Engagement

1855 Kata
             Sam menghela napas berat, entah sudah yang keberapa kalinya ia menghela napas sejak tadi, kira – kira, ia akan cepat mati jika begini terus. Jujur saja, ia bingung. Kenapa ia harus menjalani hidup yang seperti ini? Terjebak didalam sebuah kemampuan yang membuat dirinya semakin menjauh dari orang – orang disekitarnya. Dia sebenarnya tidak bermaksud menyalahkan takdir, apalagi berani menyalahkan Tuhan. Tapi akhir – akhir ini dia merasa takdir benar – benar mempermainkannya. Semua yang terjadi didalam kehidupannya sendiri, ia sebenarnya yakin jika semua hal ini, tidak lain pasti akibat dari ulahnya sendiri. Masalahnya adalah, Sam tidak mengerti, ulahnya yang mana yang membuat ia harus terjebak bersama kemampuan aneh ini?             Omong – omong soal kemampuan, sampai sekarang Sam bahkan belum menemukan alasan kenapa hanya Helga dan Fleur yang tidak bisa Sam lihat angka kebohongannya. Entah sudah berapa hari sejak ia memutuskan untuk mencari tau. Masalahnya, setiap kali ia ingin mencari tahu, ada saja masalah lain yang muncul. Keadaannya seakan – akan melarang Sam untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. Situasi sekarang bertambah kacau. Belum selesai satu masalah, masalah yang lain datang lagi. Semua masalah itu benar – benar memenuhi kepala Sam sampai rasanya mau meledak. Pusing, sakit, dan Sam berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi, sehingga saat besok ia bangun, ia sudah kembali pada kehidupannya yang sempurna.             Bohong kalau Sam bilang ia baik – baik saja. Malahan, sebenarnya mungkin lambat laun Sam mulai merasa sakit. Bisa disebut sakit jiwa. Benar ‘kan? Apalagi sebutannya? Sam benar – benar merasa mungkin beberapa waktu kedepan ia akan menjadi gila jika menghadapi masalah – masalah ini terus – menerus. Ia masih remaja, 17 tahun, yang pada masa itu seharusnya bebas bersenang-senang menikmati masa remaja sembari pelan-pelan memikirkan karier masa depan. Dan apa yang didapatkan Sam saat ini? Masalah dan masalah terus-terusan. Untuk pertama kalinya, Sam butuh seseorang yang dapat mengerti keadaannya.             Narcissa?             Entahlah, Sam bahkan tidak yakin dengannya lagi. Bukan, ia tidak pernah sedetikpun mengenyahkan sosok gadis itu dari kepalanya selama ini, tapi belakangan sosoknya mulai sirna seiring berjalannya waktu. Tidak seperti awal pertemuan mereka, yeah sebenarnya awal ia menemui Narcissa, entah kenapa sekarang ia tidak lagi merasa begitu nyaman dan tenang didekat gadis itu. Apakah, yang dirasakannya belakangan ini membuat perasaan pedulinya kepada Narcissa mulai pudar? Narcissa tidak salah apapun, sungguh. Hanya saja… entahlah, Sam tidak bisa mengatakannya.             Ayah dan Ibunya?             Apalagi mereka. Jangankan menceritakan masalahnya, mengenai kemampuan aneh nya saja mereka tidak tau. Jika Sam bercerita maka kedua orang tua nya otomatis juga akan tau soal kemampuannya. Mudah ditebak, setelah kedua orang tuanya mendengar kalau Sam memiliki kemampuan aneh, pasti ibunya akan menangis terisak, kemudian dengan cepat ayahnya akan menelepon psikiater dan voila! Sam pasti dianggap kurang waras. Sejujurnya, Sam juga merasa kewarasannya terganggu belakangan ini. Tapi, hey ia tidak gila dan tidak memerlukan psikiater.             Atau……… Stefan?             Memang benar jika Stefan mengetahui perihal kemampuan anehnya, tapi Ingatlah bahwa hubungan Sam dengan Stefan sedang dalam masa terburuk. Sebelumnya, Stefan tidak pernah marah kepada Sam, ia selalu mengalah dan bahkan menganggap kata – k********r Sam hanya sebagai lelucon saja. Hingga terakhir kali Sam membentaknya dan mengatai ia rendahan. Apa Stefan sensitive dengan kata  “Rendahan”? omong – omong soal Stefan, sebenarnya Sam tidak pernah tau latar belakang keluarganya. Bukannya ia penasaran, ia sebenarnya hanya ingin tahu saja tentang keluarga anak itu. Pernah suatu kali Sam bertanya tentang orang tuanya, dan Stefan hanya tersenyum kemudian berusaha mengalihkan pembicaraannya. Sam sadar jika Stefan berusaha mengalihkan pembicaraannya, tapi Sam juga tidak terlalu mau tahu, jadi ia tidak mempermasalahkannya.             Terakhir yang menjadi keterkejutannya, hanya ketika dengan seenak jidatnya Helga berkata lantang bahwa Stefan adalah adiknya. Adik dari mana? Hanya itu pertanyaan yang berputar dikepala Sam setiap kali mengingat fakta itu.             Opsi terakhir adalah… Helga?             Memang benar jika Sam dan Helga itu dekat. Bahkan sudah seperti saudara kandung. Tapi, Helga itu juga menjadi objek permasalahannya saat ini. Mana mungkin Sam mau bercerita kepadanya. Kalau seperti itu, ibaratnya dia mencuri tapi berusaha menampakkan diri. Lagipula, Sam masih shock mendengar Helga bilang jika Stefan adiknya. Dan untuk sementara waktu, demi menghindari mulutnya sendiri yang nantinya mungkin reflek bertanya aneh – aneh lebih baik ia menghindari Helga untuk sementara waktu. Sam tidak terlalu suka mendekati objek penelitiannya sendiri, ia lebih suka mengamati sesekali dan tanpa diketahui.             Aaaaakkkkkkh……!!!             Lalu siapa lagi orang yang bisa mengerti Sam? Ingatkan Sam bahwa ia tidak memiliki cukup teman dikehidupannya. Bukankah itu keinginannya sendiri ‘kan? Sam memang malas memiliki teman, berisik dan merepotkan. Apakah definisi teman memang seburuk itu? Sam memang bukan type yang umum. Padahal jika diingat – ingat, sepertinya Sam tidak memiliki trauma mendalam hanya karena “Teman”. Ah, kalau masalah teman – teman yang penjilat? Itu sudah biasa bagi Sam. Hidup dalam lingkungan keluarga orang – orang berada pasti sudah biasa bagi Sam untuk menjadi pusat perhatian.             Kenapa Sam tidak mau punya teman? Alasan yang entah sejak kapan mampir dihati Sam hanyalah, ia tidak ingin ditinggalkan. Itu saja. Drama? Entahlah. Hanya, Sam merasa jika ia memiliki teman, suatu saat ia pasti ditinggalkan. Sebenarnya alasan ini agak membingungkan. Ditinggalkan yang bagaimana yang dimaksud oleh Sam. Jika berpikir secara logis, sudah pasti tidak akan selamanya seorang teman akan bersama kita. Kecuali, jika Sam menikahi temannya itu. Sepertinya bukan ide yang buruk. Tapi bagaimana jika temannya laki – laki? Sepanjang yang Sam ingat, dirinya masih belum pernah tertarik kepada sejenisnya.             Berputar – putar dengan pikirannya sendiri membuat kepala Sam migrain. Ia menghela napas berat, kemudian mengurut pelan pelipisnya. Tanpa dirasa, waktu pesta dikediamannya tinggal tiga jam lagi. Ah, sudah berapa lama ia larut dalam lamunannya sendiri?             Sam beranjak dengan malas menuju kekamar mandinya. Tubuhnya terasa berat dan sangat malas untuk digerakkan. Apa ia pura – pura sakit saja ya supaya dia tidak harus mengunjungi pesta nya?             Sam pikir itu ide yang buruk. Ia baru ingat jika ibunya itu suka bertingkah berlebihan jika menyangkut kata “Sakit”. Sebenarnya hanya kekhawatiran seorang ibu, dan Sam tidak menyalahkannya. Hanya saja, rasa khawatir ibunya memang sangat tinggi. Sam terbiasa menjadi satu – satunya penerima kasih sayang dikeluarganya. Orang lain mungkin menganggapnya hanya anak manja yang suka bersembunyi dibalik punggung ayahnya. Jujur, Sam juga tidak menyangka orang tuanya mengizinkannya untuk tinggal jauh dari rumah, walau dengan berbagai usaha paksaan halus darinya juga sih. . .             Drrrrrrrrrrrt…! Drrrrrrtt…!             Sam mengurungkan niatnya untuk beranjak kekamar mandi. Di pungutnya telepon genggamnya yang tergeletak dimeja belajar.             Mom             Sam meniup poninya sebal. “Hallo” sapa nya dingin.             //”Hay sayang, kau sudah bersiap?”// Suara ceria diseberang telepon menambah kadar kekesalan Sam saja. Bukannya ia tidak suka jika ibunya menjadi ceria dan bersemangat begitu. Ah, Sam jadi berpikir apakah ibunya sudah tidak peka lagi terhadap nya? Ck, melankolis sekali.             “Mau mandi Bu.” Jawab Sam cuek.             //”Hah? Kau baru mau mandi sayang? Oh, kau lambat sekali. Sudah berapa lama kau tidak belajar tata karma dan menghemat waktu eh?”//             Sam memejamkan matanya kesal, kemudian membuang napas dengan gusar. “Kenapa ibu ngotot sekali aku harus kesana sih?” Tanya Sam kesal.             Sam bersumpah, ia mendengar ibunya terkikik geli dari seberang telepon.             //”Sudahlah, kau datang saja. Berpakaian yang rapi dan tunjukan wibawamu nak.”// Nasehat nyonya Lily kemudian tanpa salam apapun dia menutup sambungan teleponnya.             Sam mendengus kesal. Ia melempar telepon genggamnya ke tengah tempat tidur. Sam mendudukkan dirinya ditepian tempat tidur, terkadang ia bingung kenapa ia sebegini kesal juga dengan yang namanya pesta. Oke, alasannya memang ia tidak suka keramaian, ia tidak suka dipuji – puji didepannya seakan – akan adalah dewa. Halah, mereka berbicara baik dan menyanjung nya hanya didepannya saja ‘kan? Sedangkan jika mereka dibelakangnya, siapa yang tau?             Sam menggelengkan kepalanya kasar, kemudian dengan terpaksa menuju kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya sekalian menenangkan pikiran sejenak.             Selesai dengan ritual mandinya, Sam mematut dirinya didepan cermin. Setelan jas serba hitam serta rambutnya yang tertata rapi. Sempurna—jika saja Sam tidak perlu melihat deretan huruf diatas kepalanya.             Ah, kalau begini Sam jadi teringat lagi dengan Helga dan Fleur. Apa mungkin, malam ini ia dapat mencari tau mengenai masalahnya ini? Jujur saja, intensitas pertemuannya dengan Helga sangatlah minim. Apalagi dengan Fleur, kalau ia tak salah ingat, hanya dua kali mereka bertemu.             “Ah, sudahlah.” Sam segera beranjak. Kemudian berangkat ke kediaman keluarganya. Tumben sekali ibunya tidak menyediakan jemputan. Meski itu bukan masalah juga sih. . .             Seperti yang Sam duga. Suasana pesta yang menyebalkan. Ramai, berisik dan penuh sanjungan menjijikkan. Sam tetap memasang wajah datar saat gadis – gadis memekik kegirangan melihatnya berjalan. Gadis – gadis aneh. Sebenarnya, siapa saja yang diundang ibu nya hingga sampai seperti pesta akbar begini? Tidak ada yang Sam kenal sama sekali.             “Hay sayang. Kau terlihat tampan.” Sapa nyonya Lily sambil mengecup pelan pipi kiri Sam. Sam hanya tersenyum tipis. Tuan Evan menepuk bahu Sam sambil tersenyum lembut. Sam hanya mengangguk singkat.             Sam melihat ke belakang ibunya. Dilihatnya Helga dan Fleur disana. Helga tetap pada gaya santainya, ia bahkan tidak memakai gaun. Dan… Fleur, dia memakai gaun berwarna biru selutut, rambut pirangnya yang tidak terlalu panjang jatuh dikedua sisi – sisi bahunya, iris matanya yang biru cerah menampakkan kegembiraan walau tetap terbalut dalam ke-anggunan. Cantik sekali. Tapi tetap saja Sam tidak tertarik.             “Hallo adik sayang.” Sapa Helga ceria sambil merangkul bahu Sam. Sam memandang nyalang kepada sosok yang dengan seenaknya merangkulnya.             “Lo tau nggak kenapa tante Lily bersikeras supaya lo datang?” Tanya Helga sambil berbisik.             “Nggak.” Jawab Sam dingin.             “Ayolah, jangan dingin begitu. Lo beneran nggak penasaran nih?” Tanya Helga lagi.             Sam memutar bola matanya bosan. “Dan kenapa gue harus penasaran?”             Helga menghela napas pelan. “Lo ingat dengan Lucinda nggak?” Tanya Helga pelan sekali.             “Tentu saja ingat. Dia adik sepupu kita.” Jawab Sam geram.             “Lucy dan Ren akan bertunangan malam ini.” Kata Helga enteng.             Sam tersedak minumannya. “Uhuk! A—apa? Bertunangan? Lucy masih SMP, gue rasa itu bukan lelucon yang bagus deh.”             “Gue pikir juga bukan ide yang bagus. Apalagi pemuda bernama Ren itu, uh gue rasa bukan pemuda yang baik.”             “T—tunggu, Ren itu…?”             “Ah, itu tuh, dia orangnya.” Tunjuk Helga kepada pemuda tinggi dengan wajah menarik yang sedang tersenyum kepada gadis – gadis.             “Dia kan…”             “Lo kenal dia? Gue dengar kalian satu sekolah ‘kan?”             Apa – apaan ini? Cowok cantik itu mau menikahi adik sepupu nya yang sudah lama akrab dengannya. Lucinda masih SMP, dan ia harus bertunangan dengan cowok b******k seperti Ren? Dan kalau tidak salah ingat, bukankah Ren mengincar Narcissa? Apa sebenarnya tujuan Ren?             Sam mengepalkan tangannya kuat – kuat. Ia memandang tajam kearah Ren yang kemudian berbalik menatapnya. Sam bersumpah ia melihat Ren menyeringai penuh kemenangan terhadapnya. Ren berjalan menuju kearahnya, kemudian dengan senyuman palsunya ia memeluk Sam.             “Bersiaplah tuan muda.” Sam bergidik ketika merasakan napas Ren ditelinganya.             Apa – apaan tadi? “Bersiaplah”? bersiap untuk apa? Sam merasakan firasat buruk, dari pertunangan Lucinda dengan Ren. Namun ia berharap jika firasatnya tidak benar. ----
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN