Karin terdiam, tubuhnya menjadi kaku. Ia melihat ke arah detektif tersebut dengan wajah heran. “Mengapa Tuan berkata, seperti itu? Saya sama sekali tidak mengenal Tuan. Saya dan Ibu saya bukanlah orang Jakarta, mana mungkin bisa Ibu saya anda tuduh pernah berada di kota ini bersama dengan seorang pria yang mustahil ditemuinya!”
Ryan hanya diam saja mendengarkan. Ia melipat tangannya di depan d**a, sambil memberikan tatapan yang tajam kepada Karian dan detektif sewaannya.
“Hmm, Anda benar, sepertinya saya salah orang. Namun, wajah yang mirip bukan berarti memang benar Anda memiliki hubungan dengan wanita yang saya maksud,” sahut detektif tersebut.
Selanjutnya percakapan berganti dengan masalah lain dan Karin pun hanya diam saja mendengarkan percakapan tersebut. Sampai pada akhirnya, acara makan malam itu selesai juga.
****
Pagi-pagi sekali Karin sudah berangkat ke perusahaan Ryan, dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang memang dekat. Sesampainya di perusahaan, Karin duduk di depan meja kerjanya.
Ia menyiapkan materi yang akan disampaikan oleh Ryan pada saat rawat dengan staf di perusahaan tersebut. Ia tidak mau membuat Ryan menjadi kecewa, dengan laporan yang dibuatnya.
Beberapa jam kemudian, Karin dan Ryan memasuki ruang meeting dan Karin merasa, kalau ada seseorang yang terus saja memperhatikannya.
Ia pun melihat ke seluruh peserta yang hadir di ruang pertemuan tersebut. Dan tatapannya bertemu, dengan seorang pria paruh baya yang menatapnya dengan penuh kebencian.
‘Mengapa pria itu terlihat marah kepadaku? Aku tidak memiliki masalah dan tidak mengenalnya,’ batin Karin.
Pertemuan itu berjalan lancar dan sukses, sehingga membuat Ryan memberikan pujian kepada Karin. Akan tetapi, ia mengetahui, kalau ada yang salah dengan Karin, karena ia terlihat gugup dan takut.
“Kau bereskan berkas rapat dan antarkan ke ruanganku!” Ryan, kemudian berjalan keluar dari ruang meeting tersebut.
Mata Ryan melirik ke arah pegawai seniornya, yang terlihat memperhatikan Karin dengan mata yang menyala-nyala, karena emosi, tetapi ia tetap keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan Karin hanya berdua saja.
Setelah mereka hanya berdua saja, pria tua yang merupakan staf senior menghampiri Karin. “Apakah kau diperintahkan Ibumu untuk datang ke sini dan menghancurkan kami semua!” Pria itu, kemudian mencekal tangan Karin dengan keras dan kasar.
Karin merasa sakit pada lengannya yang ditarik dengan kasar oleh pegawai senior yang menarik lengannya. Ia menjadi terkejut dan tidak mengerti, dengan apa yang
dimaksud olehnya dan juga sikap kasar yang ditunjukkan pegawai senior itu kepadanya. Karin berusaha melepaskan cekalan pegawai senior itu pada lengannya. Namun, pegawai senior yang tidak Karin ketahui namanya itu, justru mempererat cekalannya di tangan Karin, hingga membuat ia meringis kesakitan.
“Saya tidak mengerti apa yang anda maksud tuan? dan mengapa anda bersikap kasar kepada saya, sementara saya sama sekali tidak mempunyai masalah dengan anda! Saya belum pernah bertemu dengan anda sebelumnya, Tuan. Namun, Anda bersikap seolah sudah pernah bertemu dengan saya dan sudah lama mengenal saya.”
Pria itu melepaskan cekalannya di tangan Karin dan berpindah memegang dagunya. Kukunya, menancap di dagu Karin, hingga terasa sakit. ia lalu mendekatkan wajahnya ke arah Karin, “Katakan kepadaku, kalau kau bukanlah anak dari Risa, bukan?” desis pria itu.
Belum sempat Karin menjawab perkataan pria itu, terdengar suara dengan nada dingin, “Dan katakan kepadaku apa maksud anda bertanya seperti itu kepada sekretarisku? apa yang coba anda perlihatkan dengan bersikap kasar kepadanya? Apa hubungannya dengan anda, kalau ia adalah putri dari Risa dan kenapa hal itu menjadi masalah untuk anda?” Berondong Ryan, dengan banyak pertanyaan.
Pegawai senior itu langsung menjauhkan wajahnya dan melepaskan cekalan tangannya di dagu Karin. Ia lalu membalikkan badannya dan bertemu dengan mata Ryan, yang bersinar dengan penuh kemarahan.
“Maaf Pak! saya tidak bermaksud untuk menyakiti sekretaris anda, hanya saja ia tidak mau menjawab pertanyaan saya dan hal itu yang membuat saya menjadi marah,” sahut pegawai senior itu.
Karin merasa lega dengan kedatangan Ryan. Ia melihat tangannya yang menjadi merah dan ada cap bekas tangan pegawai senior tersebut. "Dia berbohong, Pak! Lihat tangan saya? Kalau memang ia tidak ingin menyakiti saya, tidak mungkin ia dengan kasarnya memegang lengan saya, sehingga membuat tangan saya menjadi memar dan sakit," terang Karin, sambil memperlihatkan lengannya kepada Ryan.
Ryan melihat tangan Karin dan ia mengeraskan rahangnya. Ia tidak suka mengetahui, ada tindak kekerasan yang terjadi di perusahaannya. "Saya tidak akan membiarkan pria ini kembali menyakitimu Karin! Hanya karena ia sebagai pejabat senior di perusahaan ini, bukan berarti ia bisa bertindak seenaknya. Kalaupun, kamu dahulunya kalian berdua pernah ada masalah, kalian dapat menyelesaikannya secara baik-baik," kata Ryan, sambil mengedipkan matanya.
Karin melotot ke arah Ryan, ia mengerti maksud tersirat dari kata-kata Ryan barusan. Ia seolah menuduh dirinya menjadi kekasih dari pegawai senior tersebut. Dengan suara yang tertahan Karin berkata, "Bapak kok begitu sih? Saya tidak suka sama sekali!"
Ryan tersenyum sinis ke arah Karin dan berkata, "Saya tidak peduli kamu suka atau tidak!" Ia kemudian mengalihkan tatapannya kepada pegawai senior yang tadi menyakiti Karin.
“Dia sekretaris saya! dan tidak ada yang boleh menyentuh atau menyakitinya. Kalau anda memiliki masalah dengan ibunya, maka selesaikan urusan anda dengan ibunya, bukan dengan sekretaris saya!” peringat Ryan, dengan tatapan yang tajam.
"Saya tidak mau kejadian, seperti tadi terulang kembali dan sekarang, Bapak boleh kembali untuk bekerja."
Pegawai senior itupun berlalu dari hadapan Ryan dengan cepat, tetapi ia menyempatkan dirinya melihat ke arah Karin dan memberikan tatapan mengejek.
Begitu pintu ruangan meeting ditutup oleh pegawai senior yang tadi baru saja ke luar. Ryan membalikkan badannya dan mengambil tangan Karin yang menjadi merah. "Sayang sekali! Tangan sehalus ini diperlakukan dengan kasar. Karin, sekaranng cepat kamu kembali ke meja kerjamu dan buat laporan hasil pertemuan kita hari ini!” perintah Ryan dengan tegas.
“Siap, Pak!” Karin pun berlalu dari sana, melewati Ryan. Dalam hatinya ia merasa heran, Ryan bersikap melindungi dan membela dirinya. Ada apa dengan bos nya itu? karena biasanya ia bersikap kasar dan cuek kepadanya.
Sesampaiya ia di depan meja kerjanya, langsung saja Karin menyalakan komputernya dan membuat laporan dari pertemuan tadi. Saat ia sedang serius menngerjakan tugasnya, terdengar suara yang sudah sangat dikenalnya.
“Masuk ke ruangan saya, sekarang juga! lupakan soal laporan tadi.”
Karin mendongak dari layar komputer, “Maaf Pak, saya selesaikan dahulu membuat laporan ini, barulah saya datang ke ruangan Bapak,” sahut Karin.
“Kamu berani melawan perintah langsung dari saya?” bentak Ryan emosi.
“Maaf Pak, saya tidak melawan keputusan Bapak, bukankah apa yang sedang saya lakukan sekarang ini juga menjalankan perintah dari Bapak.” Karin pun dengan cepat menyimpan laporan yang baru saja dibuatnya dan berdiri dari duduknya.
Ryan membalikkan badannya dan berjalan dengan cepat masuk ke dalam ruangannya. Baru sekretarisnya yang sekarang ini saja, yang tidak menangis dan bergetar ketakutan, karena kemarahan yang diperlihatkannya, tetapi sekretaris barunya ini justru melawan dan tidak memperlihatkan rasa takut sedikitpun.
Tak lama kemudian, pintu ruang kerjanya diketuk dan masuklah Karin. Ryan pun mempersilakan kepadanya untuk duduk.
Selama sesaat yang singkat, hanya ada keheningan saja. Ryan mengamati Karin dari atas kepala, hingga ke badannya. “Apa pegawai senior tadi pernah naksir ibumu dan tidak kesampaian? melihatmu yang berada dekat dengannya tentu saja membuat ia menjadi mengingat masa lalu dan ia jatuh cinta kepadamu!”
“Apakah selama rapat tadi, kau melakukan sesuatu yang membuatnya menjadi tergoda kepadamu? tetapi kulihat kau mengenakan pakaian yang sopan dan tidak terbuka, kecuali kau memberikan kode rahasia,” ejek Ryan.
Karin mengepalkan kedua tangannya, ia tidak habis pikir dengan Ryan, “Bapak jangan sembarangan membuat tuduhan palsu, ya! saya tidak mengetahui alasan beliau melakukannya, Saya rasa, kalau Bapak perfikir seperti itu. Bapak tidak ada bedanya sama sekali, dengan pegawai senior tadi!” sahut Karin emosi.
Ryan tersenyum mencemooh kepada Karin, “Katakan kepadaku sekarang juga, siapa sebenarnya ibumu! Apakah kalian dahulunya pernah tinggal di Jakarta, sehingga pegawai senior tadi bersikeras kalau kamu adalah bagian dari orang yang dikenalnmya.”
Karin memasang wajah cemberut, pertanyaan Ryan membuatnya teringat pesan ibunya untuk tidak menyebutkan nama ibunya yang sebenarnya, juga tentang kehidupan mereka sebelum pindah ke Surabaya.
“Kenapa Bapak jadi penasaran dengan ibu saya? yang bekerja di perusahaan ini saya dan bukan ibu saya, lagipula tidak ada hubungannya sama sekali dengan kinerja pekerjaan saya. Itu, ‘kan, yang paling penting,” sahut Karin.
Ryan melotot tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Karin kepadanya. Ia lalu memukul meja kerjanya, sampai membuat Karin menjadi kaget.
“Saya tidak sedang bercanda! Apakah kamu melihat wajah saya tersenyum?” kata Ryan emosi.
Karin menjadi sedikit takut, dengan kemarahan yang barusan diperlihatkan oleh Ryan, “ dengan suara pelan, ia pun menyebutkan nama yang sekarang digunakan oleh ibunya.
"Nama ibu saya Martini dan ibu saya membuka toko kue kecil-kecilan, untuk menghidupi kami,” terang Karin.
“Begitu lebih baik! kamu mau berterus terang kepada saya dan tidak menyembunyikan apapun juga. Sekaran kamu boleh melanjutkan pekerjaanmu!” kata Ryan.
Karin pun berdiri dari duduknya dan kembali ke ruangannya, untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.
Begitu pintu ruang kerjanya sudah di tutup, Ryan mengambil ponselnya dan menghubungi detektif yang ia sewa. Begitu sambungan telepon sudah terhubung, ia pun berkata, “Aku mau kau mencari tahu tentang sekretarisku! selidiki latar belakang keluarganya dan terutama sekali ibu kandungnya. Aku akan mengirimkan alamat rumahnya di Surabaya melalui email.” Sambungan telepon pun di tutup oleh Ryan. Ia lalu mengirimka data pribadi Karin kepada detektif yang tadi diteleponnya.
Beberapa jam kemudian, Karin melihat jam dinding, sudah lewat beberapa menit dari waktu pulang. Namun, bos nya belum juga ke luar dari ruangannya. Ia teringat pesan dari bos nya, kalau ia tidak boleh pulang, sebelum bos nya itu ke luar dari ruangannya.
“Kenapa belum ke luar juga sih nih, bos? aku sudah lelah dan ingin istirahat,” gerutu Karin pelan.
“Baru dua hari bekerja sudah banyak mengeluh! kamu sudah saya peringatkan sebelumnya, bekerja dengan saya itu tidak mengenal waktu,” tegur Ryan mengejutkan Karin.
“Badan Bapak besar. kok saya tidak mendengar suara jalan Bapak? Bapak punya ilmu meringankan tubuh, ya?” tanya Karin.
Ryan hanya diam saja dan berjalan ke luar kantornya menuju lift. Karin dengan cepat mengambil tasnya dan berjalan menyusul Ryan. Ketika Karin hendak masuk ke dalam lift yang sama dengan Ryan. Bos nya itu menegurnya dengan galak, “Siapa yang memperbolehkan kamu satu lift dengan saya? Ini lift khusus hanya untuk pimpinan saja!” tegur Ryan.
Karin melangkah mundur, ke luar dari dalam lift, “Bukannya kemarin, saya masuk ke dalam lift yang sama dengan Bapak? dan Bapak sama sekali tidak keberatan! apa Bapak sekarang sudah tidak takut lagi sendirian di dalam lift? sementara kemarin itu, Bapak merasa takut, sendirian!" ledek Karin.
Ryan menatap galak Karin, ia menggertakkan giginya, hingga berbunyi, tanpa kata ia menarik Karin masuk ke dalam lift yang sama dengannya, “Kamu suka sekali memancing saya untuk mengajak berduaan saja denganmu. Sekarang katakan kepada saya, apakah kamu merasa takut? gugup senang? ataukah kamu justru merasa menjadi b*******h berada di ruangan yang sempit ini hanya berdua saja dengan saya?” tanya Ryan, sambil mendorong pelan tubuh Karin, hingga menempel ke dinding lift.
Matanya menatap tajam Karin, tanpa sorot kemarahan. Namun, sorot mata yang menggoda. Sebelah tangannya ia letakkan di d**a kanan Karin, tepat di mana jantungnya berdetak.
“Katakan kepada saya, Karin! mengapa jantungmu berdebar kencang dan matamu terlihat berembun?” bisik Ryan di telinga Karin