Makan Siang

1125 Kata
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya kedua orang tua dari Veni pun pulang. Akhirnya mereka membukakan pintu dan membawa bahan bahan yang sudah mereka berikan. Keluarnya mereka tidak tahu apa yang akan dimasak, tiba tiba Veni pun menghampiri mereka dan meninggalkan Leah yang berada di dekat nya. “Mau makan siang apa kita?” tanya Veni kepada Abi dan Uminya. “Kamu mau makan apa, Nduk?” tanya Umi Veni kepada anak perempuannya itu. Lea yang penasaran pun ikut dalam pembicaraan mereka kali ini. “Mau soto,” kata Veni sambil mengelus perutnya yang semakin turun itu. “Modus nanya-nanya. Bilang aja pengen,” ledek Lea pada Veni yang mengerucutkan bibirnya. “Biarin ye, kan yang mau cucu Umi juga,” bela Veni pada dirinya sendiri. “Yasudah, Umi masakin, Veni tunggu aja di ruang tamu sama Lea,” kata Umi sambil menyuruh putrinya itu untuk duduk dan tidak banyak gerak. Namun Veni menggeleng, ia tak mau duduk diam sendirian melihat Umi dan Abinya yang sibuk. Uminya hanya menggelengkan kepalanya, sifat manja Veni muncul. “Kenapa engga? Nanti dedeknya capek,” kata Lea berusaha juga untuk membuat Veni untuk beristirahat. “Enggak, aku kerjain yang ringan-ringan aja. Kan harus banyak gerak,” alasan Veni masih tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri. “Yasudah, kamu nanti suir ayam aja ya, sama potong-potong tomat,” akhirnya sang Abi yang menyelamatkan mood Veni untuk memasak dan memakan soto. Veni mengangguk sumringan, Lea memang sedari tadi sudah membantu walaupun tidak diizinkan. Lea kebagian untuk membersihkan ayam dan menggoreng ayam sebelum di suir. Kemudian Abi dan Uminya bertugas untuk membuat kuah kaldu. Veni menunggu pada awalnya dengan sabar sambil memotong tomat-tomat yang diperlukan, sebelum akhirnya lea memberikan potongan-potongan ayam yang sudah ia goreng. Kemudian Veni pun menyuirnya dengan semangat. “Widih, bagus amat ayamnya Le,” kata Veni menggoda Lea yang sedang membantu Umi memasak. “Ye somplak lo,” sungut Lea yang menatap Veni sambil menggelengkan kepalanya melihat ibu hamil yang malah mengerjainya itu. “Ya maaf, kan tumbenan banget seorang Lea malah bisa masak,” ejek Veni sambil cekikikan. “Veni, enggak baik lagi hamil malah ngeledekin orang. Lagi pula Lea pinter masak kok, enggak kaya kamu pas baru bisa masak,” kata Umi, Lea yang mendengar itu seakan-akan di dukung pun menatap Veni dengan tatapan mengejek. Veni yang melihat itu pun menyeringus, karena uminya malah mendukung Lea. Akan tetapi sebenarnya Veni tak seratus persen marah, ia hanya suka mengganggu temannya itu. Apalagi Lea adalah temannya sejak lama. Melihat Lea saja sudah menjadi hiburan baginya, apalagi mengganggu temannya yang satu itu. Merupakan sebuah anugrah terindah untuk Veni saat ini. “Veni, kurang-kurangin usil lo,” kata Lea sambil mengejek. Veni hanya mencebik dan kemudian melanjutkan menyuir ayam yang sudah dingin. “Jadi Lea kapan nyusul Veni?” tanya Umi sambil mengulek sambal terasi yang sudah direquest oleh suaminya. “Umi, kenapa jadi Lea?” tanya Lea merajuk. “Umi nanya aja loh, Nduk … kalau Lea masih suka sendiri ya ndak papa, kan bahagia itu enggak harus berdua,” kata Ibu Veni itu sambil tersenyum manis. Lea tidak bisa mengelak lagi, memang benar. Daam lubuk hati Lea, siapa perempuan yang suka menjadi sendiri? Lea rasa hampir semuanya tidak ingin menjadi sendiri. Namun mau bagaimana lagi, Lea belum sempat menemukan seseorang yang pas untuk hatinya. “Doain Lea ya Umi, Abi, semoga bisa nyusul Veni cepet-cepet. Lea cuma belum nemuin aja orang yang tepat buat Lea, semoga secepatnya. Lea juga enggak sabar kasih cucu buat Abi sama Umi nih,” seloroh Lea namun tetap mengandung doa di dalam hatinya karena memang ia menginginkannya juga. “Aamiin … semoga yang itu bener ya,” kata Veni tetap saja usil. “Umi, cape banget sama Veni,” kadu Lea sambil menatap Veni sebal. “Loh kamu udah ada calon?” tanya Abi Veni kepada Lea yang tengah merajuk itu. “Kalau udah, pasti aku enggak marah sama candaan Veni tau,” kata Lea sambil memotong jeruk yang akan digunakan untuk soto. “Siapa tahu mau dirahasiain dulu,” ejek Veni lagi. “Enggak ngomong sama lo,” kata Lea sambil mengejek Veni yang sudah selesai menyuir ayam terakhirnya itu. Kemudian Veni berdiri dan berjalan menuju Lea. “Yang sabar ya,” kata Veni sambil mengelap tangan penuh jus dari ayam itu ke poni Lea. “Kotor ih!” kata Lea sambil cemberut. “Veni … kamu kok usilnya enggak udah-udah sih?” tanya Umi dengan menatap Veni yang sedang mencuci tangannya. “Abisan Lea ngegemasin sih,” kata Veni sambil memeluk Lea yang sedang menatapnya horor. “Gue kaya pengen banget usilin lo, kayanya anak gue yang pengin,” ujar Veni polos. Ingin sekali Lea memukul kepala Veni saat ini dengan pisau yang sedang ia gunakan. Namun Lea harus sabar sekali menanggapi temannya yang satu itu. Kenapa? Karena Veni sedang hamil dan mungkin hormon hamilnya memang bekerja seperti ini. Lea berjanji akan membalasnya 1000 kali lipat nanti. “Lo atau anak lo?” tanya Lea sewot. “Dua duanya, hehehe….” Veni menunjukkan jajran giginya yang rapih itu. Kemudian Lea hanya bisa menyipratkan air yang ada di tangannya pertanda ia membalaskan usilnya Veni. Kemudian mereka pun melanjutkan gotong royong membuat makan siangnya. “Bi, ini tolong kasihin tetangga,” kata Umi sambil memberikan mangkuk yang sudah berisi soto lezat yang sudah jadi. “Aku aja,” kata Veni dan Lea bersamaan. “Kalian bantuin Umi bikin udang saus mentega aja. Kan Lea pengen,” kata Umi yang membuatkan semua lauk yang diinginkan orang rumahnya. “Wah aku kalau tinggal disini sebulan makmur banget,” kata Lea kesenangan, sementara Veni malah menjauh. Semenjak hamil ia tak terlalu suka dengan bau udang mentah. Lain ceritanya jika sudah masak. Makanya ia menjauh dan memilih untuk duduk di ruang tamu dan menyantap buah yang dia jadikan sebagai pengganjal perutnya yang sudah berdangdut. Lea dan Uminya pun hanya diam tak menginterupsi kegiatan Veni. Apalagi saat veni secara reflek mengelus perutnya sambil tersenyum membuat mereka pun ikut tersenyum juga. “Astaga, Lea enggak sabar liat dedek bayinya,” kata Lea pelan sambil menatap Umi yang juga ikut mengangguk. “sama, nduk. Umi juga, anaknya pasti gemesin,” kata Umi membayangkan pergabungan wajah Mario dan Veni yang akan melekat di wajah cucunya nanti. Akhirnya mereka pun siap mengerjakan kerjaan masing-masing kecuali Veni yang hanya menatap layar televisi yang sedang menyetel serial drama. Abi pun sudah pulang dan membawa makanan yang diberikan oleh para tetangga mereka. “Banyak banget, Bi?” tanya Veni kaget melihat balasan dari para tetangganya. “Iya, Abi udah bilang jangan banyak-banyak. Alhamdulillah kalau begitu,” kata Abi sambil meletakkan makanan yang ia bawa. “Inget loh, makan itu boleh. Kamu jangan berlebihan,” kata Umi mengingatkan anak perempuannya itu. “Iya, aku nyicip aja,”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN