"Hari Pernikahan mereka pun tiba. Di mana akan di mulai babak baru kehidupan mereka."
***
"Selamat ya atas Pernikahan kalian...." Bhiya dan Marvel mengucapkan itu kepada Mario dan Veni.
"Makasih ya, Mbak Bhiya sama Mas Marvel. Semoga aja Pernikahan kita seperti kalian."
"Aamiin semoga aja lebih bahagia ya. Cepet dapet momongan juga."
"Aamiin...."
"Yaudah aku turun duluan ya." Setelah mengucapkan selamat kepada adiknya. Marvel turun bersama istrinya.
"Semoga aja Pernikahan kita kayak mereka ya, Mario. Kelihatannya Pernikahan kakak kamu bahagia deh." Mario melihat.ke arah Kakaknya yang berjalan bersama Bhiya. Justru dia tidak akan membiarkan mereka berdua bahagia. Mariolah yang seharusnya bersama Bhiya bukan kakaknya.
"Mario kamu enggak dengerin aku." Veni berkata lagi dengan sedikit kesal.
"Ha? Kenapa?" tanya Mario.
"Aku kira kamu dengerin aku tadi ternyata malah sibuk sendiri." Veni pun duduk dikursi pengantin mereka lagi mumpung belum ada orang yang datang. Sedari tadi dia baru duduk tapi sudah berdiri lagi karena tamu yang datang.
"Maaf, Ven tadi aku enggak fokus. Oiya tapi kamu tadi ngomong biar bahagia kan? Kita bakal jauh lebih bahagia dari mereka sayang...."
"Beneran?" tanya Veni lagi.
"Bener dong." Veni tersenyum. Bukan Mario jika tidak bisa membuat orang yang dekat dengannya klepek-klepek hanya dengan perkataan dan perlakuannya.
"Ada tamu lagi, yuk diri sayang," ucap Mario mengamit tangan Veni untuk berdiri saat melihat temannya yang datang.
"Weh ... akhirnya temen satu kita slot juga ya."
"Iyalah jelas. Lo dong kapan," saut Mario lagi.
"Gaya lo, Yo mentang-mentang udah laku terus nikah duluan."
"Hahaha ... ya makanya nikah juga sono cari cewe sat set sat set, udah tua juga," goda Mario.
"Nahkan-nahkan sok banget ngomongnya mentang-mentang—" Mario langsung mengode temannya lewat mata. Jangan sampai temannya itu keceplosan dan Pernikahan yang baru itu berantakan.
"Ah dahlah, Mbak selamet ya. Semoga kuat entar malem," ucap sahabatnya itu mengalihkan pembicaraan tadi. Untung saja dia sempat mengerem ucapannya kalau tidak dia sudah habis tadi oleh Mario. Veni hanya bersemu mendengar godaan teman Mario. Dia tidak sadar kalau temannya Mario hampir saja keceplosan sesuatu.
"Yaudah, Mar gue turun dulu."
"Yoi. Nikmatin makanannya bro. Cewe banyak gih coba deketin," ucap Mario lagi.
"So pasti. Mbak kalau punya temen cantik masih single boleh lah dikenalin ke kita-kita ini," ucap teman Mario yang berjumlah tiga orang itu. Veni hanya tersenyum dan mengangguk lagi.
"Suara bini lo keknya mahal banget dari tadi senyum sama ngangguk doang bro."
"Iyalah jelas ya gak sayang." Veni memukul baju Mario yang menggodanya.
"Yaudah ah susah sama orang bucin. Yuk turun." Salah satu dari mereka pun mengajak turun teman mereka.
"Yuk Mbak turun dulu. Semoga Pernikahannya bahagia selalu ya. Jadi, keluarga sakinah, mawadah, warahmah...."
"Aamiin ... makasih...."
"Masyaaallah suaranya menyejukkan perasaan."
"Halah ... dah, dah turun sono suaminya masih di sini bisa-bisanya digodain." Mereka pun tertawa dan pamit meninggalkan kedua mempelai.
"Itu tadi temen kamu?" tanya Veni lantas duduk lagi saat temannya Mario sudah pergi.
"Iya."
"Temen apa?" tanya Veni lagi. Mario malah tersenyum misterius kala Veni menanyakan berulang kali seputar temannya.
"Teman tapi tapi mesra." Seketika Veni mengerutkan keningnya memandang mereka dan Mario bergantian. Veni pun mundur sejengkal menghindar Mario.
"Wkwkw ... astaga, Ven ... Ven kamu percaya aja sih. Ya enggak lah aku normal lho. Buktinya aku nikahin kamu, kalau aku enggak nikahin kamu ya berarti...."
"Berarti kamu enggak normal?" Mario yang gantian memutar bola matanya malas.
"Bisa-bisanya kamu bilang kayak gitu. Aku suami kamu loh, Ven." Veni tersenyum hatinya sepertinya sudah sedikit luluh kepada Mario. Ingat hanya sedikit bukan banyak.
Setelah itu hanya ada gurauan-gurauan saja antara mereka berdua. Kini mereka berdua sudah resmi menjadi suami istri.
***
Malam harinya saat acara semua sudah selesai. Dan mereka semua pulang dari gedung, kini mereka sedang berkumpul bersama keluarga besar.
"Abi sama Umi mau langsung pulang? Kenapa enggak nginep dulu di hotel sini."
"Enggak usah, nak lagian kamu sudah resmi sekarang menjadi seorang istri tanggung jawab Abi sudah berganti oleh Mario. Sekarang kamu harus berbakti dengan suamimu ya, nak," ucap Abinya menasehati Veni.
"Iya, Bi." Jujur saja Veni merasa sedih harus berpisah dengan Abinya dan kini harus berpindah bersama suaminya.
"Abi sama Umi kenapa enggak nginep di sini aja. Keluarga Mario juga pada masih di sini iyakan?" Keluarga Mario serentak mengangguk.
"Tidak apa, nak Mario kami pulang saja. Uminya Veni kalau bukan di rumah pasti tidurnya tidak nyenyak."
"Oh begitu." Ya, Veni tahu Uminya itu pasti tidak akan bisa tidur jika tidak di rumahnya makanya jarang mereka berpergian jauh hingga menginap.
"Nak Mario saya titip Veni ya bimbing dia jadi istri yang solehah," ucap Uminya mengingatkan kepada Mario.
"Iya, Mi."
"Bu Dian makasih ya udah nerima Veni dengan baik jadi keluarga besar Mario." Dian mengangguk, "Iya sama-sama, Bu. Kelihatannya juga Veni memang anak yang penurut cocok dengan Mario.
"Iya, Bu Veni memang anak yang nurut bagi kami dan tidak pernah mengecewakan kami."
"Semoga aja mereka segera mendapatkan momongan ya...." Mereka semua mengangguk dan semoga saja memang Veni segera diberikan momongan.
"Yasudah karena sudah malam kami pamit lebih dulu ya," ucap Abinya lagi takut terlalu malam nanti.
"Bentar, Bi aku panggilan supir dulu buat anterin Abi sama Umi pulang." Mario pun bangkit untuk memanggilkan supirnya dan mengantarkan kedua mertuanya pulang.
"Umi enggak mau di sini dulu?"
"Veni kamu kan sudah nikah masa mau sama Umi aja malu dong," ucap Uminya lagi. Uminya mengelus kepala anaknya. Kini anaknya sudah menjadi milik orang lain dulu dia sangat menginginkan anaknya segera menikah tapi setelah anaknya menikah dia malah merasa kesepian.
"Gapapa, Mi. Oiya nanti Umi jangan terlalu capek ya kalau di rumah. Atau nanti Veni panggilin buat bantu Umi aja di rumah? Soalnya Veni kan udah enggak bantuin Umi lagi."
"Udah enggak usah. Umi masih bisa ngerjain semuanya sendiri kok. Kamu enggak usah pusing mikirin itu."
"Tapi, Umi jangan capek-capek ya di rumah. Abi juga jangan terlalu capek kalau kerja. Jangan minum kopi terus, Bi." Veni mengangkat kepalanya dari pundak Uminya dan memberikan nasihat kepada kedua orang tuanya. Untung saja kedua orang tua Veni selalu menerima masukan dari sang anak begitupun dengan Veni.
"Iya, nak."
"Maaf ya. Veni emang suka manja kalau sama kita."
"Iya enggak papa wajar ya, Ven baru pertama ya jauh dari orang tua?" tanya Dian.
"Iya, Tante."
"Kok masih, Tante panggil aja Mama kan kamu udah jadi anak kita juga." Veni tersenyum dan mengangguk.
"Umi ... Abi ... Mobilnya sudah siap di depan."
"Ah ya ... makasih ya, nak Mario. Ayo, Mi kita ke depan." Uminya mengangguk lantas bangkit ke depan. Mereka semua ikut mengantarkan besannya untuk pulang ke rumah.
Sampai di depan semua sudah di masukkan ke dalam bagasi. "Veni, Umi sama Abi pulang dulu ya."
"Iya, Mi. Umi sama Abi hati-hati, ya...."
"Iya. Kamu juga yang nurut ya sama suami kamu."
"Iya, Abi."
"Nak Mario saya titip anak saya. Bimbing dia menjadi istri yang solehah."
"Iya, Bi. Mario bakal jagain Veni dengan baik." Mario dengan sopan menuruti ucapan mertuanya. Walaupun, dia tidak tahu kalau nantinya dia masih belum bisa mencintai anaknya itu.
"Saya dan istri saya pamit dulu ya, Assalamualaikum...." pamit Abinya setelah itu mereka saling bersalaman dan kedua orang tua Veni pun masuk ke mobil.
"Waalaikumsalam...." Setelah kepergian mereka pun mereka masuk ke dalam.
"Dah gih kalian masuk juga ke kamar kalian. Kalian pasti capek juga seharian nerima tamu."
"Iya, Ma." Mario pun mengajak istrinya untuk masuk ke dalam hotel. Mereka saling berpisah untuk menuju kamarnya masing-masing.
***
Veni membersihkan mukanya lebih dulu. Jantungnya entah kenapa berdetak sangat kencang. Ini adalah malam pertama mereka. Apakah mereka akan melakukan itu. Veni menggelengkan kepalanya dia belum siap melakukan itu karena tidak ada rasa dengan Mario. Bukan tidak ada mungkin belum ada untuk saat ini karena terlalu cepat untuk mereka sampai di detik ini.
"Ven ... kamu belum selesai?"
"Hm? Kenapa Mar?" tanya Veni dengan deg-degan.
"Ayolah, Veni tenang kenapa jantungnya berdegup begitu cepat saat ini," batinnya.
"Kamu enggak istirahat?" tanya Mario.
"Kalau kamu capek duluan istirahat enggak papa, Mar."
"Belum kok." Veni mengangguk. Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara mereka. Sampai Veni selesai membersihkan muka pun tidak ada pembicaraan antara mereka.
Veni masuk ke kamar mandi. Dia masih canggung kalau harus tidur satu kasur dengan Mario.
"Ahhh bingung. Dahlah, ke luar aja. Dari pada di kamar mandi terus mau ngapain juga," ucap Veni pada dirinya sendiri. Setelah berdebat panjang dengan hatinya Veni memutuskan untuk ke luar kamar.
Dia dengan ragu pun duduk di kasur. Mario masih berada di kasur bagian depan sedangkan dia di belakang tepat di kepala kasur.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam Veni bingung harus apa. Apakah dia lanjut tidur sendiri. Mario sepertinya masih sibuk dengan ponselnya.
"Ven kamu kalau mau tidur. Tidur duluan aja. Aku mau pergi dulu ya...."
"Oh yaudah." Entah kenapa hanya itu yang bisa diucapkan oleh Veni. Kenapa rasanya kesal padahal seharusnya dia malah senang karena tidak harus melakukan apa-apa dengan Mario.
"Oke aku pergi dulu ya." Mario bangkit mengambil jaketnya. Sebelum dia membuka pintu, Mario menoleh ke arah Veni. "Veni nanti kalau aku pergi enggak usah ngomong sama Mama ya. Bilang aja semalem emang kita tidur."
"Iya."
"Yaudah aku berangkat dulu." Mario ke luar dari kamar mereka. Setelah kepergian Mario hati Veni merasa sakit.
Tiba-tiba air Matanya menetes. Padahal, dia belum mencintai Mario tapi entah kenapa Mario pergi di malam setelah Pernikahan mereka yang seharusnya menjadi malam pertama. Apa Mario menyesal menikah dengannya. Apa Mario tidak bahagia apakah benar dugaannya kalau Pernikahannya ini hanya permainan untuk Mario.
"Ngapain sih aku nangis segala aturan 'kan biarin aja." Veni menghapus air Matanya dengan kasar. Setelah itu, dia merebahkan dirinya di kasur untun tidur. Terlalu lelah tubuhnya karena menerima tamu tapi rasa lelahnya semakin menjadi di hatinya kala suaminya malah pergi begitu saja. Entah ke mana suaminya itu pergi. Walaupun, pamit dengan cara baik tetap saja rasanya menyesakkan.
***
Mario kesal. Kenapa Veni tidak mencegah dirinya untuk pergi. Dia juga bingung sebenarnya kalau dia melakukan tapi Veni belum siap dia takut menyakiti.
Beberapa saat kemudian mobilnya sampai di tempat temannya. Temannya membuka pintu rumahnya.
"Lo ngapain malem-malem gini malah ke sini, Mar."
"Biarin gue masukin mobil dulu kek baru lu tanya-tanya."
"Yaudah buruan masuk." Temannya yang bernama Raken itupun menyuruh Mario memasukkan mobilnya.
Mobilnya pun sudah terpakir di dalam. Mario ke luar dari mobilnya, "Ada motornya Faiq. Orangnya di sini juga?" tanya Mario saat melihat motor temannya.
"Ngapain dia di sini?" tanya Mario lagi.
"Biasalah kek enggak tahu mereka aja." Raken dan Mario pun masuk ke dalam. Rumah Raken memang rumahnya sendiri jadi teman-temannya bebas jika bermain ke rumah Raken. Sebenarnya semua teman Mario sudah memiliki rumah sendiri, hanya saja jauh dari kantor mereka kerja.
"Ternyata kalian malah di sini," ucap Mario melihat dua temannya ada di dalam.
"Lah, Mar ngapain lo malem-malem malah ke sini."
"Kalian juga ngapain ngumpul enggak ngomong gue dulu."
"Bini lo malah lo tinggal di hotel sendiri."
"Iya kayaknya dia capek seharian nerima tamu Pernikahan kita yauda gue suruh istirahat aja dia. Jadi, gue ke sini aja. Gue kira kalian enggak ada di sini."
"s***p lo ya, Mar. Bini baru dinikahin udah nikah. Veni kaga marah itu lo tinggal?" tanya temannya lagi.
"Dia masih cuek buktinya. Gue pergi aja dia cuma jawab enggak papa. Boro-boro dia nanya ke mana. Malah cuma iya aja." Mario sebenernya kesal juga kenapa Veni malah mengiyakkan dirinya pergi. Apa wanita itu tidak cinta dengan dirinya.