Jelita berlari kecil keluar dari restoran dan segera menyetop taksi. Tidak menghiraukan teriakan Arya yang memanggilnya.
“Jalan, pak,” ucapnya kepada sopir taksi. Air matanya kembali luruh. Sang sopir hanya melirik Jelita dari bali kaca spion sebelum kembali fokus ke jalan.
“Sudah sampai nona.” Suara sopir membuyarkan lamunan Jelita.
“Ah, iya terima kasih,” ucap jelita lalu menyerahkan ongkos taksi dan keluar dari mobil.
Jelita melangkah masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya. Masuk dan menutupnya rapat. Air matanya kembali terjatuh, ia merasa hatinya benar-benar kacau.
Kenapa Arya baru mengungkapkan perasaannya setelah semua ini terjadi? Setelah pernikahannya yang sama sekali tidak benar, pernikahan yang pada akhirnya akan ia sesali seumur hidup. Kenapa kau baru datang untuk menolongku , Arya kenapa…?! Pekiknya dalam hati.
“Dasar pria kejam...” lirihnya pelan.
“Tok…Tok…! Jelita, apa kau ada di dalam?” terdengar ketukan dari pintu, Jelita buru-buru menghapus air matanya. Setelah memastikan tidak ada sisa air mata, ia melangkah menuju pintu dan membukanya.
“Ah, Bu Jova. Silakan masuk, Bu,” ucap Jelita sambil tersenyum. Jova melangkah masuk dan duduk di sofa.
“Apa Mas Abi tidur di sini tadi malam?” tanya Jovanka.
Jelita mengangguk pelan. Jovanka menatap Jelita beberapa saat.
“Apa kalian belum melakukannya?” kali ini pertanyaan Jovanka menciptakan semu merah di wajah jelita. Gadis itu menggeleng pelan.
“ Hah, sudah kuduga. Kalau begitu, ayo bersiap. Kita akan pergi ke suatu tempat.”
“Kemana, Bu?”
“Udah, ikut saja. Aku tunggu di luar.” Setelah itu Jovanka keluar dari kamar.
Jelita menghela nafas meraih tasnya lalu melangkah keluar kamar.
Jovanka ternyata membawa Jelita ke pusat perbelanjaan. Mereka memasuki beberapa toko dan keluar lagi lalu masuk lagi ke toko lainnya begitu seterusnya.
“Bu, sampai kapan kita harus keluar masuk toko? Bukannya belanjaan ibu sudah sebanyak ini? ” protes Jelita.
“Ah kamu ini, baru juga keliling 3 jam. Ini belum apa-apa. Kita masuk ke toko sebelah sana dulu ya, ini yang terakhir , setelah ini kita makan,” janji Jovanka.
Jelita akhirnya mengalah dan kembali mengikuti Jova memasuki toko.
“Selamat datang Nyonya Jovanka, sudah lama ya tidak mampir ke sini lagi. Silakan masuk,” sapa seorang manejer toko.
“Iya, juga ya. terakhir mungkin sekitar 4 tahun lalu,” komentar Jovanka.
“Iya, nyonya benar juga. Padahal sekarang banyak sekali barang kami yang bagus-bagus loh. Saya yakin Tuan Abizar pasti menyukainya,” ucapnya sambil tersenyum senyum sendiri.
“Ah kamu bisa saja, tapi bagus deh kalau begitu. Aku memang datang ke sini untuk membeli beberapa. Coba tunjukkan yang paling bagus.” Jovanka menarik lengan Jelita untuk masuk lebih dalam.
Sejak awal masuk ke toko itu, mata Jelita hanya melihat pakaian dalam saja yang di pajang di toko ini. Mulai dari yang bentuknya biasa sampai yang paling aneh. Tapi Jelita hanya ngikut saja tanpa bicara, toh setelah ini mereka pasti akan pulang.
“Jelita ke sini deh,” panggil Jovanka. Jelita melangkah menghampiri Jovanka.
“Coba kamu berdiri di situ sebentar,” Jelita mengikuti ucapan Jova.
“Ah i..ibu mau ngapain, loh kok…?!”
“Udah diam dulu, aku hanya ingin melihatnya gaun ini di badanmu.”
Jovanka mendekatkan baju tidur menerawang berwarna hitam di tubuh Jelita beberapa saat, lalu mengangguk puas.
“Aku ambil yang ini,” ucap Jovanka kepada pelayan.
“Wah selera Nyonya memang tidak pernah ada tandingannya. Aku jamin, suami Anda pasti lupa tidur setelah melihat Anda memakai ini,” kelakar manejer toko itu.
“Iya tentu saja, ia pasti akan lupa segala-galanya” jawab Jovanka dengan sinar mata yang tidak bisa di mengerti.
Setelah membayar semua belanjaan mereka di toko itu, mereka pun keluar dan makan. Mereka terlihat hanya membicarakan beberapa hal lalu keluar dari tempat itu. Masuk ke mobil dan pulang ke rumah.
Jelita membantu membawa beberapa belanjaan Jovanka masuk ke rumah.
“Ini mau taruh di mana, Bu?” tanyanya.
“Ayo ikut aku.” Jelita kembali mengikuti langkah Jovanka masuk ke kamarnya.
“Loh, apa aku boleh masuk juga?” tanya Jelita. Setelah Jova memberinya isyarat untuk masuk.
“Tidak apa-apa, masuklah.”
Jelita akhirnya masuk ke dalam kamar yang super mewah itu. ruangannya ternyata jauh lebih luas dari kamarnya. Padahal Jelita sempat berpikir jika kamar yang ia tempati sekarang adalah kamar yang paling mewah yang pernah ada, tetapi setelah melihat ruangan tempat ia berdiri sekarang, pikirannya salah.
“Ini untukmu.” Jovanka menyerahkan beberapa belanjaannya kepada Jelita.
“Loh, kok Ibu dikasi ini ke saya?”
“Karena ini memang untukmu,” jawab Jovanka.
“apa? i..ini untuk saya? Tapi Bu ini bukannya terlalu…”
“Dengar Jelita, aku yakin Mas Abi tidak akan pernah bisa melakukan itu denganmu. Jika seperti ini terus, kapan kamu bisa hamil? Kau tahu kan, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadi tugasmu adalah bagaimana membuat suamiku tertarik untuk melakukan seks denganmu, kau mengerti kan?”
Jelita terdiam, apa yang di dengarnya itu tidak salah. Setelah menikah pasangan suami istri dengan sendirinya akan melakukan ritual malam pertama yang indah dan menyenangkan. Mereka melakukan itu dengan penuh kebahagiaan.
Sekarang posisinya juga sudah menikah dan ia pasti akan melewati malam pertama itu. Hanya saja, malam pertama yang menyenangkan itu tidak akan pernah bisa terwujud. Malam pertama pernikahannya adalah perintah yang harus segera di lakukan untuk memenuhi kesepakatan.
Jelita menggigit bibirnya lalau mengangguk.
“Baik, Bu.”
“Bagus, ingat. Lakukan dengan baik supaya cepat berhasil. Aku tidak bisa lama-lama merahasiakan ini, aku tidak mau mertuaku sampai tahu kebohongan kita. Setelah kau hamil nanti kau akan aku pindahkan ke rumah lain. Tapi jangan khawatir, akan ada yang akan membantumu. beberapa pelayan di sana. Sekarang kembalilah ke kamarmu.”
Jelita melangkah dengan meninggalkan Jovanka dan berjalan menuju kamarnya.
Setelah di dalam kamar, ia meletakkan barang yang di bawanya begitu saja dan merebahkan tubuhnya yang letih di kasur.
“Hidupku benar-benar seperti di neraka sekarang. Ayah, apa yang harus aku lakukan?” gumannya sambil memejamkan matanya.
Jelita membuka matanya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 8 malam.
“Astaga, aku ketiduran sampai malam begini?” kagetnya. Ia lalu beranjak masuk ke kamar mandi.
Jelita keluar masih menggunakan handuk, segar sekali perasaannya setelah berendam air hangat di bathup. Ia pun melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaian tapi kakinya menyentuh sesuatu.
Ia menunduk dan melihat paper bag yang tergeletak di lantai. Jelita mengingat jika tadi ia dan Jovanka berbelanja macam-macam termasuk barang ini.
Jelita menelan ludah keringnya, dengan gemetar ia mengeluarkan benda yang ada dalam paper bag. Jelita menggigit bibirnya melihat gaun malam yang menerawang.
“Duh, pakaian ini sangat keterlaluan. Bagaimana bisa aku memakai ini di hadapan Pak Abi. Tidak, ini sangat memalukan.” Jelita menyimpan kembali pakaian itu ke dalam paper bag. Ia tidak ingin mempermalukan dirinya dengan memakai pakaian menggoda itu.
Lagipula apa pak Abi akan menganggap ku perempuan tidak benar jika aku memakainya. Tapi kalau malam ini pak Abi belum juga melakukan itu, bu Jova pasti akan marah. Bagaimana ini? pikirnya. Ia merasa sangat bingung dan tegang.
“Tok..tok…!”
“Ah..!!”