"Demi pernikahannya dia rela meninggalkan karirnya."
***
Veni sudah dijemput oleh suaminya. Wajahnya terlihat sangat sumringah setelah itu dia masuk ke dalam mobil.
"Assalamualaikum, Mar...."
"Waalaikumsalam, sayang." Veni tersenyum mendengar panggilan sayang dari suaminya. Walaupun, dia masih belum bisa memanggil suaminya dengan panggilan itu.
"Gimana seharian ini kerja? Tapi, aku lihat kayaknya kamu lagi happy banget kenapa?" tanya suaminya setelah mencium kening istrinya dia mulai menyetir meninggalkan area kantor Veni.
"Emang kelihatan banget ya aku happy?"
"Heem. Emang lagi kenapa kamu?"
"Emm coba tebak kenapa aku happy," ucap Veni lagi. Mario melihat ke arah Veni.
"Dapet gaji gede?"
"No ... no," jawab Veni sambil menggelengkan kepalanya.
"Dapet cowo baru?" Veni langsung menatap datar Mario lalu berucap, "Emang boleh?" tanya Veni akhirnya.
"Enggak lah orang kamu istri aku. Yakali aku bolehin kamu sama cowo lain. Udah ah, Ven kenapa kamu happy banget. Jangan-jangan bener ya karena cowo baru?" tanya Mario dengan muka lesunya. Veni pun mencubit pipi suaminya karena gemas melihat suaminya itu.
"Iih gemes banget lho suami ku," ucap Veni mencubit pipi Mario.
"Aduh sakit, Ven."
"Heleh orang pelan doang kok. Lebay banget kamu," ujar Veni lagi.
"Udah ih buruan Veni kenapa kamu kelihatan happy banget." Mario merengek layaknya anak kecil sekali membuat Veni akhirnya pun menjelaskan kenapa dia happy.
"Aku...."
"Aku...."
"Ish aku apa, Ven gantung banget si," ucap Mario yang kesal.
"Wkwkw ... iya-iya sabar. Aku di acc."
"Di acc apa?" tanya Mario lagi.
"Ah masa enggak peka si di acc apa. Kamu ngeselin deh."
"Ya kamu belum ngomong sampe selesai ya aku enggak tahu, yang."
"Jan manggil yang yang gitu ah. Geli aku masa dengernya."
"Aish orang biar mesra kayak orang-orang kamu malah geli. Yaudah apa tadi di acc apa?" tanya Mario memutar bola matanya malas. Dia ingin romantis malah istrinya itu tidak suka dipanggil romantis. Sungguh, berbeda dengan mantan-mantannya.
"Wkwkw ... ya aku belum pernah pacaran jadi ya denger kamu manggil itu ya aku geli aja. Lagian juga manggil biasa juga bisa romantis kok gausah pake yang yang apalah itu."
"Iya-iya. Yaudah buruan jawab kamu di acc apa?" tanya Mario lagi tidak ingin membahas itu karena dia butuh jawaban mengenai acc apa itu.
"Wkwkw ... iya-iya. Aku di acc resign kerja."
"Beneran? Berarti mulai besok kamu udah enggak kerja?" tanya Mario lagi.
"Masih kerja tinggal sehari lagi tanggung jawabku buat nyelesain kerjaan karena ada meeting yang harus aku sama Pak Bram dateng. Sebenernya Pak Bram bolehin aku enggak kerja lagi si mulai besok tapi itu masih tanggung jawabku yaudah besok terakhir kerja deh."
"Okelah kalau kayak gitu enggak papa. Kalaupun tadinya enggak dibolehin kamu tetep enggak aku bolehin lanjut kerja. Kalau kamu di denda yaudah aku tanggung toh perusahaan kamu sama aku masih makmuran perusahaan aku." Veni terkekeh.
"Hush enggak boleh sombong ah kamu," saut Veni lagi mengingatkan suaminya.
"Astagfirullah aladzim...."
"Nah gitu. Enggak boleh sombong. Allah bisa mengambil kapanpun harta yang kita punya."
"Iya...."
"Dah beres akhirnya aku bisa sepenuhnya di rumah sesuai mau kamu sama Mama walaupun pasti nanti kelihatannya kayak agak bosen enggak sih biasa di kantor terus di rumah aja."
"Yakan ada Mama kalau bosen ajak aja Mama shopping pasti Mama seneng kok. Sama sering-sering ke dokter buat konsultasi anak laki-laki. Anak kita harus laki-laki," ucap Mario dengan tegas.
"Apa aja kan yang penting sehat dan selamat sampai lahir, Mar."
"Kalau anak kita perempuan enggak bisa dapeg warisan Veni dari keluarga aku. Emang Keluarga kamu bisa ngasih warisan?" tanya Mario. Veni jadi merasa tersinggung dengan ucapan Mario.
"Terus kamu mau anak laki-laki biar warisan keluarga kamu ke anak kita gitu?"
"Iyalah kamu harus tahu Mama aku juga Dari dulu pengen cucu laki-laki udah seneng Marvel, istrinya hamil eh malah keguguran kamu jangan sampe harus dirawat banget."
"Mario kamu kok ngomong gitu sih, anak itu apa aja alhamdulillah banyak yang belum dikasih anak dan kita dikasih anak cepet itu bersyukur kamu kok malah milih gitu."
"Udah pokoknya kamu konsultasi aja di dokter terus kata Mama dokternya itu kalau ngasih saran selalu manjur kok pokoknya ikutin mau dokter biar kamu dapet anak laki-laki."
"Kamu kenapa enggak diskusi sama aku dulu sih kenapa main ambil keputusan sendiri."
"Yaudah si, Ven enggak usah dibesar-besarin cuma masalah sepele aja kok. Hamil kamu juga belum besar jadi kamu santai aja."
"Aku enggak besar-besarin tapi kamu itu kalau ngomong seenaknya aja. Lagian ah aku enggak ngerti apa yang kamu mau. Biasanya juga enggak pernah sampai ngomong kayak gini." Veni menyenderkan kepalanya dibangku dan menatap ke jendela sampingnya dia malas menatap Mario. Moodnya yang tadinya bagus jadi berantakan hanya karena Mario.
"Yaudah enggak usah dipikirin nanti aja kita bahas lagi," ujar Mario lalu mengelus kepala istrinya. Veni tidak berkutik dan membiarkan saja dia jadi kesal sendiri.
"Besok enggak usah masuk aja. Toh, bos kamu juga udah bolehin enggak masuk juga kan. Udah kamu pamit di chat aja kan bisa."
"Gak. Aku masih ada tanggung jawab nyelesain kerjaan. Aku enggak mau menghindari gitu aja selama aku masih bisa. Aku masuk baik-baik dan aku juga mau ke luar baik-baik. Sekalipun aku kesel dengan rekan-rekan. Tapi, enggak semua," jelas Veni.
"Yaudah kalau itu mau kamu enggak papa. Aku ikut kemauan kamu aja."
"Yaiyalah lagi pula juga ini pilihan aku."
"Iya, pilihan kamu dan orang lain selalu harus mengikuti mau kamu yakan?" sindir Mario.
"Kamu kenapa sih, Mar kok jadi nyindir aku. Yang ada aku yang mau ikutin kamu dan Mama kamu. Aku rela ke luar dari kerjaan aku demi keluarga kamu terus kamu bilang mau aku yang kalian ikutin? Enggak kebalik?" tanya Veni lagi. Jelas dia tidak terima. Untung meninggalkan karir yang sudah dia kejar lama sampai menjadi sekretaris bos itu bukanlah hal yang mudah dia dapatkan. Apalagi dia harus tinggal terus juga bersama mertuanya. Di mana kadang dia harus jaga sikap juga.
"Aku ngelakuin itu kan demi kebaikan kamu, Ven. Lagian aku masih mampu membiayai kamu tanpa kamu harus kerja jadi wajar dong aku nyuruh kamu berhenti kerja."
"Ya kamu enggak tahu pengorbanannya, Mar. Kamu udah dari Keluarga kaya sedangkan aku berkecukupan di mana sampai di posisi ini pun aku harus banyak berjuang dan demi bakti aku sama suami aku rela untuk resign terus kamu bilang ... ah udahlah aku males debat." Veni lebih baik memilih mengalah percuma berdebat dengan Mario nanti yang ada tidak akan selesai perdebatan mereka.
"Maaf." Mario mengucapkan Maaf lebih dulu supaya masalahnya tidak jadi panjang.
"Hm."
"Di maafin gak? Kok masih cuek gitu."
"Hm." Dua kali Veni tetap saja berdehem karena dia juga sudah malas berbicara.
"Kalau hm aja aku enggak tahu artinya apa. Jawab dong yang jelas," ucap Mario lagi.
"Iya." Setidaknya ada kemauan satu kata dia mengucapkan.
"Iya apa? Iya enggak dimaafin?"
"Iya dimaafin," jawab Veni mengalah. Tidak akan ada habisnya jika tidak ada yang mengalah.
"Nah gitu dong, makasiiih...." Mario tersenyum girang sedangkan Veni hanya memutar bola matanya malas.
***
Mereka sudah sampai di rumah. Mario dan Veni menyalami Mamanya saat sampai di dalam dan bertemu dengan sang Mama.
"Assalamualaikum," ucap Veni dan Mario bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Dian.
"Sudah, Ma."
"Eh ada Arum," ucap Mario.
"Oiya, Veni kenalin ini Arum sepupu ya Mario. Kemarin memang dia enggak datang ke Pernikahan kalian soalnya dia lagi di Jepang," ucap Dian mengenalkan Arum kepada Veni.
"Halo Kak Veni aku sepupu Kak Mario."
"Oh halo, Arum," ucap Veni dengan ramah sambil berjabat tangan.
"Oiya, Mario Mama mau ke tempat Paman kamu lagi nanti kamu ajak makan Arum ya atau ajak pergi aja ya."
"Oh gitu okedeh nanti ya soalnya lagi capek banget, kasian Veni juga capek, Ma," ucap Mario.
"Iya tapi ini Mama mau ke rumah Paman kamu. Kamu jangan tinggalin Arum di kamar terus ya."
"Enggak papa kok, Tante lagian juga Kak Mario sama Kak Veni juga baru pulang masa mau langsung jalan-jalan."
"Iya tapi nanti kamu bete di rumah. Yaudah nanti seterah kamu aja ya mau ke mana. Tante mau pergi dulu baru besok pulang kayaknya. Mario kalau bisa besok juga gausah kerja ya temenin Arum aja. Soalnya istri kamu masih kerja juga kan? Nanti dia di rumah sendiri."
"Eh, gausah Tante nanti aku malah repotin."
"Udah enggak papa. Yaudah Tante berangkat dulu." Mereka pun menyalimi Dian yang ingin pergi.
Setelah kepergian Dian, Mario mengucapkan sesuatu kepada Arum, "Rum aku sama Istriku mau istirahat dulu kalau kamu mau makan atau apa minta Bibi ya."
"Iya, Kak Mario."
"Ayo, Ven ke kamar."
"Arum aku tinggal ke kamar bersih-bersih badan dulu ya."
"Iya, Kak Veni." Veni dan Mario pun pergi kemarnya setelah berpamitan dengan Arum. Mario sebenernya merasa kalau seharusnya Arum tidak di sini.