Prologue

1116 Kata
Enola atau yang biasa dipanggil Nala tampak menghela napas beberapa kali. Gadis itu menatap ke arah kafe di seberang sana dengan tatapan gugup. Tangannya yang sudah mulai berkeringat sejak tadi, kini saling meremas, berharap dapat sedikit meredakan kegugupannya, sementara kedua tungkainya tidak berhenti berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Beberapa orang yang melewati gadis itu bahkan tidak segan melayangkan tatapan heran dengan kening yang mengerut ketika melihat aksinya, “Ayolah, Nala. Kalau bukan sekarang, mau kapan lagi?” Nala bergumam pada dirinya sendiri sembari menatap ke arah kafe di seberang jalan. Gadis itu menarik napas panjang kemudian membuangnya lewat mulut. “Nala, you can do it. Now or never!” Bisikan itu seperti mantra untuk dirinya sendiri. Terbukti setelah mengucapkan kalimat itu, kaki Nala mulai melangkah menyebrangi zebra cross yang membentang di sepanjang jalan untuk menuju kafe yang ditatapnya sedari tadi. Begitu sampai di depan pintu kafe, tangan Nala tidak langsung bergerak mendorong pintu berbahan kaca di depannya. Gadis itu bergeming sejenak di tempatnya untuk meredakan gemuruh di d**a. Setelah memantapkan diri, barulah gadis itu mendorong pintu kafe dan masuk ke dalam. Kedua tungkainya langsung menuju ke salah satu meja yang tidak jauh dari pintu masuk. “Hai, Mas Devgan,” sapa Nala ceria pada seorang pria yang sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu kemudian menarik kursi kosong hingga keduanya duduk saling berhadapan. “Maaf, aku telat,” tambah gadis itu. “Hai, La … nggak masalah. Aku juga belum terlalu lama di sini,” balas pria bernama Devgan itu dengan senyum tipis yang terpatri di bibirnya. “Elmira mana? Aku kira kalian ke sini bareng.” Nala menggeleng. “Aku sendirian aja, nggak sama Mira. Dia lagi sibuk sama organisasinya di kampus,” jelas gadis itu. Devgan mengangguk lalu mendorong pelang buku menu ke hadapan Nala sambil berkata, “Pesan dulu, La.” Buku menu itu diterima oleh Nala. Gadis itu tidak butuh waktu yang lama untuk menentukan menu apa yang ingin dipesannya. Setelah menyebutkan menu pesanannya pada pramusaji, tatapan Nala kembali mengarah ke depan, berhadapan dengan Devgan. “Kamu nggak kuliah hari ini?” tanya pria itu. Sekali lagi Nala menggeleng. “Hari ini ‘kan Sabtu, jadi nggak ada kelas. Kalaupun ada, biasanya cuma kelas pengganti aja,” jawab Nala menjelaskan tanpa melepaskan pandang dari wajah pria berusia 27 tahun di hadapannya. “Gimana kuliah kamu?” “Ya, gitulah, Mas. Kadang seru, kadang capek, tapi lebih banyak stres-nya, sih,” jawab Nala mengeluh. “Pengen nikah aja biar nggak usah stres mikirin kuliah,” lanjut gadis itu dengan nada jenaka kemudian terkekeh kecil setelahnya. Percakapan sepasang anak manusia itu mengalir begitu saja. Memang ini bukanlah pertama kalinya Devgan dan Nala makan siang bersama. Bahkan, bisa dibilang keduanya cukup sering menghabiskan waktu bersama. Devgan sudah menganggap Nala seperti adiknya sendiri—Elmira, sementara Nala sendiri memang sudah lama menyimpan rasa pada pria itu sehingga senang-senang saja menerima ajakannya. “Kenapa?” tanya Devgan heran ketika melihat Nala yang tampak tidak nyaman di tempatnya. Gadis itu bergerak-bergerak bagaikan cacing kepanasan sambil meremas tangannya beberapa kali, sementara keningnya pun tampak sedikit basah dan mengucurkan keringat. Nala menggeleng pelan lalu menjawab, “Nggak apa-apa kok, Mas.” Gadis itu menatap pada Devgan yang sedang menyeruput minumannya dengan sedotan. “Mas …,” panggil gadis itu dan sukses membuat Devgan mengangkat kepala dan menatap lurus padanya. “Hmn …?” Devgan membalas dengan dehaman, seolah bertanya ada apa gadis itu memanggilnya. “Hari ini malam minggu loh,” kata Nala tanpa langsung menuju pada inti pembicaraan. “Ya, terus?” tanya Devgan yang tahu bahwa gadis di hadapannya belum selesai berbicara. “Mas nggak keluar sama pacar? Atau gebetanlah setidaknya?” Nala berusaha mengorek informasi, mengingat Devgan sangat jarang memberitahu urusan pribadinya. Devgan menggeleng santai. “Nggak. Mas nggak punya pacar. Lagi pula, pacaran juga cuma buang-buang waktu dan tenaga aja, La,” jawab pria itu menjelaskan tanpa menyadari ada sedikit ekspresi kecut yang terlukis di wajah Nala. Rasanya seperti ada tikaman dari tangan tak kasat mata yang menghujam d**a Nala setelah mendengar penuturan Devgan. Gadis itu menunduk sejenak sambil menghembuskan napas, berharap sesak di dadanya dapat berkurang. Susah payah ia memupuk keberaniannya sebelum memasuki kafe ini, tetapi semuanya lenyap tidak bersisa hanya dengan mendengar kalimat yang meluncur dengan begitu lancarnya dari mulut Devgan. Jangan jadikan omongannya sebagai alasan untuk mundur, Nala, batin Nala memperingati dirinya sendiri. Nala mendongak, kembali menatap tepat di mata Devgan. “Aku suka sama Mas dari dulu. Sejak aku pertama kali main ke rumah,” ujar gadis itu dengan mantap. Nala takjub pada dirinya sendiri. Ia bahkan tidak sempat memikirkan kalimat seperti apa yang ingin dilontarkan pada Devgan. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Gerakan Devgan yang sedang mengelap peralatan makan dengan tisu sontak terhenti setelah mendengar kalimat Nala. Pria itu membalas tatapan Nala, sementara kedua tangannya meletakkan peralatan makan bersisian dengan piring. “Mas udah anggap kamu adik, Nala, sama seperti Elmira,” kata Devgan pelan. Bibir Nala membentuk senyum kecut. Sedikit banyak gadis itu sudah dapat menebak respon Devgan setelah ia menyatakan perasaannya. Namun, Nala tidak menyangka bahwa kalimat yang secara tidak langsung berisi penolakan itu akan terasa menyakitkan seperti ini. “Maaf,” bisik Devgan. Hanya itu yang mampu keluar dari mulut pria itu. Kedua indra penglihatan Nala tiba-tiba terasa panas. “Aku nggak punya kesempatan sama sekali, ya, Mas?” tanya gadis itu dengan nada penuh pengharapan. Susah payah Nala menahan suaranya agar tidak terdengar serak. Devgan menggeleng pelan. “Maaf, Mas belum ada pikiran untuk menjalin hubungan dengan seseorang, La,” jawab pria itu. Nala mencoba tersenyum, meskipun dadanya terasa perih seperti luka basah yang ditabur garam. “Oke, nggak apa-apa, Mas. Nala ngerti kok,” kata gadis itu seraya mengangguk kecil. “Kalau gitu, Nala pamit dulu, ya,” lanjutnya. Tanpa menunggu jawaban Devgan, Nala segera bangkit berdiri dan pergi meninggalkan pria yang terpaku seorang diri di tempat duduknya. Bersamaan dengan kaki yang melangkah keluar dari kafe, bulir air mata jatuh membasahi kedua pipinya. Nala sudah berusaha. Segala macam cara telah ia lakukan agar Devgan melihat ke arahanya. Terkadang Nala merasa pria itu memperlambat langkahnya dan mulai membuka pintu untuk mempersilahkan Nala masuk ke dunianya, tetapi sedetik kemudian pria itu akan berlari jauh meninggalkan Nala seorang diri di belakangnya. Selama ini Nala selalu memberikan dukungan pada dirinya sendiri untuk mengejar Devgan. Namun, kini ia sadar bahwa pria itu tidak akan pernah diraihnya. Sudah cukup harapan palsu yang membuatnya terjebak dalam delusi yang tak berkesudahan. Langkah kaki Nala berhenti. Kepalanya mendongak untuk menatap langit sore mulai tampak mendung, seolah memahami keadaan hatinya saat ini. “Setidaknya kamu mencoba. Supaya tidak ada penyesalan di masa depan,” gumam Nala pada diri sendiri sebelum melanjutkan langkahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN