"Dia butuh menenangkan pikirannya."
***
Mario sudah sampai mengantarkan Veni ke kantornya. Veni saat hendak turun pun sekalian izin kepada Mario kalau sepulang nanti dia akan bertemu Lea.
"Dah sampai kamu kerjanya yang semangat ya. Jangan capek-capek juga."
"Iya makasih kamu juga. Sama satu lagi aku mau izin nanti pulang enggak usah dijemput—"
"Loh kenapa?" tanya Mario. Padahal, Veni belum selesai berbicara tapi Mario sudah memotongnya. Dia menatap Mario datar lantas berucap, "Aku mau jalan sama Lea. Tadi, dia ngabarin mau jemput aku."
"Ke mana? Naik apa? Sama siapa?" tanya Mario lagi.
"Mall, mobil, udah aku bilang Lea masih aja nanya."
"Salah maksudnya mau ngapain?" tanya Mario lagi.
"Ya orang kalau ketemu mau ngapain? Ya ngobrol lah paling, Mar. Kamu kok jadi banyak nanya si."
"Ya 'kan aku suami kamu jadi banyak nanya."
"Yaudah skip-skip. Nanti aku jadi kesiangan. Udah aku mau turun mau kerja." Mario menarik tangan Veni lagi yang hendak turun.
"Apalagi, Mar?"
"Kamu tahu kesalahan kamu?" Veni menaikkan satu alisnya.
"Apa? Aku enggak ada salah apa-apa kok. Lagian kan aku udah ijin, perginya juga jelas sama Lea. Lea juga kamu kenal. Mall juga, aahhh Mallnya di mana? Daerah xxxx kamu tahu 'kan? Kalau enggak percaya kamu ke sana aja. Lagian aku pergi sama Lea. Kalau jadi pasti juga aku izin kamu lagi kok. Biasanya juga kamu bolehin masa gini aja salah," jelas Veni panjang lebar. Mario menggelengkan kepalanya. Padahal, yang mau dimaksud bukan itu.
"Kamu udah salim sama suami kamu?" tanya Mario menatap Veni datar. Seketika Veni pun jadi salah tingkah sendiri. Dia lupa untuk Salim kepada suaminya.
"Hehe lupa." Veni lantas menarik tangan suaminya untuk salim. Padahal, dia kira tadi dia akan kena oceh karena cuma jalan dengan Lea.
"Yaudah aku masuk dulu ya...."
"Eits ... bentar."
"Astaga, Mario apalagi ish nanti aku telat."
"Iya makanya kamu sabar dulu." Veni menarik napasnya sabar. Mario lantas menyejajarkan kepalanya dengan perut Veni.
"Anak papa nanti yang pinter ya, Mamanya dijagain, Papa kerja dulu, boy."
"Boy? Kan kita belum tahu anaknya nanti laki-laki atau perempuan."
"Ya gapapa aku pengen anak laki-laki aja. Nanti kita konsultasi ke Dokter biar dapet anak laki-laki."
"Emm ... tapi kan takdir selalu jadi pemenangnya. Nanti kalau Allah ngasih ya perempuan gimana?" Mario terdiam, "Udah kamu masuk gih kerja kamu nanti telat. Kalau jalan sama Lea izin aku dulu. Habis itu juga jangan lupa bilang sama bos kamu kalau mau resign gimana caranya."
Veni pun menatap datar Mario, "Yaudah iya. Aku turun dulu."
"Heem." Veni lantas turun dari mobilnya. Setelah melihat Veni masuk. Mobil Mario lantas meninggalkan Veni dari kantornya.
***
Mario sampai di kantornya. Marvel sudah berkacak pinggang melihat adiknya yang baru datang.
"Mario lo ke mana aja sih. Kita kan ada pertemuan di luar." Mario menengok jammya dia tahu aturan dia berangkat pukul delapan sekarang sudah pukul setengah sembilan ah pantas saja kakaknya itu sudah marah-marah.
"Sorry-sorry tadi gue anter Veni dulu."
"Hmmm...."
"Yaudah ayo berangkat katanya telat kenapa malah diem?"
"Dia minta undur besok jam makan siang. Dan awas aja lo berulah lagi yang telat lah inilah awas lo!"
"Iya-iya sorry namanya juga lupa manusiawi lah."
"Untung ini bukan project yang besar ya, Mar. Kalau besar dan lo kayak gini bisa-bisa bubar tahu enggak!" Mario tidak menggubris kakaknya dan berlalu ke meja kerjanya. Marvel hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya itu. Tapi, dia berusaha untuk sabar dan tidak marah karena bagimanapun adiknya juga.
***
Jam istirahat Veni menelepon Lea. Untuk memastikan apa nanti jadi pergi atau tidak. Karena dia sudah ijin kepada Mario untuk pergi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Apa, Ven?"
"Jadi pergi kan nanti kita?"
"Iya jadi kok. Mau di mana?"
"Ya lihat aja nanti dulu. Jemput kamu di kantor kan, Ven?"
"Iya."
"Yaudah nanti gue telepon lagi ya masih ada kerjaan nih."
"Emm ... okay."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Veni mematikan teleponnya saat Lea mengatakan kalau dirinya ada kerjaan.
"Ven, Pak Bos ke mana ada meeting? Kok dari pagi enggak ada?" tanya rekannya bernama Tia.
"Enggak kok. Katanya sih tadi mau masuk."
"Iya tapi dari pagi belum datang ya?" tanya Tia.
"Heem aku tadi juga ngerjain proposal dia belum ada di ruangan."
"Ven ... Ven denger-denger tu Pak Bos kayaknya suka kamu deh. Apalagi dia belum nikah. Padahal, dulu aku ngeship kalian berdua."
"Mana ada aku sama Pak Bram ada hubungan kita cuma atasan sama bawahan."
"Eh tapi, Ven apa kata Tia bener loh. Orang pas kamu enggak masuk lama hampir sebulan kan kamu enggak masuk Pak Bram tu uring-uringan aja. Kayak kita enggak ngelakuin kesalahan fatal tapi diomelin juga," ujar Dea. Di depan mereka. Jadi posisi Veni kini sedang berada di ruang kerja yang meja panjang dengan sekat beberapa dan ada laptop di depannya. Paham enggak sih? Pokoknya kayak gitu dah kayak ruang kantor biasanya.
"Maksudnya?"
"Ya itu, Pak Bram kayaknya emang suka sama lo. Dia aja nikahan lo enggak dateng kan?" tanya Dea lagi.
"Ya 'kan Pak Bram emang lagi ke luar kota," jawab Veni. Memang atasannya itu dia undang tapi beliau berhalangan hadir karena suatu acara. Sehingga dia tidak datang. Tapi, Veni ya menganggap memang sedang ada acara di luar.
"Aneh enggak sih? Kemarinnya Veni umumin nikahnya terus langsung dia enggak dateng." Dea lanjut lagi.
"Ya lagian 'kan emang Veninya juga dadakan nikahnya. Veni yang enggak pernah deket sama siapa-siapa terus dianter jemput cowo berapa minggu kemudian langsung nikah. Enggak ada persiapan sebulan gitu padahal nikah kan aturan persiapannya banyak," kata Dewi menyahut yang memang dia selalu tidak suka dengan Veni.
"Ya namanya juga cowonya kaya, Dew. Ya persiapan gitu enggak harus ribet lah tinggal nyuruh orang toh duit sekarang bisa ngegampangin semua urusan kok," ujar Tia membela Veni.
"Tapi ya aneh aja. Atau Tek dung duluan?" Pertanyaan Dewi barusan benar-benar membuat Veni langsung menengok ke arah Dewi. Astaga ucapan Dewi itu benar-benar menyinggungnya. Tapi, dia hanya bisa diam. Dia tidak ingin membalas ucapan Dewi.
"Emang iya, Ven?" tanya Riska lagi. Padahal, hal itu benar-benar tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan.
"Dew kamu bicara itu emang ada faktanya? Kamu ada buktinya kalau aku emang beneran hamil duluan makanya nikah duluan? Kamu aja yang udah tiga puluhan belum nikah juga apa enggak ada yang mau?" sindir Veni gantian. Rekannya yang mendengar ucapan Veni langsung menengok ke arah Veni. Selama ini jika Veni disinggung teman kantornya dia hanya diam saja atau dia langsung masuk ke ruangannya. Karena biasanya jika dia disindir pasti dia diam saja.
"Veni maksud lo apa?! Mentang-mentang lo udah nikah terus lo ngejek gue yang belom nikah gitu?!" Dewi langsung saja bangkit dan menuju ke Veni. Tia yang berada di samping kanan Veni langsung menghalangi Dewi yang mau langsung menampar Veni.
"Kenapa? Apa yang aku ucapin bener?"
"Lo enggak usah sok tahu ya, Ven!"
"Enggak enak kan dituduh kayak gitu? Terus apa dasar kamu tadi ngomong aku hamil duluan padahal kamu juga enggak punya bukti apa-apa," ucap Veni tetap tenang di tempat duduknya.
"Kalo lo enggak kayak gitu ya enggak usah Hina gue balik!" Veni tertawa meremehkan. Orang-orang sudah melihat perdebatan mereka. Dea mengelus pundak Veni. Walaupun, Dea tahu Veni tetap tenang tapi, Dea yakin Veni sedang menahan amarahnya.
"Kenapa emangnya? Aku kan cuma ngomong aja enggak ada nuduh atau apa atau apa yang aku omongin bener ya, Dew?" Dewi dengan cepat menarik hijab yang dipakaian Veni. Tia kelolosan sehingga gadis itu dengan cepat menarik kepala Veni.
"Dewi udah."
"Lo itu jangan mentang-mentang udah nikah sama orang kaya jadi sombong lo! Jangan mentang-mentang lo sekretaris Pak Bram lo bisa seenaknya!" Veni tetap berusaha mempertahankan hijab yang ditarik Dewi. Orang-orang berusaha memisahkan mereka berdua tapi Dewi tetap saja menyerang Veni.
"ADA APA INI?!" ucap seseorang dengan tegas. Dewi pun menghentikkan jambakan tangannya dari kepala Veni. Dia menoleh ke belakang ada Bosnya di sana. Sedangkan yang lainnya mulai berpencar ke meja kerjanya masing-masing.
"Pak Bram...." ucap Dewi panik. Veni membetulkan kerudungnya lantas bangkit dan menundukkan pandangannya.
"Ada apa kalian ini?! Ini di kantor kenapa kelakuan kalian bar-bar sekali! Kalau ada client yang lihat gimana?!" ucap Pak Bram dengan tegas dan dengan nada mengamuk. Dia kesal dengan kelakuan karyawannya yang bar-bar itu.
"Ma ... maaf, Pak," ucap Veni terbata-bata.
"Maap, Pak tapi Veni yang duluan ngatain saya mentang-mentang dia udah nikah," unjuk Dewi kepada Veni. Veni melihat ke arah Dewi tidak terima ingin sekali mengatakan lagi bahwa Dewi lah yang memulai tapi dia lebih memilih mengalah. Biarkan saja apa yang dilakukan Dewi itu. Dasar pencitraan!
"Kalian ikut saya ke ruangan. Kamu juga Veni seharusnya kamu ada di ruangan kenapa kerja di sini. Tempat kamu kan bukan di sini!" ucap Pak Bram.
"Maaf, Pak." Dewi melihat Veni yang kena omelan akhirnya pun tersenyum meremehkan. Pak Bram berjalan duluan ke ruangannya.
"Rasain lo!" ucap Dewi kepada Veni. Veni tidak membalasnya dia membiarkan saja Dewi berlaku seperti itu. Padahal, dia juga kesal.
Dewi berjalan ke ruangan Pak Bram lebih dulu. Veni membereskan alat-alatnya lebih dulu. Membawa laptop ke ruangannya.
"Sabar ya, Ven...." ucap Tia di sampingnya.
"Kesel tahu, Ti. Bisa-bisanya dia pencitraan gitu. Jelas-jelas dia duluan tadi yang bilang aku hamil duluan ya jelas aku enggak terima lah." Veni membereskan alat-alatnya dengan kesal.
"Yaudah biarin aja lagian kan kita tahu sendiri dia itu gimana. Udah biasalah kalau dia kayak gitu. Kamu sabar aja." Veni pun mengangguk menarik napasnya dalam. Dia pasrah kalau nanti dia juga kena marah Pak Bram atau sampai di keluarkan karena memang dia juga ingin ke luar dari kantor ini hanya saja menunggu moment yang pas untuk berbicara.
"Semangat, Ven semoga aja enggak ada masalah," ucap Dea juga mengingatkannya.
"Iya, makasih ya aku mau ke ruanganku dulu juga." Mereka mengangguk menyemangati Veni. Karena menang Dewi itu senior juga di sana dan kadang suka seenaknya jadi jika bermasalah sama dia lebih baik diam saja atau akan seperti ini.
***
Veni sampai di ruangannya. Dewi sudah berdiri di meja Pak Bram saat Veni masuk. Veni yang membawa laptop dam beberapa dokumen pun menaruh barangnya di meja kerjanya lebih dulu. Setelah itu baru dia menyusul di samping Dewi.
Setelah kedatangan Veni, Dewi yang sudah sejak tadi di sana berdiri dan Veni yang baru datang pun Pak Bram baru menyuruh mereka duduk.
"Duduk kalian berdua." Dewi memandang Veni kesal. Jadi, dia baru dipersilahkan duduk saat Veni datang padahal sejak tadi dia berdiri.
"Baik, Pak," jawab Veni.
"Baik, Pak," jawab Dewi gantian.
"Apa yang kalian baru lakukan tadi?! Ini kantor bukan pasar buat kalian ribut!"
"Iya, Pak saya minta maaf," ucap Veni.
"Iya, Pak saya juga minta maaf. Lagian ini semua salah Veni dia yang duluan enggak sopan sama saya. Bapak 'kan tahu kalau saya di sini lebih lama masa dia bisa-bisanya enggak sopan bilang saya enggak nikah-nikah dan enggak ada yang mau!" ucap Dewi merasa paling tersakiti.
"Apa bener kayak gitu, Veni?" tanya Bram gantian kepada Veni.
"Iyakan, Ven jawab! Kamu tadi ngatain aku duluan mentang-mentang kamu sekretaris Pak Bram kamu mau nyari pembelaan gitu?"
"Dewi saya tanya Veni kamu diam," ucap Bram dengan tegas.
"Baik, Pak," jawab Veni ciut. Dia pun menundukkan pandangannya.
Kini gantian Veni yang mengangkat kepalanya, "Saya emang ngomong kayak gitu, Pak. Tapi, itu karena Mbak Dewi duluan yang bilang saya hamil duluan makanya nikahnya cepet padahal enggak ada kayak gitu."
"Dih aku enggak bilang kayak gitu. Kamu aja yang sensi lagian apa salahnya juga kalau cuma ngomong kalau enggak ya udah kenapa harus marah?"
"Mbak Dewi juga kenapa harus marah kalau emang enggak? Kan jadi impas."
"Kamu itu enggak sopan! Kamu sama saya itu duluan saya terus kamu bilang kayak gitu emang kamu pikir kamu siapa bisa seenaknya."
"Cukup-cukup ini di depan saya dan kalian masih bisa berantem kayak gini! Kalian punya etika enggak?! Saya ini bos kalian!" teriak Pak Bram kepada mereka berdua.
"Maaf, Pak," jawab Veni.
"Maaf, Pak," jawab Dewi juga.
"Dewi kamu memang senior di sini tapi perilaku kamu itu enggak mencerminkan yang baik. Kamu saya scors seminggu enggak usah kerja dan gaji kamu juga saya potong 50%."
"Hah?! Pak, Bapak enggak bisa kayak gitu dong. Ini yang salah Veni kenapa yang kena sanksi saya doang."
"Veni enggak akan mulai kalau bukan kamu duluan yang mulai. Saya tahu."
"Pak jangan mentang-mentang dia sekretaris Bapak jadi bapak bisa seenaknya saya aja yang dikasih sanksi." Dewi jelas tidak terima dia sudah di scors gajinya bakal dipotong segitu banyaknya karena masalah ini pula. Apa seistimewa itu Veni.
"Kamu melakukan ini bukan cuma sekali, Dewi. Kamu hampir semua karyawan kamu ajak berantem dan kali ini sudah saat yang tepat untuk saya menegur kamu."
"Tapi, mereka duluan yang mulai mereka itu masih junior tapi enggak sopan sama senior."
"Kamu cuma saya scors dan gaji dipotong ya, Dew bukan saya keluarkan tapi kalau kamu membantah Maka saya akan mengeluarkan kamu tidak peduli kamu lebih lama di sini atau tidak!" ucap Bram final.
"Terus apa yang bakal Veni dapetin? Enggak adil dong kalau cuma saya aja."
"Veni gaji kamu saya potong juga 20%"
"Loh kok cuma 20% sedangkan saya 50%." Lagi-lagi Dewi membantah padahal sejak tadi Veni hanya diam saja. Kalaupun tadinya dia sama dapat sanksinya seperti Dewi itu malah kesempatannya untuk dirinya resign dari pada dia juga harus berdebat di rumah dengan keluarga suaminya.
"Dewi kamu mau saya keluarkan?" Dewi pun akhirnya mengalah dan diam walaupun dirinya tidak terima dan hatinya kesal setengah mati.
"Pak biar saya aja yang dikeluarkan," ucap Veni.
"Halah mulai pencitraan di depan bos. Dasar penjilat," sindir Dewi tapi masih di dengar oleh Veni.
Dalam hati Veni berucap, "Penjilat ngomong penjilat dasar nenek-nenek," batin Veni.
"Tidak, Veni yang salah Dewi yang buat masalah duluan Dewi jadi dia yang seharusnya dikasih sanksi kalau enggak dia bakal gitu terus nanti," ucap Pak Bram. Terdengar berbeda ucapan Pak Bram dengan Veni. Itu yang membuat Dewi kesal. Tapi, di sini yang salah pun Dewi. Sehingga dia seharusnya yang tidak marah.
"Tapi, dari pada Mbak Dewi enggak nyaman kalau saya di sini sedangkan potongan gaji beliau juga lebih banyak saya yang baru jadi merasa sungkan."
"Saya yang milih kamu jadi sekretaris saya karena kerjaan kamu bagus. Bukan seberapa lama mereka yang kerja di sini. Jadi, keputusan saya tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun." Ucapan Pak Bram tidak bisa dipungkiri kalau dia benar-benar membuat Dewi kesal.
"Tapi, Pak—"
"Sudah kalian kembali ke meja kerja kalian. Kamu Veni kirimkan proposal-proposal yang kemarin saya suruh kamu buat." Pak Bram langsung memotong ucapan Veni. Dewi dan Veni pun bangkit.
"Baik, Pak." Jawab mereka berdua bersamaan. Saat ke luar dari ruangan Pam Bram Dewi memandang Veni tidak suka. Tapi, Veni tidak peduli dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
***
Sore harinya Veni menunggu Lea menjemputnya. Tadi, Lea mengatakan kalau dia sudah otw tapi belum sampai sepertinya memang macet apalagi jam pulang kerja.
"Eh, Veni emang bener, Dewi di scors?" tanya Tia dan Dea yang baru ke luar dari kantor. Veni menengok ke arah mereka.
"Emm ... iya."
"Terus gajinya dipotong juga?" tanya Dea gantian.
"Emm...." jawab Veni lagi dengan mengangguk.
"Terus lo juga kena dipotong kan tapi enggak sebanyak dia?" tanya Tia lagi.
"Kalian tahu dari mana?" tanya Veni langsung memang apa yang mereka katakan itu benar. Tapi, mereka itu tahu dari mana. Padahal, Veni pun juga belum mengatakan kepada siapa-siapa juga.
"Tadi si Dewi itu loh ke luar ngedumel aja. Dan enggak terima lo malah dibilang simpenannya Pak Bram karena gaji lo dipotong dikit dan enggak discors. Dia enggak terima gitu."
"Astagfirullah. Sejak kapan aku jadi simpenan. Dewi tu bener-bener ya mulutnya." Veni kesal dengan kelakuan Dewi yang menyebar gosip. Coba bagi orang yang tidak tahu pasti akan menganggap itu benar.
"Makanya itu dia kalau udah enggak suka ama orang pasti nyebar gosipnya enggak tanggung-tanggung ga si sebel banget aku juga." Dea pun setuju dengan kata-kata Veni.
Beberapa saat kemudian ada yang memanggil Veni membuat mereka bertiga menoleh. Ternyata, Lea yang sudah menjemputnya.
"Veni...." teriak Lea.
"Ah ya sebentar," jawab Veni.
"Aku pulang dulu ya, De, Ti."
"Eh dijemput siapa tuh, Ven kayaknya bukan suami lo?" tanya Dea.
"Iya bukan itu temen aku mau Jalan dulu soalnya."
"Oalah yaudah hati-hati ya."
"Iya kalian juga hati-hati ya. Aku duluan. Assalamualaikum," pamit Veni pulang duluan.
"Waalaikumsalam...." jawab mereka berdua bersamaan. Setelah itu dia pun segera menyusul Lea di mobilnya.
"Sebenernya tu Veni baik ya tapi ada aja orang yang enggak suka sama dia heran," ucap Tia setelah kepergian Veni.
"Heem. Tapi, yaudahlah yang penting kita enggak kayak mereka," jawab Dea lagi.
"Yaudah yuk pulang."
"Yuk."
***
Veni masuk ke dalam mobil Lea, "Hey, Le," sapa Veni saat masuk ke dalamnya.
"Lama ya lo nunggu?"
"Enggak sih soalnya tadi diajak ngobrol sama temenku juga jadi enggak kerasa. Tahu-tahu kamu udah dateng aja."
"Hmm gitu."
"Jadi kita mau ke mana?"
"Ke Mall aja soalnya mau ke mana lagi. Lo lagi hamil entar gue ajak jalan-jalan diomelin suami lo."
"Oiya astaga, Le aku belum bilang lagi kalau aku jadi pergi sama kamu. Tapi, tadi pagi udah bilang sih."
"Yaudah buruan telepon nanti keburu suami lo ke kantor dikiranya lo enggak jadi dia malah jemput lo."
"Heum." Veni mengeluarkan ponselnya dari tas. Veni adalah tipikal orang yang kadang malas megang hp terlalu lama jadi kadang dia megang ponsel hanya kalau dirinya butuh informasi saja.
"Bener kan, Le udah ditelepon dua puluh menit yang lalu aku lupa HP ku masih geter."
"Hmmm dah apal kebiasaan lo." Veni terkekeh lantas dia pun menelepon suaminya balik.
Beberapa saat kemudian panggilannya diangkat oleh sang suami. Dia pun dengan segera mengatakan kalau dirinya sudah pergi dengan Lea.
"Assalamualaikum, Mar."
"Waalaikumsalam, kamu ke mana aja, Ven dari tadi aku telepon enggak kamu angkat aku chat juga enggak kamu bales."
"Hehe ... iya maaf, Mar aku baru pegang HP ini. Aku jadi pergi sama Lea, Mar. Jadi, kamu enggak usah jemput aku gimana?"
"Kamu mau pergi ke mana?"
"Mall biasanya kayaknya si, Mas enggak bakal jauh-jauh kok."
"Yaudah kalau udah selesai biar aku jemput kamu aja."
"Eh enggak usah kan aku udah sama, Lea, Mar."
"Nanti kalau kamu di wawancara Mama mau? Kalau sama aku kan biar aku yang jawab kalau kita habis ke luar."
"Emm ... iya juga ya. Yaudah deh. Tapi kamu enggak ikut aku 'kan?"
"Gak. Aku nanti tunggu kamu selesai aja dan aku juga jalan sama temenku."
"Oh oke."
"Kamu enggak nanya aku jalan sama siapa? Cewe atau cowo gitu?"
"Buat apa?"
"Yaudahlah. Dah gih sana nikmatin aja jalan kamu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Veni mengerutkan keningnya. Aneh sekali lagian untuk apa dia nanya harus jalan sama siapa memangnya penting? Kalau memang mau Jalan ya jalan aja.
"Ahahahaha...." Lea tertawa ngakak mendengar telepon mereka. Kebetulan tadi memang Veni teleponnya suaranya kedengeran oleh Lea.
"Kenapa kamu, Le ketawa?" tanya Veni bingung setelah mengangkat teleponnya.
"Kalian tu lucu tahu enggak."
"Lucu kenapa?"
"Pertama ya, lo masih aja manggil Mario padahal udah mau punya anak masa nanti lo manggil suami di depan anak lo nama si enggak ada romantisnya hahaha ... dan yang kedua suami lo udah ngode nanya jalan siapa tapi lo jawabnya buat apa. Ngakak anjay...." ucap Lea tertawa puas. Veni malah mengerutkan keningnya bingung. Lalu lucunya itu di mana. Bahkan Veni bingung harus ketawa atau tidak.
"Ven, Plis deh...." Lea berhenti tertawa San menatap Veni datar.
"Aku enggak tahu harus respon apa. Lucunya tu di mana kamu sampai ngakak gitu? Aku jadi bingung."
"Gue masih bingung si jujur aja kenapa bisa temenan, Ven," jawab Lea lagi dengan datar. Lagian bisa-bisanya Lea tertawa ngakak dan Veni hanya diam saja. Kebayang ga si kita ketawa ngakak karna lucu tapi temen kita enggak ketawa padahal itu lucu. Mungkin jokes kita enggak sama tapi plis ya kenapa kita bisa temenan. Lea harus benar-benar sabar meresponnya.
"Ya karena kita sefrekuensi maybe."
"Mana ada kita sefrekuensi. Aku ketawa ngakak dan kamu diem aja. Plis ya ini enggak cuma terjadi sekali loh bahkan berkali-kali."
Veni gantian tertawa sedangkan Lea yang gantian terdiam. Lihatkan mereka selalu tertawa di saat yang berbeda. Tapi, kenapa mereka masih berteman sejak saat ini padahal sudah lama dan kadang Lea kesal sendiri. Berbeda dengan Veni yang santai saja saat dia tertawa ngakak tapi Lea diam saja.
"Tawa apa, Le. Lucu tahu kamu tu ah...."
"Plis ya, Ven tadi aja yang lebih lucu lo enggak ketawa masa cuma garing kayak gini lo ketawa. Sumpah pengen nangis gue jadinya." Veni tertawa lagi sedangkan Lea hanya menggelengkan kepalanya. Sudah biasa hal ini terjadi. Jadi, dia sudah tidak heran. Tapi, dulu teman sekolah mereka mengira enak karena bisa sama padahal tidak gitu juga. Tapi, perbedaan inilah yang membuat mereka jadi bisa berteman dari dulu. Dia mengenal Veni jauh begitupun dengan Veni yang mengenalnya. Kadang lucu juga pertemanan mereka.