Zack tampak kacau dengan berkas yang ada ditangannya. Niken yang terus memantau sangat tenang, seperti genangan air. Sesekali, dia menyesap teh yang ada di tangannya. Ketika membaca selembar demi selembar berkas itu, pria tersebut dilanda pusing yang luar biasa.
“Aku tak bisa melakukan ini,” katanya sambil menaruh berkas tersebut.
“Kenapa? Uang sudah didepan mata.” Niken membuka koper yang sudah disiapkan.
Sialan, kenapa semua manusia harus membahas uang dan uang?
“Aku rasa, kau hanya perlu orang lain. Aku tak membutuhkan uang sama sekali.” Zack pergi meninggalkan Niken sendirian. Ia berpapasan dengan Emma yang sedang membawa boneka beruang dipelukannya.
“Bocah, kenapa kau tak mau bicara?” Langkah kaki Zack tiba-tiba berhenti saat sudah melebihi lima langkah. Pria itu bicara tanpa menoleh. Si gadis kecil itu pura-pura tak mendengar, memilih berlalu begitu saja.
“Sialan... aku seperti dipermainkan!” geram Zack tertahan. Emely yang melihat kepergian Zack terlihat senang.
“Aku rasa, dia memang tak cocok untuk Emma,” gumamnya jelas di dengar oleh Niken.
“Zack akan kembali. Aku yakin itu. Karena dia adalah pengasuh yang cocok.” Niken berdiri di samping Emely. “Kapan kau membuang egomu, Emely?”
“Dok, jangan mencampuri urusanku! Aku disini bekerja keras mempertahankan Geraldin Company,” bela Emely penuh percaya diri.
“Aku tahu, kau muak berurusan dengan semua berkas. Ingat Emely..., aku adalah dokter psikolog. Aku tahu apa yang kau pikirkan.” Niken tersenyum menatap Emely yang berwajah muram.
“Sebagai seorang tante, aku melakuakn yang terbaik untuk Emma. Tapi bukan berarti semua lulus kualifikasimu? Orang itu harus lulus kualifikasiku juga,” tutur Emely menyampaikan pendapat.
“Sejujurnya, kaulah inti masalah yang dihadapi Emma. Jika saja kau mempunyai waktu luang untuknya.” Sangat disayangkan, Emely tak pernah ada di rumah karena kesibukannya dalam mengurus bisnis yang ham[ir di ambang kebangkrutan. Selama dua tahun, gadis itu bekerja keras membangunnya kembali. Dan sekarang, perusahaan itu sudah stabil seperti sedia kala.
“Aku sibuk. Malam ini aku akan pergi ke Dubai. Kau urus segalanya saja.” Emely seakan lari dari kebersamaannya bersama Emma. Hal itu membuat bocah cilik tersebut merasa terkucilkan.
Dia yang menguping dibalik tembok tampak termenung cukup lama. Dalam hidupnya, kecelakaan yang terjadi akhibat kesalahannya. Jika saja malam itu mereka tak keluar, pasti orang tuanya akan selamat.
Emma pun pergi dari tempat itu, berjalan menuju ke taman belakang rumah. Para pelayan hanya bisa menemani, tanpa bicara satu kata pun. Percuma bicara karena gadis itu hanya diam saja, seolah tak menganggap orang sekitarnya ada.
Di waktu yang sama, Zack masuk ke dalam hotel dengan wajah ditekuk, kusut seperti alas kaki. Hans langsung menyambutnya dengan baik. “Apa yang terjadi? Kenapa kau membawa tasmu kembali?”
Justin yang mendengar Zack pulang langsung menyela. “Kau gila! Bagaimana kau bisa kembali kesini?”
“Aku tak bisa menerima pekerjaan itu. Kita cari solusi lain saja,” ucap Zack terlihat frustasi.
“Dia adalah kandidat yang cocok, Zack. Kau jangan merusak segalanya.” Justin sangat lelah dengan tingkah Zack yang super kekanak-kanakan.
“Aku tak bisa! Dia bisu... dan aku tak mau berada di dekat anak yang pasif. Lagi pula, aku memiliki dua pekerjaan. Wanita itulah yang gila?” Zack melempar tasnya ke atas sofa.
“Jika kau seperti ini, kau menunda waktu!” geram Justin cukup membuat suasana ruangan tampak suram.
“Apa kau bilang?” Mata Zack berwarna merah sehingga ruangan tampak memanas.
“Cukup!” sentak Steve merasa mode bahaya dari naga keras kepala itu.
Hans yang sebagai manusia biasa hanya bisa menonton mereka berkelahi dari jauh. Tak bisa ikut campur karena takut terkena imbasnya.
“Kalian duduk!” titah Steve dengan teriakan cukup memekakan telinga.
Dirasa sudah tenang, Steve mulai angkat bicara lagi. “Zack, kenapa kau tak setuju dengan keputusan Justin?”
“Karena bocah cilik itu sengaja tak mau bicara,” jawab Zack singkat menatap ke arah lain, alias membuang muka.
“Emma adalah anak tertutup pasca kecelakaan orang tuannya. Jika kita bisa membuka hati gadis itu, aku yakin keberadaan bola kehidupan elemen tanah akan terungkap,” jelas Justin. “Dia adalah gadis yang cocok. Ingat..., waktu kita tak banyak.”
Zack menghela nafas dengan kasar. Awam bagi pria itu mengenai sifat manusia. Dan ia kebingungan kalau mengatasi bocah yang tak mau bicara padanya.
“Aku ingin Hans menemaniku,” kata Zack dengan lirih. “Jujur..., aku tak bisa menangani hati manusia.”
“Kalau itu masalahnya, aku akan bicara dengan Niken untuk menambah pasal dalam kontrak. Kau bisa kembali ke rumah Emma sekarang.” Justin sengaja mengusir Zack. “Untuk Hans, dia datang setelah kontrak selesai.”
Zack hanya bisa diam, mengangguk patuh. Lalu keluar ruangan itu segera mungkin untuk mencari udara segar, bukan pergi ke rumah Emma. Steve yang melihatnya merasa pundak pria itu semakin berat. “Apakah kau tidak keterlaluan?”
“Bukannya kau bilang, balas dendam adalah hal bagus?” Justin pun mengirim pesan kepada seseorang, yang tak lain adalah Niken.
Planet Aques
Amerta masih berjalan dilorong gelap untuk menemukan pintu keluar. Begitu sampai di ujung lorong, tak ada pintu sama sekali. Yang ada hanya jalan buntu.
“Pasti ada tombol rahasia.” Amerta meraba-raba tembok dingin tersebut dalam waktu cukup lama. Ia sendiri sampai putus asa melakukan pekerjaan sia-sia.
“Sial... sebentar lagi sudah pagi.”
Sayangnya kekuatan yang dimiliki harus hilang karena ada harga yang dibayar untuk membuat ramuan pelepas jiwa.
“Aku hanya seorang manusia biasa sekarang.” Amerta putus asa, merasa tidak berguna sama sekali. Ketika ia bersandar di tembok itu, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak. Sontak pria tersebut langsung semangat dan mulai meraba dindingnya.
“Akhirnya...,” gumamnya penuh kelegaan taatkala dinding itu bergeser ke sisi kanan. Mata Amerta terkejut melihat beberapa peninggalan kuno yang ada di ruangan pengap tersebut.
“Jika Lanka mengetahuinya, apakah dia memanfaatkan benda-benda itu dengan bijak?” Saat hendak meneliti semua benda itu, ada sebuah pedang berada di samping kanan lehernya.
“Apa yang kau lakukan disini, Amerta?” tanya pria itu dengan aura dingin.
Kedua tangan Amerta langsung di angkat, “Aku tersesat.” Si pria pun berhadapan dengannya.
“Aku rasa, tujuanmu sangat jelas. Seornag penghianat hendak menjilat majikan barunya.”
Ah, semua perkataan pria yang merupakan salah satu dari sepuluh ksatria itu membuat Amerta ingin tertawa, tapi ditahan. Biarkan orang mengiranya sebagai penghianat, itu adalah hal yang layak.
“Terserah... lagi pula aku bukan urusanmu.” Amerta tersenyum tipis, membuat pria itu jengkel langsung mengeluarkan api dan langsung dilayangkan ke tubuhnya.
“Kau!” tunjuk Amerta sambil batuk seteguk darah. Proses penyembuhan tak akan berjalan karena bukan lagi pengendali. Pria itu pun merasakan sakit luar biasa.
“Manusia biasa!” pekik pria itu tak menyangka, mencari simbol air yang ada di tubuh Amerta. “Kemana simbol itu? Kenapa menghilang?” Dia sendiri tampak kacau. “Jawab aku Amerta!” sentaknya dengan nada tinggi sambil menarik kerah leher Amerta.
Amerta diam membisu, menyeka sisa darahnya yang berada di sudut bibir. Pria tersebut malah tertawa menggelegar, membuat si musuh kesal setengah mati. “Jawab aku!”
Tak ada yang pelru dijelaskan oleh Amerta mengenai kekuatannya. Hilang bukan berarti tak bisa hidup. Meskipun menjadi manusia biasa, ia masih tetap bisa bergerak bebas.
“Sialan!” Pria itu langsung melepaskan kerah Amerta begitu saja, pergi dengan penuh kemarahan yang membara.
Bersambung