam sekali hentak, gadis itu sudah berada di dalam dekapannya.
"Om!"
Tania terkejut hingga buah yang berada di tangannya terjatuh.
"Seneng ya ketemu pacar hari ini?" sindir Nero.
"Rizal bukan pacar aku," jawab gadis itu gugup.
"Tapi romantis, ya. Mesra banget. Pake' pegangan tangan segala. Sampai suami sendiri dicuekin."
Nero menatap Tania tajam dan itu membuatnya ketakutan.
"Enggak, kok. Itu kan cuma--"
"Apa?" tanya Nero membentak.
Wajah Tania berubah. "Om kok marah?"
"Memang suami mana yang gak marah kalau istri ganjen sama cowok lain?" Dia mengeratkan pelukannya.
"Aku enggak ganjen."
"Oh, gitu?" Nero mengangkat wajah Tania dan mendekatkan bibir mereka.
Tania gemetaran. Seumur hidup dia belum pernah bersentuhan seperti ini dengan lelaki manapun.
"Om?"
Tania bingung. Dia belum sempat berucap lain ketika bibirnya sudah disentuh Nero dengan lembut. Gadis itu meronta karena sentuhan pertamanya sudah dicuri. Dia hanya bisa pasrah ketika Nero melakukan hal itu semaunya.
Dengan cekatan, Nero mengangkat tubuh mungil Tania dan menggendongnya ke atas.
"Om. Turunin aku!" Tania meronta, tidak terima diperlakukan seperti ini.
Nero meletakkan istrinya di ranjang, lalu mengunci pintu.
"Om mau ngapain?" Tania ketakutan. Apalagi saat melihat suaminya membuka kaus.
"Mau ngasih papa kamu cucu," jawab Nero santai.
Tania beringsut menjauh.
"Om, jangan." Tania ketakutan dan menolak ketika sang suami mencoba meraihnya.
Nero semakin geram. Penolakan istrinya membuat insting lelakinya semakin bergelora. Ingin menaklukan lawan dan memenangkan pertempuran.