bc

NU Untuk Perdamaian Dunia

book_age16+
0
IKUTI
1K
BACA
others
like
intro-logo
Uraian

Dedikasi NU untuk Agama, Bangsa dan Peradaban Dunia                                           NU di dirikan para Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya, maka gerakan NU adalah gerakan para ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan NU tersebut dengan menyebut NU sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga NU dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah. 

Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)

Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.

KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. 

Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik).

Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud.

Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11).

Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”

Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.   

Muktamar Lampung          NU terus berkembang. NU memiliki peran besar dalam memajukan agama, sosial, dan politik di Indonesia. Tidak hanya itu NU juga banyak berperan dalam dunia global. Kehadiran NU di berbagai belahan dunia, menjadi dinanti dan menjadi bagian penting seja

chap-preview
Pratinjau gratis
Perdamaian
Dedikasi NU untuk Agama, Bangsa dan Peradaban Dunia NU di dirikan para Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya, maka gerakan NU adalah gerakan para ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan NU tersebut dengan menyebut NU sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga NU dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah. Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah. KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik). Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11). Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.” Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah. Muktamar Lampung NU terus berkembang. NU memiliki peran besar dalam memajukan agama, sosial, dan politik di Indonesia. Tidak hanya itu NU juga banyak berperan dalam dunia global. Kehadiran NU di berbagai belahan dunia, menjadi dinanti dan menjadi bagian penting sejarah peradaban dunia. Inilah yang mendedikasikan NU sudah tidak berbicara lagi dalam.konteks lokal demgan Islam Nusantara, namun dalam konteks yang luas mendunia, menghadirkan NU yang membawa maslahah bagi semua (humaterian islam). Muktamar NU Ke-34 Lampung, merupakan panggilan jiwa para kyai di tengah era global dengan mengusung tema utama 'Menuju Satu Abad NU, Membangun Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia'. Menurut Ketua Panitia Pelaksana Muktamar ke-34 NU Imam Aziz, acara tertinggi di internal organasisasi NU ini dinilai penting karena menjadi momen refleksi bertepatan dengan usia NU yang hampir satu abad. "Dalam muktamar, NU perlu melakukan berbagai refleksi atas keberhasilan yang selama ini telah dicapai, selama hampir satu abad. Selain itu, NU akan mempersiapkan strategi dalam menyongsong abad kedua," kata Imam Aziz. Muktamar NU ke-34 yang buka Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu, 22 Desember 2021, dan berakhir pada 24 Des dengan memilih KH Miftakhul Akhyar sebagai Rois Am dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Tanfidziyah. KH Yahya Cholil Staquf, Ketua PBNU terpilih dalam samhutan penutupan Muktamar menyatakan sesuai tema menyongsong abad ke-2 NU berkiprah membangun kemandirian untuk perdamaian dunia. Muktamar 34 ini menjadi momen untuk memancangkan dua agenda besar. Yakni agenda membangun kemandirian warga dan meningkatkan peran dalam pergulatan NU untuk mendukung perdamaian dunia. ”Dalam dua (2) agenda itu, NU telah miliki rintisan- rintisan yang sangat berharga, dan kuat. Yang diperlukan selanjutnya adalah menjahit berbagai inisiatif dalam pengembangan ekonomi kerakyatan, pengembangan pendidikan, layanan-layanan kesehatan dan sebagainya menjadi satu agenda nasional yang terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup warga NU dan rakyat banyak pada umumnya,” ujar Yahya. Kakak kandung Menteri Agama ini menyatakan dalam hal pergulatan dalam perdamaain dunia. NU telah berhasil melakukan berbagai inisitaif yang semakin diapresiasi warga internasional. Selanjutnya yang dibutukan adalah akselerasi (percepatan) lebih jauh. Sekaligus bagaimana sinergi dengan inisiatif -inisiatif yang dilakukan pemerintah. ”Karena jika kita lihat, landscape dinamika internasional hari ini, tidak ada yang memiliki posisi paling tepat lebih lebih dari NKRI,” sambungnya. Sementara Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin resmi menutup secara resmi Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU), di Universitas Islam Negeri Raden Inten, Lampung, Jumat (24/12/2021). Dalam sambutannya, Wapres menyampaikan apresiasi atas kelancaran acara muktamar yang berjalan selama tiga hari tersebut. “Hasil ini bagi pemerintah sangat menggembirakan, sangat menyenangkan karena bagi pemerintah NU selama ini dianggap dan dinyatakan sebagai mitra pemerintah yang paling setia di dalam membangun bangsa ini,” ungkap Wapres. “Itu diakui oleh Presiden Joko Widodo kemarin bahwa NU telah banyak berjasa bagi bangsa ini,” tutur Wapres. Di sisi lain, Wapres juga menyampaikan agar hasil muktamar yang diperoleh hari ini dapat dijalankan dengan baik dan disikapi dengan kompak oleh seluruh pengurus NU. “Hasil muktamar ini bagi warga NU sesuatu yang harus disyukuri, karena NU adalah amanat yang harus kita jaga, yang harus kita pelihara. NU tidak boleh mengalami situasi sehingga terjadinya perpecahan, permusuhan, ketidak kompakan, sehingga membuat NU menjadi lemah,” tegas Wapres. Wapres berpesan agar momentum muktamar ini dapat dijadikan sebagai wadah untuk memperbaiki diri dan merumuskan langkah-langkah NU ke depan dalam membangun bangsa bersama pemerintah. “Momentum bermuktamar kita jadikan untuk melakukan islakh, memperbaiki langkah-langkah,” pungkas Wapres. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam memiliki khittah untuk dapat menuntun umat kepada kebaikan. Untuk mewujudkan khittah tersebut, diperlukan khutwah berupa langkah-langkah dinamis yang sesuai dengan situasi, lingkungan dan kondisi yang dihadapi. Kedua langkah tersebut, memiliki tujuan untuk kemaslahatan masyarakat. “Khittah itu permanen, sedangkan khutwah itu perubahan-perubahan yang tidak keluar dari garis khittah. Sasarannya menuju upaya ishlahul ummah, yaitu perbaikan masyarakat,” ucap Wakil Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin. Lebih lanjut Wapres menyampaikan, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai khittah NU, diantaranya dakwah, pendidikan, dan peraturan perundang-undangan. “Maka, keadaan negara kita sebagai negara demokrasi yang kemudian menggunakan lembaga demokrasi sebagai saluran penyampaian aspirasi, salah satunya dapat melalui partai politik,” urai Wapres. Wapres pun mengungkapkan, NU sebagai sebuah organisasi yang berkomitmen untuk memberikan kemaslahatan pada masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mencapai tujuan perubahan masyarakat yang lebih baik dari sisi keagamaan maupun kemasyarakatan. “Nahdlatul Ulama merupakan organisasi perbaikan, maka Nahdlatul Ulama dapat disebut sebagai gerakan ulama untuk memperbaiki umat, baik aspek keagamaannya maupun aspek kemasyarakat,” ungkap Wapres. Menutup sambutannya, Wapres berpesan kepada seluruh pengurus NU untuk terus memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara melalui langkah antisipatif terhadap tantangan yang menanti dan penyiapan sumber daya manusia unggul sebagai upaya menghadapi perkembangan informasi dan teknologi yang sifatnya dinamis. “Jadi, tantangan kita ke depan memang lebih kompleks dengan adanya globalisasi dan kemajuan teknologi informasi. Maka, NU harus menyiapkan langkah antisipasi dan menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi perubahan tersebut agar menjadi sumber kekuatan agar dapat memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara,” pungkas Wapres. (***) Aji Setiawan Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Wolf Alliance Series : The Path of Conquest

read
41.5K
bc

PULANG DARI PERANTAUAN

read
3.1K
bc

Mendadak Jadi Mommy

read
2.3K
bc

Marriage Aggreement

read
84.1K
bc

Menantu Dewa Naga

read
180.2K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
155.9K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
633.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook