"Berusaha menutupi kesalahan."
***
Mario kini sedang berpesta dengan teman-temannya. Malam yang seharusnya menjadi malam pertama bagi dirinya dan Veni malah dia habiskan pesta bersama dengan temannya. Bukan karena apa, dia juga belum siap menyentuh Veni di saat pikirannya masih ke Bhiya yang saat ini statusnya sebagai Kakak Iparnya. Dan mungkin sebentar lagi akan beralih menjadi Istrinya. Dan mungkin kalau dijadikan sebuah film menjadi "Mantanku menjadi Kakak Iparku dan Akhirnya kembali menjadi Istriku." Ya, mungkin itulah yang akan terjadi ketika Mario pada akhirnya bisa membuat Bhiya kembali.
"Mar, udah jam 3 pagi sono pulang," usir Raken pemilik rumah.
"Biasanya juga gue sampe subuh enggak papa. Kenapa sekarang gue suruh pulang. Kalian mau happy-happy an tanpa gue sekarang?" Mario masih dengan minuman soda di tangannya. Tadinya, Mario ingin mabuk karena pusing dirinya harus berbuat apa. Tapi, Raken dan yang lainnya menolak hal tersebut.
"Ck ... Mario-Mario lo tuh udah nikah aturan lo enak-enak sama bini lo di rumah bukan malah di sini. Kasihan bini lo."
"Justru kalau gue sentuh dia padahal dia enggak siap malah kasihan. Udahlah paling dia juga udah tidur di hotel."
"Ya 'kan setidaknya lo bisa nanya, Mar. Gimana mau disentuh enggak?" goda Ibra. Mereka malah tertawa dengan godaan Ibra kepada Mario.
"Sialan lo, Bra. Ya kali gue nanya gitu. Yang ada Pala gue ditimpuk sama Veni. Lo tahu, gue bingung kalau ngadepin Veni gimana."
"Astaga, Mario dia udah istri lo yakali lo masih bingung aja ngadepin dia. Heran deh gue sama lo. Naklukin cewe laen bisa masa naklukin Veni aja gabisa. Mana kemampuan lo mainin cewe. Toh, lo dari dulu juga udah biasa kan mainin cewe luar dalem."
"Ya itu 'kan beda. Lagian gara-gara Bhiya juga. Coba Bhiya sabar nungguin masa gue udah setia enggak deketin cewe Bhiya malah enak-enakan nikah sama Kakak gue lagi. Siapa yang enggak muak coba. Gue harus lihat mereka berdua di rumah mesra-mesraan. Kesel gue!" Mario ngoceh sepanjang obrolan mereka. Dia masih belum bisa move on dari Bhiya. Bhiya cinta pertamanya, Bhiya yang sabar menghadapinya tapi kenapa malah Kakaknya yang mendapatkannya.
"Udahlah, Mar lupain. Itu udah masa lalu. Mending lo lebih kasih perhatian sama Veni. Sayangin Veni nanti makin lama Veni makin sayang sama lo. Gue lihat Veni juga enggak jauh beda kok sama Bhiya. Kalau lo enggak mau mending buat gue aja deh." Mario lantas melempar banyak yang dia gunakan. Lalu dia bangkit dan menuju ke kasur.
"Dih tu bocah ngapain malah naik kasur si."
"Mar pulang sono udah mau subuh malah naik kasur gue lagi," ucap Raken.
"Ah berisik gue mau tidur dulu. Gue pulang entar pagi-pagi aja."
"Nanti kalau keluarga besar lo tahu lo mau jawab apaan."
"Lagian mereka enggak bakal nanya dan gue bakal pulang sebelum jam sarapan. Udah diem Jan berisik gue mau tidur dulu."
"Dih nih orang udah s***p. Kalau gue malam pertama mending gas istri gue dari pada gue anggurin enggak kepake. Mario ... Mario lo menyia-nyiakan surga dunia yang udah ada di depan mata," ucap Ibra sambil menggelengkan kepalanya. Yang lain pun mengangguk setuju. Bisa-bisanya Mario tetidur malah di tempat temannya meninggalkan istrinya di rumah.
***
Veni terbangun pukul dua belas malam. Dia melihat ke sebelahnya. Tadi, dia mimpi Mario hendak menyentuhnya makanya dia terbangun. Tapi, ternyata itu hanya mimpi. Kenapa hatinya merasa kecewa lagi saat itu hanya mimpi.
"Ahhh ... Veni ayolah untung kalau Mario enggak ada jadi enggak usah disentuh kenapa malah mau nangis lagi sih." Veni bergumam kesal pada dirinya. Dia lantas memilih bangun dari tidurnya dan berjalan ke kamar mandi. Lebih baik dia solat tahajud mumpung dia sudah terbangun.
Pernikahan seperti ini tidak pernah terbayang oleh Veni sebelumnya. Dia bermimpi dijadikan ratu oleh suaminya. Dan setelah menikah dia akan melakukan hubungan layaknya suami istri seutuhnya dan memiliki anak. Itulah yang dia harapkan memiliki anak, yang dia tunggu dalam pernikahnnya. Veni sangat menyukai anak-anak.
Dalam solatnya Veni berdoa. Semoga Pernikahan ini Pernikahan yang tidak terlalu dia harapkan ke depannya akan menjadi sebuah Pernikahan yang damai. Walaupun, sekarang Mario masih entah ke mana.
"Ya Allah ... apakah pernikahan ini adalah Pernikahan yang tepat. Jika, Pernikahan yang tepat mengapa suami hamba malah meninggalkan hamba. Ke mana suami hamba sebenarnya." Veni berdoa dalam solatnya. Dia sudah memilih ini dan dia tidak boleh menyesali pilihannya. Apalagi melihat kedua orang tuanya yang bahagia setelah dia menikah. Tapi, kenapa rasanya sakit sekali.
Setelah berdoa Veni bangkit dari duduknya. Dia mencopot mukenanya dan melipatnya lagi.
"Ke mana Mario? Bahkan ini sudah jam 1 malam tapi belum pulang juga." Veni menengok jam berkali-kali. Dia lapar tengah malam. Sudah biasa jika dia bangun malam pasti dia lapar tapi ini di hotel dia tidak berani juga ke luar malam seperti ini.
"Ah iya. Aku kayaknya tadi masih punya roti." Veni melihat ke arah meja make upnya. Tadi, dia sempat membeli roti yang belum dimakan. Setelah itu dia memakannya sambil melihat ponselnya.
Ucapan selamat dari teman-temannya baru sempat dia lihat. Tapi, dia belum sempat membalasnya. Sepertinya besok baru dia balas. Kini tangannya beralih membuka aplikasi i********:. Banyak orang yang mengetag dirinya. Satu persatu dia lihat.
"Selamat Veni udah jadi istri. Sakinah, Mawadah,Warahmah ya, bestie...." (sambil memosting foto Pernikahan mereka tadi siang."
"Wah ... manusia es di kantor kita sold ni ye ... Selamat Veni dan suami atas Pernikahannya."
"Samawa ya, Veni. Cepet dapet momongan ya...."
"Veni aaaahhh seneng banget. Dah lama enggak ketemu dah lama enggak contact tahu-tahu masih Inget dan dikabarin dan nikah. Samawa beb...."
"Veni ... ah padahal gue lagi nyelesain pendidikan dokter setelah itu kerja jadi dokter biar bisa khitbah kamu eh sekarang dapet undangan Dari kamu. Canda deh, Ven :v. Selamat ya Veni, semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah, cepet dapet baby...."
Veni tersenyum melihat foto-foto bersama teman-temannya. Masih banyak lagi yang belum dia baca. Tapi, pesan terakhir adalah dari temannya yang sedang mengejar pendidikan dokter. Dia memang pernah menyuruh Veni untuk menunggu, tapi Veni tidak bisa menunggu terlalu lama. Dia juga wanita butuh sebuah kepastian dan saat ini Mario lah yang berhasil masuk menjadi suaminya dan keluarganya pun menerima jadi mungkin memang Mario lah yang ditakdirkan untuknya.
Veni masih sibuk membuka satu persatu pesan tapi tetap saja. Bosen melandannya dan Mario tetap saja belum pulang. Dia ingin tidur tapi matanya sama sekali tidak mengantuk. Sepertinya Mario memang tidak akan pulang. Jadi, percuma saja dia menunggu.
***
Veni terbangun kala mendengar ketukan pintunya. Dia tidak terasa tertidur semalam saat sedang menunggu Mario. Dia melihat jam sudah pukul 7. Dia bangun untuk membuka pintu kamar yang diketuk. Tak, lupa dia memakai kerudung lebih dulu.
"Veni, kamu baru bangun ya," ucap Kakak Iparnya yang ternyata mengetuk pintu yaitu Bhiya. Ah ya, Bhiya sampai lupa untuk solat subuh. Setelah ini dia akan solat subuh lebih dulu.
"Iya, Mbak. Aku kesiangan semalem soalnya kebangun dan tidurnya agak telat udah hampir pagi." Veni melihat Bhiya melihat Dari bawah sampai atas.
"Oh tidak. Jangan sampai Mbak Bhiya berfikiran kalau dirinya melakukan sesuatu semalam. Padahal, dia sama sekali tidak melakukan apa-apa," batin Veni.
"Ini enggak seperti yang Mbak Bhiya pikir kok," ucap Veni langsung. Entah kenapa mulutnya main berucap seperti itu.
"Mikir apa? Aku enggak mikir apa-apa kok, Ven. Lagian kalau iyapun enggak masalah 'kan kalian udah menikah. Kalau belum baru." Veni malah memerah mendengar ucapan Mbak Bhiya. Ahhh ... mulutnya memang kadang sulit terkontrol.
"Eh ... hehe iya...."
"Yaudah sebentar lagi waktunya breakfast kamu ajak Mario untuk makan bersama ya. Kita tunggu di sana. Mario kayaknya prepare banget ya, Ven. Bahkan restaurantnya saja sudah dipesan untuk keluarga kita saja sebagian. Jadi, bebas kita mau menggunakan kapan hingga orang lain tidak ada yang makan di sana karena sudah disewa oleh Mario."
"Oh ... hehehe iya, Mbak. Aku mandi dulu ya," ucap Veni.
"Iya. Nanti jam 8 langsung ke sana aja ya."
"Iya, Mbak."
"Yaudah, Mbak mau Jalan pagi dulu sama Mas Marvel."
"Iya, Mbak." Setelah itu Bhiya langsung menutup pintu kamarnya dan mengunci saat Bhiya sudah pergi.
"Huftt ... malu. Tapi, yaudahlah udah terlanjur."
"Ahhh .... ya aku mau mandi terus solat subuh. Astaga aku sampe kesiangan solat subuh gara-gara nungguin Mario. Ke mana sih dia jam segini belum juga pulang. Entar aku harus jawab apa kalau keluarganya nanya ke mana."
"Bodolah." Veni langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi dan langsung solat.
***
Veni bingung harus ke luar atau tidak. Mario belum juga pulang. Terus apa yang harus dia katakan nanti bersama keluarganya kalau Mario tidak ada pagi ini.
"Ven ... Veni ayo, nak Mama tunggu di restaurant ya...."
"Iya, Mah sebentar lagi Veni nyusul," ucap Veni dari dalam kamarnya. Dia baru hendak berjalan menuju ke depan tapi sepertinya Ibu mertuanya sudah pergi.
"Ahhh ... udahlah bilang aja Mario ada urusan ke luar. Mana dia mau menghubungi Mario tidak Punya nomornya. Waktu itu Mario mengirim pesan tapi udah kehapus. Sekarang dia mau ngabarin Mario lewat apa coba." Veni memang bodoh nomor suaminya sendiri dia tidak menyimpannya dan sekarang dia bingung sendiri bagaimana menghubungi suaminya dan entah ke mana dia juga.
Veni pun memutuskan untuk ke luar kamar sendiri. Berjalan sendiri ke restaurant. Sampai di sana keluarga Mario ternyata sudah berkumpul semua.
"Loh, Mario ke mana, Ven? Kok enggak ikut turun? Dia enggak mau sarapan?" tanya Marvel yang merangkul pinggang istrinya sepertinya Kakak Iparnya itu baru pulang juga karena tadi Bhiya mengatakan kalau mereka akan jalan pagi.
Veni meneguk ludahnya apa yang harus dia katakan. Kalau salah ngomong bisa berabe, "Ehm anu. Nanti Mario katanya nyusul."
"Aih anak itu bukannya sama istrinya penganten baru malah istrinya suruh sendiri." Veni tersenyum paksa.
"Yaudah duduk, Ven kita tunggu Mario dulu." Dian mengatakan itu.
"Eh." Mereka semua menengok ke arah Veni yang mengatakan Eh lumayan keras.
"Kenapa, Ven?"
"Ah enggak papa."
"Aduh gimana ini ngomongnya kalau aku enggak tahu kapan Mario pulang. Kalau udah nungguin terus Mario enggak dateng gimana. Kalau aku suruh ngabarin juga gimana kan aku enggak punya nomornya," batin Veni. Veni hendak duduk pun jadi bingung sendiri.
Tapi, untungnya beberapa saat kemudian Mario datang. Veni tersenyum lega walaupun samar. Akhirnya dia tidak perlu bingung harus mengatakan apa nanti.
"Mario kamu enggak mandi?" tanya Marvel.
"Kamu dari mana Mar kok pake jaket?" tanya Dian.
"Bukannya bareng istri kamu malah sendiri-sendiri," kata Bhiya.
Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh Dian, Marvel dan juga Bhiya. Mario juga bingung harus menjawab apa. Tadi, Veni mengatakan apa ya saat dia tidak ada.
"Mario kamu dari mana sih. Kenapa diem aja." Dian pun mencerca Mario yang hanya diam saja.
"Ehm anu. Maaf Mario telat sama jalan sendiri soalnya tadi Mario ehmm ... Mario tadi dari luar sebentar," ucap Mario gagap. Dia bingung harus menjawab apa.
"Kenapa kamu gagap gitu?" tanya Bhiya. Ah sial. Wanita itu kenapa ikut mencercanya sih. Jadi, semua orang memandangnya serius seperti ini.
"Tadi, Mas Mario aku suruh ke luar sebentar cari bubur ayam. Soalnya tadi aku pengen bubur ayam aja sebenernya," ucap Veni memotong ucapan mereka. Mario bernapas lega. Untung saja Veni peka posisinya.
"Terus sekarang bubur ayamnya mana?" tanya Marvel lagi. Veni melihat ke arah Mario menyuruhnya menjawab.
"Ehm anu ... itu tadi enggak ketemu."
"Perasaan tadi kita sepanjang jalan ketemu bubur ayam ya, Mas. Banyak." Bhiya mengatakan itu lagi kepada suaminya. Marvel pun mengangguk.
"Oh Mario tadi aku suruh cari ditempat biasa langganan kita. Kayaknya enggak jualan ya, Mar?" tanya Veni lagi.
"Ah iya. Veni enggak mau kalau enggak langganan soalnya. Makanya aku tadi cari langganan kita tapi enggak ketemu, Ven. Maaf ya...." Mario pun mengikuti sandiwara Veni.
Satu lagi dia bersyukur Veni sudah membantunya. Sehingga dia tidak harus bingung mendapat beberapa cercaaan pertanyaan dari keluarganya.
"Oh gitu. Yaudah ayo makan. Ven kamu enggak papa kalau kita makan ini aja? Atau kamu mau cari bubur aja lagi sama suami kamu. Lagian Mario kenapa nyarinya enggak sama istri kamu aja sih." Dian membela Veni lagi-lagi.
"Itu tadi Veni masih tidur jadi aku enggak tega bangunin. Cuma semalem dia bilang besok mau bubur tadinya mau surprise eh enggak ada, Ma." Mamanya menggelengkan kepalanya.
"Ada-ada aja. Ven enggak papa makan yang ada di resto?"
"Enggak papa kok, Ma," jawab Veni yang masih merasa canggung dengan keluarga Mario. Mereka pun mengangguk dan menuju ke meja makan.
"Cih dari mana dia bilang mau bubur orang semalaman malah ditinggal pergi," batin Veni lagi.
Kekesalan hati Veni sedikit sirna kala tiba-tiba Mario menggandeng tangannya dan berjalan ke arah meja makan. Veni hendak menarik lagi tangannya tapi Mario malah mengeratkan tangannya. Laki-laki itu pantas saja dibilang penakluk wanita orang tingkahnya saja benar-benar buaya. Siapa yang tidak luluh dengannya. Ah, Veni hendak jual mahal pun terpaksa menuruti laki-laki itu.