Nala mengerjap kedua mata, bingung pada pemandangan di hadapannya. Terbukti dari kerutan yang terpatri pada kedua alis gadis itu. Kedua tungkai Nala melangkah masuk ke dalam rumah. Tangannya menekan saklar lampu yang berada di belakang pintu sehingga suasana rumah yang awalnya gelap gulita kini berubah menjadi terang seketika.
Kerutan kebingungan Nala masih setia terpatri di kedua alisnya. Pasalnya, tidak biasanya sang ayah lupa menghidupkan lampu rumah. Bahkan tidak jarang Nala mendapat omelan dari pria setengah baya itu karena lupa menyalakan lampu teras jika ia pulang lebih dulu daripada ayahnya.
“Kamu ini … jangan dibiasakan lupa-lupa terus, Nala. Papa nggak suka lihat rumah dalam keadaan gelap.”
Seketika Nala tersenyum. Memori omelan dari sang ayah tiba-tiba melintas di dalam benaknya. Meskipun tegas dan minim ekspresi, tetapi Reno—ayahnya adalah sosok yang selalu mengusahakan apapun untuk Nala.
Sejak kecil, Nala hanya hidup berdua dengan ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak Nala berusia satu tahun. Namun, sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau Reno akan menikah lagi, padahal putrinya sudah memberi izin sejak beberapa tahun yang lalu.
Nala sadar, tidak mudah untuk membesarkan seorang anak sendirian. Namun, Reno mampu melakukannya. Pria setengah baya itu mampu membesarkan putrinya seorang diri hingga berprestasi gemilang, baik dalam akademik maupun non-akademik.
Nama Nala tidak pernah absen dari posisi tiga besar, bahkan hampir setiap tahunnya ia mendapatkan beasiswa sehingga ia tidak perlu membayar uang sekolah. Selain itu, Nala juga menjabat sebagai ketua OSIS saat SMP dan bergabung di tim basket inti saat SMA.
Meskipun berasal dari keluarga sederhana, tetapi hal itu tidak membuat Nala menjadi minder dan rendah diri. Gadis itu justru membuktikan bahwa dengan kerja keras dan usaha, semua orang bisa berprestasi.
“Nala, kamu dengar Papa ngomong apa dari tadi?”
Nala remaja mengangguk, padahal ia tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh ayahnya sejak tadi. Soal matematika di hadapannya lebih menarik daripada ocehan yang keluar dari mulut pria setengah baya itu.
“Dengar, Pa,” Nala menjawab dengan kebohongan.
“Oke, coba sekarang ulangi apa yang Papa bilang tadi,” titah Reno pada putrinya.
Ujung pensil Nala yang sibuk menari-nari di atas kertas lantas terhenti setelah mendengar perkataan ayahnya. Gadis itu mendongak, menatap ke arah Reno dengan ekspresi polos.
“Nala udah lupa, Pa,” ujar Nala berasalan sebelum menyunggingkan senyum selebar senyum keledai di film kartun.
Reno menjewer pelan salah satu telinga Nala dan membuat gadis itu pura-pura mengadu kesakitan, padahal hanya geli yang dirasakannya. “Dasar, Anak Nakal! Makanya kalau orang tua ngomong itu didengar, jangan malah asyik sama buku-bukunya. Sekali lagi kamu begitu, Papa sita semua buku pelajaranmu, ya,” ujar Reno dengan nada memperingati.
Nala terkekeh. Bukannya takut, gadis itu malah merasa lucu dengan kalimat ayahnya. “Pa, di mana-mana itu, orang tua justru sibuk mencekoki anaknya supaya rajin belajar. Ini Papa malah mau sita buku-bukuku,” celetuknya seraya menggeleng pelan.
Memori yang sempat melintas di dalam Nala itu perlahan memudar dan mengembalikan kesadarannya ke masa kini. “Papa, Nala pulang …,” kata gadis itu dengan volume suara sedikit keras agar sang ayah dapat mendengarnya.
Tangan Nala mengunci pintu rumah. Setelah memastikan aman, gadis itu melangkah memasuki ruang makan. Tangan gadis itu menekan saklar di dekat kulkas hingga suasana ruang makan yang awalnya temaram langsung berubah terang. Tidak menemukan ayahnya di sana, kedua tungkai Nala melangkah lebih dalam menuju taman di belakang rumah, tetapi sosok yang dicarinya tidak ada di sana juga.
“Papa belum pulang, ya?” gumam Nala bertanya pada dirinya sendiri sambil berdiri di tengah ruang makan.
“Nala, itu lampu ruang makannya dibuka dong,” kata Reno yang baru pulang kerja. Pria itu bahkan masih berdiri di ambang pintu ketika memberi titah pada putrinya.
Nala menatap ayahnya dengan hidung yang mengerut. “Kalau ruangannya nggak dipakai, ya, nggak usah dihidupin lampunya, Pa. Hitung-hitung penghematan biaya listrik,” balas gadis itu.
“Nggak ada konsep begitu,” tolak Reno, tidak setuju dengan ucapan putrinya. “Kalau nanti Papa udah nggak ada, rumah ini pasti gelapnya kayak rumah hantu karena pemiliknya malas hidupin lampu,” lanjut pria setengah baya itu meledek dengan nada jenaka.
Nala berdecak, tidak suka dengan ucapan ayahnya. “Ih, Papa ngomong apa, sih. Siapa yang nggak ada?! Orang nanti Papa bakal lihat aku nikah dan gendong cucu-cucu yang lucu.”
Nala ingat, itu adalah percakapan di malam sebelum ia memasuki kelas satu SMA—artinya itu sudah dua tahun berlalu.
Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang ingin bertemu dengan sosok ayahnya sekarang juga, kedua tungkai Nala menuju ke kamar ayahnya yang tidak jauh dari area ruang makan. Kamar pria setengah baya itu berhadapan dengan kamarnya.
“Nggak mungkin Papa belum pulang. Orang mobilnya udah ada di depan,” gumam Nala bermonolog pada diri sendiri sebelum mengetuk pintu kamar ayahnya beberapa kali.
Tidak mendapatkan respon dari dalam sana, Nala memutar gagang dan mendorong pintu hingga terbuka. Suasana kamar ayahnya tampak remang-remang, sementara sang pemilik kamar berbaring di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi sampai sebatas lehernya.
Nala duduk di tepi ranjang ayahnya, menatap sosok yang sudah tidak lagi muda itu dengan perasaan haru. Tangannya terangkat, menyentuh punggung tangan Reno sambil memanggil, “Pa ….”
Tidak ada respon dari Reno. Pria setengah baya itu tetap bergeming, padahal biasanya dengan gerakan kecil saja sudah mampu membangunkannya dari tidur.
“Pa …,” panggil Nala sekali lagi, tetapi kali ini diiringi dengan goyangan pada lengan ayahnya. Berpindah, kini gadis itu mengguncang tubuh Reno, tetapi sosok itu tetap bergeming di tempat.
Nala heran. Tidak biasanya ayahnya susah untuk dibangunkan. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk menepuk pelan salah satu pipi Reno. Namun, ketika telapak tangannya bersentuhan dengan pipi sang ayah, Nala langsung merasakan sesuatu yang aneh. Telapak tangannya terasa dingin.
Kening Nala mengernyit bingung, sementara tangannya memberikan belaian pada pipi ayahnya yang terasa dingin. “Papa?” panggil Nala sekali lagi. Kali ini ia memberikan guncangan yang cukup kuat pada tubuh ayahnya.
Jari telunjuk Nala menyentuh bagian atas bibir ayahnya, menempel tepat di bawah hidung untuk mengecek pernapasan pria setengah baya itu. Jantung Nala seperti berhenti berdetak selama beberapa detik ketika jarinya tidak menemukan hembusan napas ayahnya.
“PAPA!” Nala berteriak histeris. “Bangun, Pa!” Gadis itu memeluk tubuh yang terbujur kaku itu sambil menempelkan telinga di d**a ayahnya. Namun, ia sudah tidak mendengar suara detak jantung di sana.
“Kenapa Papa ninggalin Nala sendiri?” tanya Nala dengan suara serak bercampur tangis. “Nala nggak punya siapa-siapa lagi sekarang,” bisik gadis itu.
Sejak hari itu, Nala sendirian. Benar-benar sendirian di alam semesta yang kejam ini.