"Rasa yang mulai tumbuh."
***
Setelah semalam Veni bolak-balik ke kamar mandi dia baru bisa tertidur pukul tiga pagi. Mario pun dengan setia menemani istrinya itu.
"Enak kan semalem ke kamar mandi terus," ucap Uminya saat Veni datang ke dapur untuk membantu Uminya memasak.
"Ck ... Umii iiiih...." rengek Veni lagi.
"Semalem Veni diare lagi, Mi?" tanya Abinya yang sedang membaca Koran. Suaminya belum ke luar kamar karena setelah subuh tadi mereka tertidur lagi.
"Iya, lihat Mario ke dapur Umi kira ada maling tahunya Mario ambilin air hangat. Untung Umi bangun jadi bisa ngasih obat kamu." Veni mengerucutkan bibirnya.
"Kan udah Abi bilang kalau makan pedes jangan berlebihan, Veni kamu itu enggak berubah deh," ucap Abinya menggelengkan kepalanya dengan kacamata tersampir di bawah matanya khas bapak-bapak yang sedang menikmati membaca koran di pagi hari dengan sarung yang benar-benar mirip dengan bapak-bapak pada umumnya.
"Kemaren perasaan Veni juga udah enggak pedes, Bi tapi perutnya malah tengah malam enggak bisa diajak kerjasama buat tidur nyenyak."
"Orang kata Mario aja sambelnya sepuluh sendok. Bijinya sampe penuh di Mie ayam."
"Ya kan bijinya banyak belum tentu rasanya juga pedes. Pedesan juga omongan tetangga, Bi," saut Veni lagi.
"Hushhh ... kamu ini enggak boleh kayak gitu," ucap Uminya menyenggol lengan anaknya yang sedang memotong wortel dengan pelan.
"Ya 'kan emang bener. Apalagi—"
"Udah-udah enggak usah dilanjutin kebiasaan. Mario belum bangun?" tanya Abinya menyetop ucapan anaknya sebelum berlanjut menjadi gibahan di pagi hari.
"Belum."
"Tidur jam berapa semalem? Soalnya Umi lihat Mario ambil air sekitar jam dua belas lewat."
"Emmm ... ya sebentar habis itu tidur kok."
"Sebentar jam berapa?" tanya Uminya lagi.
"Jam 3 an. Terus habis itu bangun subuh tidur lagi."
"Sebentar kok jam 3 an." Uminya menggelengkan kepalanya. Dia sudah biasa tahu hal tersebut. Tapi, Veni benar-benar tidak ada kapoknya pernah sampai masuk rumah sakit tapi anaknya itu tetap saja akan mengulangi hal yang sama.
"Pagi ... Mi ... Bi. Maaf Mario jam segini baru bangun. Veni enggak bangunin Mario soalnya." Mereka menengok ke arah Mario yang datang.
"Kamu udah bangun, Mar. Kalau masih ngantuk tidur aja enggak papa."
"Enggak kok, Mi. Aku malah enggak enak jam segini baru bangun." Mario duduk di sebelah Abinya yang sedang membaca Koran.
"Capek ya semalem nemenin, Veni. Emang dia tu enggak ada kapoknya, Mar. Makanya kalau makan saya Abi bakal Abi yang nuangin sambelnya." Mario hanya tersenyum mendengar ucapan Abinya.
"Abii...." rengek Veni.
"Enggak papa kok, Bi. Nanti kalau makan pedes lagi bakal Mario stop kasian aku lihatnya semaleman enggak tidur katanya perutnya sakit terus."
"Emang gitu dari dulu tapi enggak ada kapoknya." Veni hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat mereka mencercanya.
"Sana bikinin suami kamu kopi apa s**u gih," ucap Uminya.
"Mario enggak minum kopi, Mi."
"Yaudah beliin dulu s**u. Umi lagi enggak ada s**u kemarin mau beli lupa."
"Udah enggak usah enggak papa kok."
"Hehhh kamu ini enggak boleh gitu. Taat sama suami dapet pahala loh, Ven." Veni menghela napasnya. Dia pun mencuci tangannya lebih dulu karena habis memotong kentang yang membuat tangannya kotor.
"Gapapa, Ven enggak usah enggak papa kok," ucap Mario lagi.
"Gapapa aku mau beli dulu."
"Aku ikut." Mario langsung diri dari duduknya untuk ikut Veni.
"Haish ... cuma beli di warung Mario masa mau ikut. Warungnya enggak jauh."
"Dari pada kamu sendiri terus pelanga-pelongo ya mending aku temenin. Iyakan Abi?" tanya Mario kepada Abinya yang berada di sebelahnya untuk meminta persetujuan. Abinya hanya tertawa karena paham dengan mereka yang baru menikah pasti ke mana-mana selalu bersama.
"Veni Mario kan cuma mau nemenin kamu aja memastikan kamu istrinya baik-baik aja," ucap Abinya lagi. Veni hanya memutar bola mata malas.
"Yaudah-yaudah." Veni pun membiarkan Mario untuk ikut dengannya.
***
Mereka berjalan ke warung berdua. Sesekali Mario mengoceh apapun itu tapi Veni hanya berdehem saja. Sampai di warung Veni membeli s**u untuk suaminya itu. Dan setelah dapat dia membayarnya lalu berbalik. Tapi, dia bertemu dengan temannya yang memanggilnya.
"Veni 'kan?" tanya laki-laki itu. Veni sedikit lupa dengan laki-laki. Kerutan di kening Veni membuat laki-laki itu pun tahu sepertinya Veni melupakan dirinya.
"Bario, Ven. Kamu enggak Inget?" tanya laki-laki itu lagi.
"Ahhh ya.... Bario astaga kamu baru muncul lagi ke mana aja." Veni menepuk pundak Bario. Bario ini adalah teman kecilnya. Emmm bisa dibilang cinta pertama Veni juga. Tapi, sayang Bario harus pindah rumah saat menginjak bangku SMA padahal mereka dekat.
"Hahaha ... aku balik tinggal di rumah lama aku lagi, Ven."
"Wahhh ... kenapa mutusin pindah lagi? Kenapa juga baru sekarang pindahnya."
"Wkwkw ... kamu kangen ya?" goda Bario. Bario tidak tahu kalau Veni sudah menikah karena Veni juga tidak tahu harus menghubungi Bario lewat apa karena mereka sudah lost contact.
"Hilih apa-apaan."
"Aku balik karena Papa ... Mama juga udah pensiun pengen balik ke sini aja lagi. Tadinya mau nyari rumah di desa sambil nyari buat Mama ... Papa aku suruh aja tinggal di sini dulu."
"Ahhh gitu...."
"Oiya. Rumah kamu masih yang lama itu 'kan? Nanti biar aku main-main lagi kayak dulu. Aku juga balik karena keinget kamu terus kok," ucap Bario. Veni meneguk ludahnya.
"Kenapa diem aja, Ven? Atau udah pindah? Tapi, kalau udah pindah kok belanjanya masih di sini." Warung ini memang sudah lama bahkan saat mereka masih kecil warung ini masih saja tetap berjalan.
"Ehem...." Mario menyela ucapan mereka. Tadi, Mario menunggu di kursi depan tapi saat menunggu Veni lama akhirnya dia menyusulnya ternyata sedang asik berbicara dengan lawan Jenis.
"Eh mau belanja ya, Mas? Maaf kalau kita ngalingin," ucap Bario menyingkir dan menarik tangan Veni untuk minggir. Bario masih ingin mengobrol dengan Veni. Mario yang melihat Veni ditarik langsung saja menarik tangan Veni membuat genggaman tangan Veni di Bario terlepas.
"Eh, Mas ada apa?" tanya Bario.
"Bario cukup, Bar."
"Kamu kenal sama dia, Ven?" tanya Bario ingin maju kala Mario memandangnya dengan tatapan menantang.
"Gue suaminya lo siapa?" tanya Mario langsung. Bario tidak percaya dengan ungakapan laki-laki itu lantas menoleh ke arah Veni untuk meyakinkan bahwa laki-laki itu adalah benar suaminya.
"Ven apa yang dia bilang benar?" tanya laki-laki itu lagi. Veni terdiam dia harus menjawab apa. Bario adalah cinta pertamanya sejak kecil bahkan seharusnya dia menunggu Bario untuk balik. Tapi, dia malah menikah dengan Mario yang tidak dia cintai. Terpaksa mau tidak mau Veni mengangguk menjawab pertanyaan Bario.