"Hari di mana dirinya merasa tidak nyaman."
***
Hari ini Veni sudah mulai bekerja lagi. Saat dia sampai di meja makan untuk makan bersama ternyata sudah ada Mamanya di sana. Mamanya yang melihat pun bertanya kepadanya.
"Ven kamu jam segini udah rapih banget mau ke mana?"
"Veni udah mulai berangkat kerja, Ma. Soalnya liburnya juga udah selesai."
"Kamu masih berangkat kerja juga?" tanya Mamanya lagi.
"Emm ... iya, Ma. Kenapa?" tanya Veni jadi tidak enak juga melihat tatapan mata Mamanya.
"Pembicaraan tempo hari lagi enggak bikin kamu mikir buat berhenti aja kerja? Mario kenapa istri kamu masih kerja juga." Veni menundukkan kepalanya.
"Ma udahlah masih pagi. Kan Veni juga enggak bisa tiba-tiba dia ke luar karena habis cuti juga, Ma."
"Ya seharusnya bisa lah, Mario."
"Assalamualaikum...." Mereka semua menolak dan menoleh ke arah samping saat seseorang salam.
"Em kenapa?" tanya orang itu yaitu Marvel yang datang bersama Bhiya.
"Kamu ngapain tumben ke sini?" tanya Mamanya dengan nada emm ... bisa dibilang tidak bersahabat. Ini pasti karena Veni. Kenapa Veni jadi may nangis rasanya. Dia ingin segera berangkat kerja jadinya.
"Kenapa si, Ma? Pagi-pagi gini kalian udah tegang banget." Marvel membawa makanannya ke meja makan melewati Mamanya.
"Mama nyuruh Veni berhenti kerja dadakan semaunya lah Veni aja baru berangkat lagi. Masa udah langsung berhenti dan enggak pamit kantor dulu. Padahal, Mama dulu juga ampe punya anak juga Mama kerja."
"Ya karena Mama dulu kuat. Nanti kalau kayak Bhiya keguguran gimana. Mama 'kan juga jaga-jaga ini demi kebaikan kalian. Kenapa jadi pada ngeyel sih."
"Udah, Ma sarapan gih Mario mau aku suruh ketemu client nanti. Kalau debat nanti siapa yang mau nemuin client ini bisa dibahas entar." Marvel sebagai anak tertua membantu Mario agar keadaan tidak tegang dan kita makan Pagi bersama.
"Ah kamu ini, Marvel."
"Udahlah, Ma. Ayo kita sarapan mau sampai kapan Mama marah dan kesal sendiri?" tanya Mario gantian.
"Kamu makanya kemarin bisa ingetin istri kamu."
"Maaf, Ma," jawab Veni. Marvel pun menuntun Mamanya untuk duduk di kursi.
"Yaudah, Mama sekarang kalian makan aku mau berangkat."
"Kamu enggak ikut sarapan?" tanya Mamanya lagi.
"Aku tadi di rumah udah dimasakin Veni sekarang mau langsung berangkat aja, Ma."
"Kenapa? Enggak suka makanan rumah Mama lagi?"
"Astaga aku sama Bhiya udah makan, Ma. Besok aku makan di rumah aku sama Bhiya udah mau berangkat kantor soalnya. Dah, Ma...." Marvel langsung mencium pipi Mamanya dan berlalu dari sana.
Keadaan ruang makan jadi tidak nyaman menurut Veni. Dia merasa bersalah karena tidak menuruti ucapan Mamanya. Tapi, dia juga tidak bisa langsung resign gitu saja terlebih dia juga baru selesai cuti. Rasanya tidak etis dia sudah bekerja lama hingga berada di posisi ini yang membuatnya tidak mudah tapi harus resign.
"Veni, Mama ingetin ya kamu harus secepatnya resign. Mama enggak mau kalau kamu nanti ngeyel sama kayak Bhiya dan jadinya keguguran jadi susah hamil lagi," ucap Mamanya lagi mengingatkannya.
"Ma...." Mario mencoba agar suasana sarapan tidak berubah jadi tidak nyaman sehingga dirinya berusaha untuk mengajak bicara Mamanya tapi Mamanya tetep kekeh agar Veni resign karena tidak mau kalau bayi yang dikandung Veni keguguran nantinya. Dian sudah menginginkan seorang cucu dia sudah senang saat menantu perempuannya hamil tapi saat tiba-tiba keguguran membuatnya kecewa terlebih sampai sekarang dia belum hamil juga. Sedangkan Dian tidak mau hal itu terjadi lagi pada Veni karena Veni tidak may resign kerja.
"Ini terakhir ya, Ven Mama ingetin."
"Iya, Ma kasih Veni waktu. Veni nanti bakal coba bilang sama bos Veni." Dian pun melanjutkan lagi makannya setelah Veni mengatakan hal itu. Keadaan meja makan hening saat mereka makan hanya ada dentingan suara garpu dan sendok yang beradu. Pikiran Veni membuncah ke mana-mana saat makan.
Beberapa saat kemudian mereka selesai makan. Mario dan Veni pun pamit untuk berangkat kerja. Nada Mamanya sudah tidak seperti tadi. Sekarang terdengar sudah ramah.
"Ven kamu pikirin tadi ya, maksud Mama tu baik lagian kerjaan Mario juga mapan kita enggak bakal kekurangan karena kamu resign. Kita masih kaya," ucap Dian mengantarkan Veni dan Mario ke depan.
"Iya, Ma. Veni paham. Yaudah Veni berangkat kerja dulu ya...." Veni berusaha untuk ramah padahal hatinya juga merasa sakit sepertinya. Dia ingin segera berangkat aja saat ini.
"Iya kamu hati-hati ya...."
"Iya, Ma assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam."
"Ma, Mario berangkat dulu ya. Mama di rumah kalau apa-apa enggak bisa minta bantuin pembantu aja."
"Iya. Kamu bujuk lagi si Veni biar mau berhenti kerja nanti kalau telat dikit kayak Bhiya kamu mau kita gagal punya cucu lagi," ucap Mamanya. Mario pun mengangguk. Veni masih mendengar ucapan mertuanya. Rasanya pagi ini Veni ingin pulang saja nanti ke rumahnya.
"Iya, Ma. Yaudah aku berangkat dulu ya...."
"Iya hati-hati," jawab Mamanya.
"Iya, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam...." jawab Mamanya. Mario mengajak istrinya masuk ke dalam mobilnya. Dian langsung masuk ke dalam tidak menunggu Mario dan Veni yang belum sepenuhnya masuk mobil dan berangkat. Itu benar-benar membuat Veni jadi pikiran juga.
Veni jadi berfikir kalau seperti ini ya pantas saja Mbak Bhiya keguguran tapi pasti bukan karena kerjaan pasti karena pikiran juga. Ibu hamil seharusnya mendapat support bukan seperti ini.
"Ven ucapan Mama tadi jangan begitu di dengerin ya."
"Gimana enggak aku dengerin si, Mar. Mama kamu mengulang ucapan yang sama jadi bikin aku pikiran terus," ucap Veni saat mereka sudah masuk ke dalam mobil. Dia mengeluarkan unek-unek yang sejak tadi sudah bertumpuk di dadanya.
"Iya tahu. Tapi, 'kan sebenernya maksud Mama baik. Kita masih mampu bahkan lebih buat mencukupi kehidupan terus ngapain kamu kerja? Mami itu pengen banget punya cucu makanya kayak gitu. Pas tahu si Bhiya keguguran murka lah Mama karena sebelumnya udah dikasih buat Bhiya berhenti tapi ngeyel sekarang Bhiya belum hamil lagi padahal subur katanya," jelas Mario lagi.
"Iya, aku tahu cuma 'kan bisa sabar to, Mar. Toh, aku baru berangkat lagi setelah cuti lama. Bosku masih baik loh ngasih cuti aku lama. Coba aku kerja tempat lain apa bakal dapet cuti selama itu?"
"Iya-iya aku tahu. Udah enggak usah marah-marah nanti dedeknya enggak nyaman. Adek Bundanya ditenangin ya," ucap Mario sambil mengelus perut Veni. Satu tangannya lagi memegang setir. Veni jadi menahan tawa Mario selalu bisa membuatnya tersenyum di saat seperti ini.