Matahari yang telah bekerja keras seharian sudah mulai kelelahan. Perlahan pusat tata surya itu turun untuk beristirahat. Keempat pemuda yang berhasil mencapai puncak meski menggunakan tenaga mereka kini telah duduk menghadap ke barat.
Justin terus mengamati Hans yang hanya seorang manusia biasa. Dia merasa kalau pria muda itu tampak ada kejanggalan. Tapi karena Zack begitu akrab lambat laut kejanggalan itu mulai terkikis.
“Steve,” panggil Justin sambil berbisik. “Jika Hans tahu siapa kita sebenarnya, apakah dia akan kabur?”
Steve mengedikkan bahu, “Aku tak bisa berkomentar. Sebab tak mengerti isi hatinya. Sepertinya kita harus memberi tahu dia.”
Justin mendatangi Zack untuk minta air kepadanya. “Kita ambil benda itu sekarang. Takutnya para musuh bergerak cepat.”
Dahi Hans berkerut, “Mereka kalau siang hari pergi dan kembali malam hari. Kalian tak perlu khawatir mengenai hal itu.”
“Hey, Bocah. Aku mau bicara denganmu.” Justin menatapnya dengan pandangan sengit.
“Jangan melukainya.” Zack sangat khawatir melihat kondisi Hans. Apalagi banyak luka diseluruh tubuhnya. Sejak kapan naga itu peduli? Sepertinya hewan itu sudah banyak berubah.
“Baiklah aku ikut denganmu.”
Mereka pun berjalan sedikit menjauh untuk mulai pembicaraan. Justin menatap Hans dari atas sampai bawah. Perawakan yang mungil dan juga kurus membuat semua orang menaruh iba padanya, termasuk naga arogan itu.
“Aku rasa kau masih bersekolah,” kata Justin memulai pembicaraan.
“Salah..., umurku sudah dua puluh delapan tahun.” Hans tersenyum kepada Justin yang terlihat syok di matanya.
Bagaimana bisa orang sekecil dia berumur dua puluh delapan tahun? Lebih tua dariku. Sialan, aku tak bisa meremehkannya.
“Apa tujuanmu ikut dengan kami? Jujur saja, aku tak percaya padamu sama sekali. Kau bahkan rela ikut meski kita tak saling mengenal satu sama lain.” Bagi Justin itu sangat mencurigakan. Sambil menunggu matahari tenggelam, dia akan bertanya lebih kepada Hans.
“Kami adalah penduduk yang mengelola gunung ini. Jadi keberadaan kami berharga. Sayang sekali para penduduk sudah turun gunung menuju ke kota sehingga tak banyak orang yang tersisa.” Hans menundukkan kepala menatap kedua kakinya beserta tanah bebatuan itu.
Ah, dihadapkan hal seperti itu membuat Justin sedikit luluh. “Mereka semua yang tersisa, melarang kami untuk naik gunung.”
“Itu karena tidak ada yang mengetahui medan dengan baik kecuali keturunan keluargaku.” Hans mendongak dengan sedikit berteriak, “Maafkan aku karena terlalu semangat.”
Wajah polos dan juga tak bersalah sama sekali tersebut membuat Justin menghela nafas panjang. “Ada hal yang aku beri tahu padamu. Jika kau tak bisa menerimanya, kau bisa pergi.”
“Katakan..., aku siap mendengarmu.” Hans berdiri tegak dengan wajah serius menatap Justin yang membelakanginya.
“Kami bukan penduduk bumi. Tukuan kami datang ke bumi karena misi khusus.” Justin balik badan dengan cepat untuk melihat reaksi dari Hans. Tampak pria itu menganga lebar dengan tubuh sedikit gemetar. “Lalu, apakah kau masih sudi ikut dengan kami?”
“Kalian pasti berbohong. DI dunia ini, alien tak ada sama sekali,” ujarnya terlihat membuang muka ke arah lain. “Jika kau menakutiku, itu artinya berhasil.”
Justin tersenyum tipis menatap ke matahari yang telah teenggelap sempurna. Dia mengangkat kedua tangannya, sontak gempa terjadi meskipun pelan. Ketiga orang lainnya waspada. Begitu melihat Raja Adeus bertindak, Steve dan Zack bersikap tenang kembali.
“Apa yang terjadi?” tanya Hans dalam paniknya.
“Inilah kami yang sebenarnya,” jawab Justin. Ada air cukup besar terangkat ke tanah. Panjang sekali membuat Hans langsung terduduk lemas. Air itu kemudian turun perlahan, menyisakan sbola-bola kecil sebesar kelapa sebanyak tiga buah menuju ke arah Justin.
Ketiga air itu berputar-putar mengelilingi Hans yang masih syok atas tindakannya. Justin menjentikan jari seketika air langsung turun ke tanah. “Apakah kau sudah melihatnya? Bagaimana tanggapanmu?”
Hans diam membeku, menatap Justin, Steve dan juga Zack satu-persatu. Lidahnya kelu ketika hendak mengeluarkan suara, bahkan jantungnya juga ikut menggila lantaran ketakutan.
“Haruskah kau kembali ke rumah?” Justin jongkok menatap Hans.
“A-aku t-tidak, aku b-bersama kalian.” Akhirnya suaranya keluar begitu saja dengan lantang.
“Apakah kau yakin?” tanya Justin sekali lagi untuk memperjelas keputusan Hans. “Jalan kami masih panjang. Dan juga banyak bahaya di luar sana. Dengan adanya kau, beban kami bertambah sebab kau hanya manusia biasa.”
Hans menundukkan kepala, “Jika aku tak bisa ikut, kemana aku harus pergi?” Wajahnya di penuhi dengan kesedihan.
“Sudah..., biarkan dia ikut. Jangan ?menakutinya,” celetuk Zack karena sudah tak tahan.
Dasar naga bodoh, maki Justin di dalam hati.
“Terserah kau saja.” Justin berjalan duluan meninggalkan Hans yang masih duduk lemas di tanah.
“Kita ke pucnak sekarang.” Steve tidak sabar ingin mengambil bola jiwa elemen api itu. Sementara Zack langsung menghampiri Hans dan membantunya berdiri. Mereka pun menuju ke tebing puncak.
“Semuanya lava panas.”
Uap yang dihasilkan lava sangat panas. Lava yang berwarna merah bercampur orange membuat Hans bergidik ngeri. Apa jadinya jika seorang manusia jatuh kesana? Pasti langsung terbakar hebat.
“Wow...! Luar biasa... Aku tak sabar!” pekik Steve tertahan.
“Kita turun sekarang.” Justin tak mau menunda waktu dan langsung menggunakan airnya untuk terjun bersama dengan Zack. Sedangkan Steve yang maish berdiri di puncak menatap Hans yang terlihat ketakutan.
“Tenang saja. kau tak akan mati.” Steve mengeluarkan bola api di kakinya membuat Hans tambah ketakutan. Tidak menunggu kesedian pria itu untuk turun, dia langsung menariknya dengan paksa.
Hans sontak berteriak dengan nyaring meskipun Steve mengontrol kekuatannya untuk mendarat dengan aman. “Hey..., buka matamu,” katanya sambil tersenyum.
Nafas Hans memburu dan perlahan membuka kedua matanya. Sangat panas di sekitar lava meskipun ada beberapa bebatuann yang menjadi penghalang.
Justin pun langsung mengguyurkan airnya ke badan semua orang agar mereka tidak merasa kepanasan. “Kita cari benda itu.”
Zack berdiam diri, menatap sekitar untuk merasakan keberadaan bola kehidupan elemen api. “Sepertinya aku tak merasakan apapun.”
Justin menoleh, “Ingat kebencian yang kau alami. Penghianatan seorang teman.” Seketika itu kebencian Zack mulai terbentuk sedikit demi sedikit. Kalung yang ada di leher Raja Adeus bersinar terang.
Tidak hanya itu, dari bilik batu di tengah kubah lava terdapat sinar berwarna merah. “Di sana!” pekik Steve dengan penuh semangat. Mata mereka menatap ke arah sinar merah tersebut. Ternyata, bola kehidupan elemen api berada di tengah lava untuk menyerap esensi api sejati.
“Steve!” teriak Justin agar Steve muali bertindak. Benar saja, Raja Risius itu mengeluarkan tenaga untuk mengambil bola kehidupan elemen api.
“Sialan...! benda itu terlalu berat,” keluh Steve berupaya dengan keras agar boal tersebut terangkat, tapi tetap saja tak ada perubahan. Yang ada malah kelelahan.
“Gunakan tenagamu! Jangan lembek!” Justin mengolok Steve dengan kesal jadi pria itu meradang langsung mengeluarkan seluruh tenaga. Bola kehidupan elemen api pun ternagkat perlahan, tapi membuat efek begitu besar.
Terjadi gempa secara mendadak sehingga kubah lava goyah. “Turunkan kembali!” pinta Zack sambil melihat situasi dan kondisi medan sekitar.
Steve mengikuti perintah Zack. “Sepertinya jika kita mengambil benda itu, maka akan berdampak besar.”
Justin mengangguk, “Kita pikrikan solusinya bersama.” Mereka kahirnya berdiskusi mengenai cara pengambilan bola itu. Sedangkan Hans berdiri dengan pandnagan kosong sambil terus menatap ke tempat bola kehidupan eleman api.
Di waktu yang sama, markas Martin. Pria bertudung itu tersenyum. “Kalian pergi ke tempat itu sekarang. Mereka berhasil menemukan bola kehidupan elemen api. Lakukan tugas dnegan baik.”
“Mengerti, Tuan,” jawab mereka serempak, dan bergegas pergi melakukan misinya.
“Zack Winter..., kau tak akan bisa mendapatkan apa yang kau mau. Untuk mengalahkanmu, aku harus membiarkan dirimu mendapatkan bola itu. Tapi, secara bersamaan kau akan mati ditanganku,” tawa pria itu menggelegar memenuhi ruangan tersebut.
Bersambung