"Jujur itu sangat menyakitkan tapi terkadang kejujuran itu diperlukan."
***
"Veni kamu udah nikah?" tanya Bario terkejut saat laki-laki itu mengenalkan dirinya sebagai suami Veni. Veni melihat ke Mario. Mario hanya menatap Veni datar. Entah kenapa padahal dia tidak tahu apa-apa.
"Iya,Bar. Ini suami aku Mario." Veni mengenalkan Mario kepada Bario. Bario yang mendengarnya terkejut kala Veni mengenalkan laki-laki tadi sebagai suaminya.
"So? Dengerkan Veni bilang apa? Jadi, jangan deket-deket sama Veni lagi karena dia udah punya suami," ucap Mario.
"Mario jangan gitu ah."
"Ayo pulang." Mario berjalan lebih dulu mengajak Veni pulang dengan nada dingin.
"Bario maaf ya. Aku pulang dulu. Sampai ketemu nanti." Setelah mengucapkan itu Veni lantas pergi dari hadapan Bario. Bario merasa hatinya sesak kala mengetahui Veni sudah menikah. Dirinya yang memilih ikut pindah rumah dengan keluarganya pun jadi menyesal padahal dia rela menyelesaikan sekolah kedokterannya dengan sungguh-sungguh agar cepat selesai dan kembali untuk Veni tapi perempuan yang mengisi relung hatinya itu kini sudah menikah.
"Mas ... Mas mau beli enggak? Kalau enggak beli jangan ngadangin warung saya." Bario pun tersadar kala ada seseorang yang berbicara dengannya sedikit keras.
"Ah ya. Nanti saya balik lagi ya, Bu. Saya lupa mau beli apa soalnya."
"Ah gimana sih. Berdiri doang depan warung tapi enggak belanja." Bario tersenyum malu. Karena mengetahui Veni sudah menikah dia jadi benar-benar lupa harus membeli apa tadi.
***
Mario berjalan di depannya. Veni juga tidak berniat memanggilnya jadi dia tetap berjalan santai saja di belakang Mario. Mario yang di depannya sudah gemas ingin bertanya siapa laki-laki tadi. Dia kira Veni akan mengejarnya tapi kenapa wanita itu malah jalan santai di belakangnya. Ah, dia lupa gadisnya itu 'kan dingin sedingin kutub utara yang kadang berbeda dengan wanita yang pernah dia dekati.
Mario pun akhirnya mengalah untuk menengok ke belakang. Veni malah santai-santai saja berjalan membuat Mario mendengus.
"Kenapa, Mar?" tanya Veni dengan raut wajah yang polos. Ya, memang polos 'kan? Memang harusnya gimana?
"Kamu enggak peka banget sih, Ven."
"Enggak peka kenapa?" tanya Veni lagi.
Mario menarik napasnya berusaha sabar padahal hatinya sudah kesal dengan Veni. Bisa-bisanya perempuan itu dengan santai ya ngobrol dengan pria lain. Eh tapi kan dia juga tidak cinta dengan Veni ahhh tapi Veni masih istrinya jadi ya haknya mau ngapain juga.
"Kenapa, Mar?" tanya Veni lagi.
"Gapapa." Mario berusaha menahan amarahnya saja dan mulai berjalan lagi. Veni hanya menghendikkan bahunya acuh dan berjalan lagi.
Sampai di rumah Mario sebenernya masih merasa kesal. Hingga Veni masuk ke rumah dengan santai.
"Lama banget sih, Ven beli s**u aja. Kamu beli s**u di mana?" tanya Uminya yang melihat anaknya baru pulang. Dirinya sampai sedang menyiram tanaman Dan masakan yang tadi sudah dimasaknya.
"Beli di warung umiteteh kayak biasa kok, Mi kenapa?"
"Lama banget sampe Umi udah selesai masak kamu baru pulang."
"Emang lama banget ya, Mi? Terus Umi sama Abi udah makan?" tanya Veni lagi.
"Udah. Kamu kalau mau makan, makan aja sana ajak suami kamu juga sekalian dibikinin s**u jangan lupa kamu beli enggak dibikin buat apaan."
"Iya, Mi."
"Abi ke mana, Mi?" tanya Veni lagi sebelum masuk ke dalam.
"Abimu ke rumah Pak Rt tadi dipanggil."
"Ngapain?"
"Gatau." Veni mengangguk lantas masuk ke dalam.
"Masuk ke dalam dulu ya, Mi," ucap Mario pamit dengan sopan.
"Iya, nak. Jangan lupa makan ya udah mateng semua di belakang ajak Veni juga. Dia kalau enggak disuruh makan pasti enggak makan."
"Iya, Mi." Mario lantas masuk ke dalam menyusul Veni. Di belakang Veni sedang membuatkan s**u untuknya. Mario berjalan mendekati Veni.
"Tadi siapa si, Ven?" tanya Mario mengalah sedari tadi dia sudah kesal dengan Veni yang malah biasa aja.
"Temen kecil aku. Kenapa?"
"Deket ya sama kamu?"
"Iya dulu ke mana-mana emang bareng Bario. Sekolah juga padahal sekolah dia mas smp beda sama aku berlawanan juga arahnya tapi tetep aja nganterin. Ya aku seneng aja lumayan ngirit ongkos. Soalnya dulu Abi masih ngajar kalau berangkat juga pagi Veni belum bangun," jelas Veni lagi.
"Kan bisa bangunnya pagi."
"Abi kalau berangkat subuh ngapain aku ikut berangkat subuh, Marioooo. Planga-plongo aku di kelas. Mending tidur di rumah."
"Ya mengulang materi kan bisa."
"Hadeuh, Mario iya tahu kamu lebih pinter dari aku tapi enggak usah nyuruh aku pinter-pinter juga."
"Ck enggak gitu. Kenapa harus bareng Bario. Kenapa enggak jalan atau naik angkutan umum kan bisa." Veni mengerutkan keningnya.
"Apa?" tanya Mario saat Veni memandangnya serius.
"Kamu cemburu ya...." goda Veni lagi. Mario mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Ngapain aku cemburu. Dulu aku juga punya cewe." Veni langsung menatap Mario datar padahal niatnya tadi menggoda suaminya tapi malah dirinya yang kesal.
"Iya. Percaya playboy mah cewenya banyak. Cakep-cakep, seksi-seksi pasti." Veni langsung membalikkan badannya kesal dan mengarahkan ke lain arah. Dia menaruh s**u Mario tadi di meja. Setelah itu dia membuka tudung saji untuk melihat masakan orang tuanya.
"Maksud aku enggak gitu. Anu."
"Anu apaan? Kan emang bener ngapain si milih aku padahal kita baru kenal kenapa kamu malah milih aku?!"
"Ya jodohnya kamu." Veni memutar bola matanya kesal.
"Yaudah, Ven mereka kan masa lalu aku. Kamu masa depan aku."
Veni tersenyum tapi tidak dengan memandang Mario. "Iyakan. Udah ah jangan kesel gitu."
"Ngapain aku kesel."
"Ck. Yaudah ayo makan."
"Aku ambilin makan kamu aja ya. Aku belum laper, Mar."
"Makan, Veniii. Kalau kamu enggak makan aku juga enggak makan."
"Hihhh ... emang ya nama kalau Mario itu pasti menyebalkan. Dahlah ayo aku juga makan." Mario tersenyum dia duduk lebih dulu Veni mengambil piring setelah itu mengambilkan makanan untuknya dan mereka makan bersama.
***
"Umi...." panggil Veni saat melihat Uminya sedang nonton tv.
"Kenapa, Ven?"
"Umi lagi ngapain?"
"Nyuci." Veni terkekeh mendengarnya.
"Kok nyuci di depan tv?"
"Ck. Kamu 'kan udah lihat Umi lagi nonton tv pake nanya lagi."
"Ya 'kan aku basa-basi, Mi."
"Kenapa?" tanya Uminya lagi. Veni hanya menggelengkan kepalanya lalu duduk dan memeluk tangan Uminya dan bersandar di pundak Uminya.
"Dulu Umi nikah sama Abi ketemunya gimana?" tanya Veni.
"Kok tumben nanya gitu?"
"Ya biar Veni tahu aja."
"Emmm ... dulu Abi yang ngejar-ngejar Umi. Umi 'kan enggak boleh pacaran."
"Hm terus?"
"Abi nikahin Umi saat Umi masih sekolah. Lagi ujian waktu itu."
"Wah kok bisa?"
"Iya, setelah Umi bilang enggak boleh pacaran. Abi langsung cari cara buru-buru buat nikahin Umi."
"Dulu Abi udah mapan ya?"
"Belum. Dulu Abi juga sama masih sekolah. Tapi, dia berani yakinin kedua orang tua Umi untuk mencukupi kebutuhan Dan menikah saat kita masih sekolah. Wkwkw ngebet banget ya Abi kamu."
"Pantes Umi masih cantik padahal Veni udah nikah."
"Alah kamu ini cantikan anak Umi lah."
"Hmmm ... jadi itu juga ya yang buat Umi nerima Mario buat jadi suami Veni karena dulu Abi melakukan hal yang sama? Dan Umi beranggapan Mario akan jadi seperti Abi yang bertanggung jawab?"
"Hmm ... iya. Lagian kamu juga udah berumur dan Umi takut sewaktu-waktu Umi atau Abi enggak ada dan kamu belum menikah. Kita mau mengantarkan kamu dengan orang yang tepat, Ven. Dan sepertinya Mario memang orang yang tepat." Veni tersenyum.
"Kamu memangnya masih belum ada rasa sama Mario?" Veni menggelengkan kepalanya, "Rasa apa? Cinta? Maybe no but I'm enjoy with him."
"Yaudah toh kalian bakal hidup terus bersama pasti nanti makin lama kamu juga sayang sama Mario...."
"Emang dulu Umi gitu?"
"Yaps...." Veni tersenyum dia berharap kisah cintanya akan sama seperti Uminya. Dia ingin Mario seperti Abinya yang tidak pernah menyakitinya. Keluarganya sangatlah sempurna menurut Veni Dan dia berharap Mario akan menciptakan keindahan yang lebih untuk mereka.
"Semoga aja Mario bisa menciptakan kesempurnaan yang lebih untuk Veni dan anak-anak Veni ya, Mi. Kayak Abi sama Umi...."
"Aamiin..." Uminya mengelus kepala anaknya dengan sayang.
Dari jauh Mario melihat kedekatan mereka berdua. Entah kenapa hati Mario merasa salah sudah bermain-main dengan pernikahan. Veni berharap Pernikahannya seperti keluarganya tapi dia hanya menjadikan Veni sebagai pelampiasan. Dia masih ingin Bhiya kembali ke hidupnya. Dia akan menerima Bhiya lagi walaupun Bbiya seorang janda dan itu bekas dari Kakaknya. Tapi, rasa cintanya tidak bisa dipungkiri kalau Bhiya harus tetap menjadi miliknya.
***
Sore hari Veni setelah mandi, Mario mengajak Veni untuk pulang. Veni pun mendesah baru sehari dia menginap di rumah orang tuanya.
"Ven pulang yuk."
"Yahhh ... baru sehari."
"Kamu masih mau di sini? Kalau masih mau di sini enggak papa. Nanti kalau mau pulang aku jemput."
"Kamu enggak betah ya di rumah orang tua aku?"
"Bukan gitu aku cuma aku kasihan aja Mama di rumah enggak ada temannya. Apalagi nanti aku mulai ke kantor juga 'kan."
"Emmm ... yaudah kalau kamu pulang aku ikut pulang aja juga."
"Hmm yaudah."
"Kapan?"
"Aku mandi dulu." Veni mengangguk. Mario masuk ke dalam kamar mandi. Veni menyiapkan baju untuk suaminya di kasur untung saja baju Mario di lemarinya ada. Setelah itu dia ke luar kamar lebih dulu.
Saat ke luar kamar Umi dan Abinya sedang bersama duduk, ahhh Veni selalu bangga dengan keluarganya. Dia rasanya ingin selalu bersama mereka.
"Umi ... Abi ahhh kalian ini bikin anaknya iri terus...."
"Hahaha ... Lagian kalau sekarang kan kamu udah ada suami kamu juga. Mesra-mesraan juga dong."
"Aih, Abi ini."
"Oiya, Abi ... Umi hari ini Veni sama Mario pulang ya...."
"Oh udah mau pulang Umi kira kalian seminggu di sini."
"Mario udah ngajak pulang, Bi. Kemarin soalnya Veni enggak niat ke sini tapi bingung mau ke mana jadi ya akhirnya ke rumah Umi sama Abi deh."
"Oh gitu. Kamu mulai kerja lagi kapan emangnya?" tanya Abi.
"Minggu depan, Bi. Veni udah mulai kerja. Tapi, besok hari minggu aku ke sini lagi kok."
"Ya kapan pun kamu mau ke sini ya ke sini aja." Veni mengangguk. Beberapa saat kemudian Mario menghampiri mereka.
"Habis ngapain, Mar?" tanya Abinya.
"Habis mandi tadi, Bi. Emmm ... Veni udah bilang belum kalau kita mau pulang?"
"Iya, udah kok. Abi kira seminggu di sini."
"Hehehe ... maaf, Bi. Nanti aku sering-sering ke sini kok, Bi sama Veni."
"Hahaha ... iya. Bercanda aja. Lagian kalian udah nikah jadi Veni harus ngikutin kamu juga kan." Mario tersenyum dan mengangguk.
"Emm ... yaudah, Bi. Kita kayaknya pamit sekarang aja...."
"Enggak nanti habis makan malem aja?"
"Enggak usah, Mi. Sekarang aja hehehe...." Veni hanya mengangguk, mengikuti suaminya. Kalau memang suaminya mau segera pulang ya dia harus ikut juga pulang.
***
"Mar emm aku laper...."
"Tumben."
"Pengen makan soto betawi."
"Soto betawi di mana?"
"Di bogor."
"Hah. Soto betawi kok nyarinya di Bogor di sini kan juga ada."
"Aku punya langganan enak di bogor soto betawinya." Mario melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Mau pulang jam berapa nanti mereka.
"Yakin jam segini mau ke Bogor nyari soto betawi?"
"Kalau enggak boleh yaudah enggak usah, Mar," ucap Veni lantas dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela mobil.
"Yaudah deh kita ke sana." Veni menengok ke arah Mario. Dia pun tersenyum, "Beneran? Enggak papa kalau kemalaman?"
"Iya enggak papa. Yaudah kita ke sana. Nanti kalau sampai sana kamu tahu kan jalannya arahnya ke soto betawi itu? Dan yakin kan jam segini belum tutup?"
"Dia 24 jam, Mar. Dan yakin kamu pasti suka soalnya enak banget pasti kamu nanti ketagihan." Mario hanya mengangguk. Dia seharusnya segera pulang karena Mamanya menyuruh pulang tapi karena Veni ingin ke sana entah kenapa dia selalu tidak bisa menolak permintaan Veni. Jika kalian mengatakan ini cinta. Tidak. Dia hanya menghargai Veni kalau dia istrinya. Tidak mungkin seorang Mario cinta dengan Veni. Niat awalnya kan hanya memainkan Veni. Setidaknya di awal-awal Pernikahan dia bersikap Manis tidak apalah. Dari pada di awal Pernikahan dia bersikap buruk dan belum selesai Mario balas dendam dengan Bhiya Veni minta cerai.
"Eh tapi Mama kamu gimana?"
"Gapapa ... gampang."
"Kalau kemaleman kamu nanti bisa nyetir?" Soalnya biasanya di sana itu rame dulu aku pernah sama Lea ke sana antri terus akhirnya kita ke penginapan.
"Kamu ke sana sama, Lea? Naik apa?"
"Naik motor hehehe...."
"Astaga naik motor sampe bogor."
"Bogor itu deket."
"Bukan masalah deketnya tapi kalian bawa motor, berdua doang?" tanya Mario lagi.
"Iyadong. Kita tu suka traveling the power of dadakan biar jadi. Kalau enggak dadakan pasti enggak bakal jadi cuma jadi wacana."
"Kamu enggak diomelin abi kamu?"
"Diomelin tapi ya gimana udah terlanjur Dan udah kelewat juga jadi yaudah Abi mau marah juga percuma."
"Kamu ini bandel." Veni tersenyum sedangkan Mario menggelengkan kepalanya. Istrinya ini benar-benar membuatnya berbeda dari mantan-mantannya dulu.