Happy reading
***
Ocha memeluk tubuh Damian dari belajang. Motor Damian menjadi membelah jalan, menjadi pusat perhatian orang di jalan padahal mereka hanya berjalan santai tidak ngebut. Ocha tahu bahwa orang pasti menatap motor yang dikenakan oleh Damian.
Semua orang pasti berasumsi bahwa pemiliknya adalah orang kaya raya, sukses dan bukan sekedar orang biasanya. Motornya sendiri saja melambangkan kesuksesan dan kemakmuran. Ia tidak berkata macho dan keren, soalnya itu penilaian sendiri.
Tapi sebenarnya ia lebih bangga jika ia menunggangi kuda besi berumur puluhan tahun, dengan sejarah yang panjang dan legendaris dibanding motor ini. Ah, bisa-bisanya ia membandingkan kuda dengan motor Harley milik Damian. Pria itu saja memiliki hobi berkuda, sudah ia pastikan bahwa pria itu memiliki hewan peliharaan itu.
Damian menghentikan motornya di lampu merah, ia memegang paha Ocha secara perlahan. Ia melihat tangan Ocha masih melingkar di sisi pinggangnya dengan erat. Damian menoleh ke belakang, ia menatap Ocha yang bersandar di punggungnya.
“Kenapa?” Tanya Ocha.
“Mau minum apa?”
“Mau chatime.”
“Chatime itu di mall?”
“Enggak kok, ada tuh outlet nya di tepi jalan, enggak mesti di mall.”
“Itu outletnya di mana?” Tanya Damian lagi.
“Di Cilandak, di tepi jalan, nanti aku tunjukin.”
Damian mengangguk, “Yaudah, oke.”
“Tapi aku laper,” ucap Ocha lagi.
Damian tertawa, ia mengelus punggung jemari Ocha yang berada di sisi pingangnya, “Mau makan apa?”
“Mau makanan Jepang gitu.”
“Yaudah kita cari ya,” ucap Damian, ia melihat lampu hijau menyala, ia meneruskan perjalananya menuju outlet chatime.
“Mau makan di blok M, disitu banyak restoran Jepang?” Ucap Damian.
Ocha mengangguk, “Iya boleh.”
Ocha masih memeluk tubuh Damian, menaruh wajahnya di punggung mengendus aroma yang menenangkan, “Ini kita sebenernya mau ke mana sih?” Tanya Ocha penasaran.
“Muter-muter aja keliling Jakarta, terus kita ke rumah.”
Ocha mengerutkan dahi, “Ke rumah siapa?” Tanya Ocha.
“Ke rumah aku.”
“Ngapain?”
“Ya, berdua sama kamu, kita me time, menghabiskan waktu bersama, ngobrol berdua.”
“Rumah kamu yang di PIK itu?”
“Iya.”
“Emang kamu nggak ada kerjaan?”
“Ada, banyak. Aku kerja tadi pagi seperti biasa, normal, meeting penting, ketemu klien. Pulang kerja ya, langsung jemput kamu.”
“Di mana kantornya?”
“Mega Kuningan, nggak jauh dari tempat kamu.”
“Tower yang mana?”
Damian menyungging senyum, “Nanti kapan-kapan aku ajak kamu ke office aku ya.”
“Ih, jangan, nanti enggak enak liatin orang kantor.”
“Enggak apa-apa Ocha. Kan aku bos nya.”
“Tetep aja nggak enak.”
Beberapa menit kemudian motor Damian berhenti salah outlet chatime, ia memesan honey lemon juice dan milk tea dengan toping bubble. Damian memandang Ocha menyesap minumannya, ia juga menyesap minuman segar itu. Ia tidak menyangka bahwa ia bisa jajan seperti ini.
“Kamu sering jajan seperti ini?” Tanya Damian, menatap Ocha.
“Sering lah, kamu pasti nggak pernah ya?” Ucap Ocha memandang Damian.
“Pernah, dulu sama mantan, udah lama sih dua tahun yang lalu,” ucap Damian terkekeh.
“Mantan kamu siapa?” Tanya Ocha, ia duduk di jok motor, jika ngobrol seperti ini, ia lebih rileks, Damian tidak seburuk yang ia pikirkan.
“Jangan ngomongin mantan, kan udah ada kamu.”
Ocha tersenyum, “Kelihatan belum move on.”
“Sekarang intinya ya sama kamu masa depan.”
“Kamu berapa kali pacaran?” Tanya Ocha menyelidiki.
“Satu kali, dan lalu pacaran sama kamu,” Damian merangkul bahu Ocha.
“Kita belum pacaran loh ya.”
“Bentar lagi juga pacaran.”
“Ih, kamu.”
“Mantan kamu itu yang di Prancis itu?” Tanya Ocha.
“Itu nggak aku masukin katagori pacaran sih, cuma teman dekat aja.”
“I see, terus siapa?”
“Nanti kamu juga tau. Aku tuh tipe cowok yang susah jatuh cinta, kalau udah suka sama satu cewek, yaudah aku kejer sampe dapat.”
“Really?”
“Yes.”
“Aku pikir kamu bad boys, loh ya,” Ocha menyesap minumannya hingga habis.
Damian tertawa, “Enggak lah, di antara aku, Wiga dan Maikel. Aku yang paling susah jatuh cinta itu aku, banyak sih yang deketin, dari kalangan pembisnis muda, artis ternama, belum ada yang menurut aku klik. Sampai akhirnya aku ketemu kamu kemarin di rumah aku. Aku merasa dejavu. Kayaknya kamu pernah ketemu tapi aku lupa.”
Alis Kenny terangkat, seketika ia teringat pertama kali bertemu dengan Damian, ia juga merasakan hal yang sama.
“Beneran kamu merasa dejavu?”
“Iya, serius, makanya aku ngejar kamu segila ini. Padahal aku nggak pernah seperti ini sebelumnya bersama seorang wanita,” ucap Damian, ia membuang cup chatime di tong sampah.
“Ih, kok sama ya.”
Seketika Damian memandang Ocha, “Beneran kamu merasakan hal yang sama?”
Ocha mengangguk, “Iya, serius. Kita pernah bertemu di mana ya?” Ocha mencoba mengingat.
“Kayaknya tuh, kita pernah ketemu. Tapi tempatnya itu asing,” timpal Ocha lagi, menerka-nerka.
“Apa kita pernah bertemu di Paris, London, Berlin, Italia?” Tanya Ocha, Ocha juga sudah menyelesaikan minumnya, ia membuang cup itu di tong sampah.
Damian mengedikan bahu, “Nanti kita cocokin jadwal kita di Europe, bisa jadi kita pernah bertemu sebelumnya.”
Ocha mengangguk, “Iya.”
Damian tersenyum menatap Ocha, “Kalau kita pernah bertemu sebelumnya, berarti kita flashback kejadian itu,” ucap Damian.
Ocha tertawa, “Oke.”
Damian memandang tawa Ocha, “Kamu cantik banget loh kalau ketawa.”
“Makasih,” ucap Ocha kikuk, wajahnya bersemu merah.
Damian menaiki motornya lagi dan Ocha memeluk tubuh Damian dari belakang. Motor Damian membelah jalan melawan angin. Mereka menuju blok M, karena ia akan menuruti semua kemauan sang calon kekasih.
***
Damian menghentikan motornya di salah satu restoran blok M. Blok M ini dulunya pernah menjadi mess bagi orang-orang Jepang yang bertugas di Indonesia pada tahun 90-an, yang dikenal dengan julukan little Tokyo.
Untuk memenuhi kebutuhan para ekspatriat Jepang pada masa itu. Akhirnya munculah banyak bisnis tempat makan, restoran hingga klub malam bernuansa Jepang di blok M. Pemilik bisnis itu tidak hanya milik orang Jepang, melainkan juga orang Indonesia. Oleh karena itu kesan Tokyo begitu kental di daerah sini.
Damian memarkir motornya di parkiran depan restoran Izakaya Taichan. Ia menaruh helmnya di dekat kaca spion, ia mendekati Ocha membuka pengait helm wanitanya. Ocha memandang Damian dari jarak dekat seperti ini, ia akui bahwa pria itu tampan.
Ocha dan Damian masuk ke dalam, suasana restoran masih tampang lengang, mungkin karena mereka datang jam setengah enam sore, sudah menjelang malam. Saat masuk ke dalam tercium aroma bangunan tua dengan interior kayu yang agak gelap. Tidak banyak meja di sana, pelayan-pelayan dengan ramah mempersilahkan mereka duduk. Ocha dan Damin memilih duduk di table kosong.
Server menghampiri mereka dan memberikan menu berbahan kulit itu. Damian memesan taichan ramen, nasi, gyu yakiniku, miso soup, negima. Tidak lupa Damian memesan bir bintang dua botol yang dingin untuk pelengkap makan malam mereka.
“Kamu pernah ke sini?” Tanya Ocha kepada Damian.
“Lewat daerah sini sih pernah, kalau masuk nggak pernah,”ucap Damian.
“Kamu pernah nggak?”
Ocha menggelengkan kepala, “Enggak pernah, soalnya masih baru juga di Jakarta,” ucap Ocha.
“Kamu kelamaan di Eropa ya,” ucap Damian.
“Dari primary school udah ikut papa pindah-pindah.”
“Kamu kelamaan di Eropa, jadi wajahnya jadi ikut bule jadinya ngemixs,” ucap Damian lagi, lalu tertawa.
“Owh ya, perasaan wajah aku Indonesia banget deh.”
Damian tersenyum, “Aku bilang sih agak bule gitu, itu pendapat aku loh.”
“Ah, masa sih. Kamu kali yang bule.”
Damian menyungging senyum, “Iya emang bule, papa aku pure belanda mama yang Indonesia.”
Alis Ocha terangkat, “Ya ampun, pantasan cakep.”
“Thank you, udang muji aku cakep.”
“Ih, GR,”dengus Ocha.
“Kan kamu sendiri yang bilang cakep. Ya, rata-rata semua orang bilang cakep, cuma aku nggak nggak narsis, biasa aja. Soalnya ada yang lebih tampan sih dari aku.”
“Siapa?”
“Maikel, Wiga, aku pikir mereka lebih keren,” ucap Damian lagi.
“Jomblo nggak?”
Damian memicingkan matanya menatap Ocha, “Ngapain nanya jomblo?”
“Biar dijodohinlah sama Feli.”
Damian lalu tertawa, “Feli bisa cari sendiri.”
Beberapa menit kemudian server membawa pesanan mereka. Hidangan kini tersaji di meja mereka tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada server. Ocha memandang ramen di hadapannya begitu juga dengan Damian. Ada beberapa makanan lainnya super enak.
Damian menuangkan minumannya bir di gelas kosong dirinya dan Ocha. Ia meneguk bir itu sebelum memakan ramenya. Ia melirik Ocha sudah menyicipi kuah ramen itu.
“Enak nggak?” Tanya Damian.
“Enak, gurih,” Ocha tersenyum.
Damian memakan ramennya, dan benar kata Ocha bahwa bahwa rasanya enak dan gurih. Mereka makan dalam tenang.
“Habis ini ke rumah aku ya.”
“Ngapain?”
“Main aja, berdua sama kamu.”
“Main apaan di rumah kamu?”
“Main apa aja, naked mungkin.”
“Bahaya tau berduaan di rumah kamu. Enggak, deh enggak,” Ocha memasukan mie nya ke dalam mulut.
“Udah ikut aja.”
“Tapi aku mau ke rumah saudara aku,” Ocha memberi alasan.
“Ada apa di sana?”
“Enggak ada apa-apa kok, main aja.”
“Kalau aku ngajak kamu ke rumah, bagaimana?” Tanya Damian.
“Tapi kan?”
“Lain kali aja ke rumah saudara kamu, kan kamu ketemu saudara kamu tiap hari di office,” Damian meneguk bir nya.
“Tapi.”
“Tapi apa?”
“Ih, ngebetein.”
“Di rumah saudara kamu ada siapa?”
“Ada keluarga aku sama keluarga kakak ipar.”
“Terus siapa lagi?” Damian meneruskan makanannya.
“Ada sepupunya kakak ipar aku sih.”
“Jangan ya.”
“Jangan kenapa?”
“Nanti kamu dijodoh-jodohin sama mereka.”
Ocha yang mendengar itu nyaris menganga, bisa-bisanya Damian berpikiran bahwa ia akan dijodohkan. Ocha menyelipkan rambut di telinga.
“Sok tau banget,” dengus Ocha.
“Feeling aku sih gitu, soalnya orang tua kamu suka menjodohkan anak-anaknya nanti kejadian itu mirip seperti saudara kamu.”
“Ih, kamu tau dari mana?”
“Apa yang aku nggak tau tentang kamu.”
“Suka sok tau deh,” timpal Ocha.
“Jadi pertemuan kamu dengan keluarga kakak ipar kamu on hold aja,” ucap Damian diplomatis.
“Tapi kan, nggak kayak gitu,” sebenarnya ia membenarkan ucapan Damian, orang tuanya gemar menjodohkan dirinya dengan pria lain.
Damian melanjutkan makannya, ia makan dengan tenang, “Habisin makanan kamu. Pokoknya mala mini sama aku.”
“Kalau di cariin gimana?”
“Bilang aja sama aku.”
“Ih.”
***
Setelah makan, Damian melanjutkan perjalan menuju rumahnya. Sepanjang jalan mereka hanya diam menebus jalan. Damian berkonsentrasi penuh, melaju melawan angin, Ocha memeluk tubuh Damian dari belakang, ia menyandarkan punggungnya di bahu Damian. Jemari Damian beberapa kali menggenggam tangannya, memastikan dirinya baik-baik saja.
Jujur ia juga tidak menolak Damian membawanya ke rumah, ia pikir bahwa Damian itu memiliki kepribadian hangat dan dewasa, walau pria itu sebenarnya egois. Ia tidak tahu seberapa banyak pria itu tahu tentangnya, hingga pria ini tahu bahwa mas Evan menikah karena dijodohkan.
Entahlah zaman yang sudah semodern dan secanggih ini, masih saja ada orang tua menjodohkan anaknya, padahal sekarang bukan jaman Siti Nurbaya. Ia tahu bahwa orang tua itu baik, menginginkan hal yang baik untuk anaknya. Mungkin caranya yang salah namun tujuannya benar. Namun masalah bisa dibicarakan baik-baik, obrolkan secara to the point dan tunjukan kenapa ia menolak.
Tanpa terasa kini ia berada di depan rumah gedung berpagar tinggi ini lagi. Dulu ia pernah ke sini sebelumnya bersama Feli, sekarang ia datang bersama sang pemilik rumah. Rumah ini sangat maskulin menurutnya. Gelap dan tinggi namun terlihat sangat modern.
Damian memarkir motornya di carpot, bersebelahan dengan mobil Rolls Royce. Jika melihat mobil itu, ia sudah membayangkan betapa mahalnya mobil itu, karena ia tahu betul bahwa mobil milik Damian seharga 25 milyar. Mobil dan motor ini, melambangkan kesuksesan sang pemilik rumah. Ia yakin, masih banyak lagi mobil-mobil di dalam basementnya.
“Kenapa?” Tanya Damian, memandang Ocha.
“Ah, nggak apa-apa kok,” ucap Ocha.
Ocha mendongakan wajahnya, ia melihat Damian membuka pengait helm di lehernya. Ocha merasakan tangannya di genggam erat oleh jemari Damian. Ia menyeimbangi langkah Damian masuk ke pintu utama. Damian merogoh kunci di saku jaket kulitnya, ia menoleh ke belakang, menatap security berjaga di depan rumah, tersenyum ke arahnya.
Damian membuka hendel pintu dan Ocha menyeimbangi langkahnya. Ocha mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangannya, rumah ini tidak berubah seperti pertama kali ia lihat. Rumahnya tampak luas dan tertata sangat baik. Rumah ini menggambarkan siapa Damian.
“Kamu tinggal sama siapa di sini?” Tanya Ocha penasaran.
“Ada security, bibi, tukang kebun dan aku.”
“Bibi?”
“Iya, namanya Ijah, bi Ijahh udah kerja sama lama. Awalnya jagain rumah aku yang di Pondok Indah, cuma aku suruh move ke sini. Yang security itu suaminya, dan tukang kebun itu saudaranya.”
“Pasti kerjanya bagus, sampe kamu percaya semua mengurus rumah kamu itu mereka.”
Damian mengangguk, “Iya, mereka kerjanya sangat bagus, aku sediain rumah kecil untuk mereka di belakang, khusus untuk mereka sekeluarga.”
“Rumah kamu banyak, ya?”
“Enggak banyak sih, cuma ada beberapa. Tapi, kalau aku terlalu banyak beli property kesan nya sangat egois sama orang-orang di luar sana yang ingin memiliki rumah. Walau aku bisa membelinya.”
“Rumah kamu bagus,” ucap Damian mengakui.
“Thank you.”
“Kamu suka?”
Ocha mengangguk, “Iya, maskulin banget rumahnya.”
Ocha masuk ke ruang tengah, ia melihat kolam renang berukuran lumayan besar di sana. Ocha menelan ludah, ia memandang langit-langit tinggi di rumah ini. ia melihat lampu gantung di atas. Ia menatap seorang wanita separuh baya mengenakan daster berwarna hijau, yang sedang berada di kitchen.
“Malam, pak Damian,” ucap bibi ramah.
“Malam juga bi.”
Bi Ijah menatap seorang wanita cantik yang berada di samping Damian, “Pacar, ya pak?”
Damian tersenyum dan mengangguk, “Iya, bi.”
“Mau dibuatin minum pak?”
“Iya, boleh, nanti kamu antar ke atas ya.”
“Baik, pak.”
“Ke atas yuk,” ucap Damian.
Ocha menelan ludah, ketika Damian mengajaknya ke atas, “Ada apa di atas?” Tanya Ocha.
“Ada balkon, kamar aku, ada kamar tamu, ruang TV.”
“Terus.”
“Enggak ada terusnya.”
“Iya, terus ngapain kalau aku ke sana.”
“Ya, berdua dengan kamu aja,” ucap Damian lagi.
“Ih, kamu.”
“Takut?”
Ocha mengangguk, “Iya.”
Damian mengelus puncak kepala Ocha, “Takut kenapa?”
“Ya takut aja.”
“Emang belum pernah bercinta?”
“Hemmm,” Ocha merasa ragu.
“Belum pernah ya?”
“Ih, jangan bahas itu.”
“Seriusan?”
“Iya.”
“Dulu pacaran ngapain aja? Kissing doang?”
Ocha mengangguk, “Enggak pernah, suer.”
“Oh, Jesus. Nanti aku ajarin.”
“Damian.”
****