Bagian 10. Lembaran Baru

1544 Kata
Hari ini, setelah keluarga Rumaisha pamit dan kembali ke desa, Agung memboyong Rumaisha ke rumah pribadinya. Kedua orang tuanya ikut mengantar. Demikian juga Rendra, adik spesial semata wayang Agung itu akan selalu ikut kemana pun orang tuanya pergi. Satu bulan lebih rumah itu Agung tinggalkan. Selama itu, rumah tersebut dirawat oleh Rohmah, tetangga mereka sekaligus aisten rumah tangga paruh waktu. Agung mempekerjakan perempuan empat puluh tahunan itu sejak rumahnya dibangun. Rohmah datang pagi-pagi, kemudian pulang menjelang magrib. Jadi, meskipun telah lama rumah itu kosong, kondisinya selalu bersih. Rohmah menyambut kedatangan keluarga itu dengan suka cita. Tergopoh-gopoh, perempuan itu menghampiri mobil Agung. “Mari saya bantu, Mas Agung,” ujarnya sambil cekatan mengambil barang-barang yang cukup banyak dari tangan Agung. Barang-barang itu sebagian besar adalah pakaian Naira dan Rumaisha. Sementara pakaian Agung hanya sedikit. “Terima kasih, Bu Rohmah. Tolong antar sampai kamar, ya," jawab Agung ramah. “Kamar yang mana, Mas?” Rohmah terlihat bingung ketika mengangkat tas milik Rumaisha. Ia tidak pernah diberitahu untuk membersihkan kamar yang lain. “Hmm?” Agung menggumam pelan. Ia agak terkejut mendengar pertanyaan Rohmah, kemudian tersadar bahwa belum mengenalkan Rumaisha pada perempuan itu. “Mmm, Bu Rohmah. Kenalkan ini Rumaisha. Istri saya," terangnya pelan, "Tolong bawa barang-barangnya ke kamar saya, ya." "Hah?" Rohmah ternganga. Wanita itu tampak terkejut dan tidak percaya dengan berita yang baru saja dia dengar. "Istri?" tanyanya sedikit terbata. “Iya, Bu Rohmah. Ini menantu saya yang baru, yang akan mendampingi Agung untuk merawat Naira.” Kali ini Nurmala yang menjelaskan, “Karena Maharani tidak mau lagi mendampingi anak saya, sementara Agung butuh seseorang untuk mendukungnya merawat Naira, jadi dia menikah lagi," terang perempuan itu. "O ...." Rohmah mengangguk tanda mengerti. Mulutnya membulat beberapa lama, “Mari masuk, Mbak," sapanya ramah, "Mbak cantik sekali, ya, mirip Citra Kirana. Cocok sama Mas Agung yang mirip Rezky Aditya." Rumaisha hanya tertawa mendengar penuturan wanita itu. Kocak menurutnya. Dia gadis yang sederhana, sedangkan Citra Kirana adalah artis yang sangat cantik. Bagaimana mungkin mereka bisa disamakan? Kalau Agung, mungkin cukup mirip dengan Rezky Aditya. “Terima kasih, Bu,” jawabnya sambil tersenyum. Ia melangkah masuk mengikuti Rohmah. “Bu Rohmah suka nonton gosip, ya? Bisa tahu pasangan Citra Kirana dan Rezky Aditya?" tanya Agung. Ia pun terkekeh geli mendengar dirinya disebut mirip aktor tampan itu. “Iya, biasanya pagi-pagi sambil gosok pakaian, saya nonton gosip,” jawab Rohmah, "Biasalah, Mas Agung. Hiburan emak-emak. Healing ...." Jawaban yang ia lontarkan kembali membuat Agung terkekeh. Rumah Agung tidak seluas rumah orangtuanya. Rumah minimalis itu hanya terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dapur, garasi dan dua kamar tidur. Ukuran setiap ruangan itu pun tidak luas. Dua kamar tidur, terdiri dari satu kamar tidur utama dan satu kamar tidur tamu. Kamar utama lebih luas dari kamar tamu. Di kamar itu terdapat dua tempat tidur, ranjang utama king size yang dulu menjadi tempat tidur Agung dan Maharani, dan satu tempat tidur ukuran single dirancang dengan pagar sekeliling sebagai tempat tidur Naira. Terdapat sofa panjang pada salah satu sisi kamar. Biasanya digunakan untuk Agung dan Maharani menonton televisi atau sekadar duduk bersantai di kamar. Kamar utama juga di lengkapi kamar mandi di dalam. Mulai hari ini, Rumaisha akan menggantikan posisi Maharani di kamar itu. Setelah semua barang dimasukkan ke kamar, mereka duduk berkumpul di ruang keluarga. Rohmah menyiapkan minum untuk keluarga itu, sebelum pamit karena merasa tidak berkepentingan. Nurmala menggendong Naira kemudian menatap Agung dengan serius. “Agung, sekarang kamu memasuki lembaran baru. Istri kamu sekarang adalah Rumaisha. Ibu titip menantu Ibu. Tolong perlakukan dia dengan baik. Dia telah mengorbankan mimpi-mimpinya hanya untuk menikah denganmu dan merawat Naira,” ucap Nurmala. Memang pada saat akad nikah kemarin, dia belum puas memberi wejangan pada anaknya itu. “Rumaisha selalu bercerita bahwa dia ingin menjadi guru PNS, memenuhi mimpi mendiang kedua orang tuanya. Menjadi guru pun adalah cita-citanya sejak kecil. Tapi semua itu dia korbankan demi kamu ... demi Naira," lanjut wanita paruh baya itu. “Karena itu, Ibu mohon jangan sia-siakan Rumaisha. Ibu paham mungkin kamu butuh waktu dengan pernikahan kedua ini. Ibu tidak memaksa lebih. Hanya tolong, perlakukan dia dengan baik. Itu saja." Agung menunduk, "Insya Allah, Bu," sahutnya pelan. Laki-laki itu merasa bersalah telah egois membawa Rumaisha ke dalam pernikahan, sementara dia sendiri tidak bisa mencintainya. “Rumaisha ....” Kali ini Nurmala menatap menantunya itu penuh sayang, “Ibu titip anak dan cucu Ibu. Ibu yakin kamu bisa menjadi istri dan ibu yang baik untuk mereka.” Rumaisha mengangguk, “Insya Allah, Bu. Doakan saya bisa memenuhi semua keinginan Ibu,” jawabnya. "Iya, Nak. Doa Ibu selalu menyertaimu." Nurmala meraih pucuk kepala Rumaisha, lalu menciumnya hangat. Rasa haru begitu saja merasuk ke dalam jiwa Rumaisha. Meskipun pernikahannya dengan Agung di luar ekspektasi, setidaknya dia kini tidak lagi kesepian. Dia memiliki pengganti kedua orang tuanya. Cinta Nurmala dan Fauzan begitu besar untuknya, mengisi kerinduan akan cinta kedua orang tuanya yang telah lama tiada. “Sekarang, Ibu dan Bapak pulang dulu. Insya Allah kami akan sering berkunjung.” "Iya, Bu." Nurmala menyerahkan Naira kepada Rumaisha. Kemudian kembali dipeluknya menantunya itu erat. Diciuminya pipi gadis itu berkali-kali penuh kasih sayang. Rumaisha mencium takzim punggung tangan Nurmala dan Fauzan. Air mata haru akhirnya mengalir tak tertahan. Sesenggukan ia menangis dipelukan ibu mertuanya. Setelah mobil yang dikendarai Fauzan hilang dari pandangan, Rumaisha dan Agung masuk ke dalam rumah. Rumaisha mengitari isi rumah dengan netranya. Ia mencoba mengakrabkan diri dengan istana suaminya itu. Di sini, hari ini dia akan memulai perjuangan. Ketika orang-orang memulai bahtera rumah tangga dengan suka cita, dengan cinta dan bahagia untuk meraih mimpi masing-masing. Maka dia memulainya dengan perjuangan. Dua perjuangan akan dilewatinya. Perjuangan mendampingi tumbuh kembang Naira sebagai down syndrome yang pasti akan menguras waktu dan tenaga, serta perjuangan memenangkan hati suaminya. “Istirahatlah dulu,” ucap Agung membuyarkan pikirannya. Tanpa bicara lebih banyak lagi, laki-laki itu melangkah menuju kamar. Sebelum menyusul, Rumaisha menuju dapur. Ada yang perlu ia bicarakan dengan Rohmah Baru setelah itu, ia mengekor Agung di belakang. Di kamar, Rumaisha membaringkan Naira di ranjangnya. Di samping ranjang itu terdapat nakas dan lemari pakaian bayi. Segera gadis itu menata perlengkapan s**u Naira pada nakas dan menyusun pakaian bayi itu di lemari. Setelah rapi, ia memegang tas pribadinya. “Bajumu susun di sana,” ucap Agung sambil menunjuk lemari yang ada pada sudut kamar. “Taruh saja di bagian yang kosong," lanjutnya. Sikap laki-laki kembali dingin setelah kehadiran Maharani tadi malam. Ia bicara tanpa menoleh pada Rumaisha. Alih-alih justru asyik memainkan ponselnya sambil duduk di sofa. Rumaisha mengeluh melihat sikap suaminya. "Iya," balasnya sambil mengangguk. Gadis itu kemudian menata bajunya di lemari yang ditunjuk Agung. Setelah selesai, Rumaisha melangkah pelan mendekati suaminya. Ragu-ragu, ia duduk pada sofa, di sudut yang berlawanan dengan laki-laki itu. “Ada apa?” tanya Agung dingin ketika ekor matanya melihat istrinya itu duduk didekatnya. Lagi-lagi ia bertanya tanpa menoleh pada Rumaisha. Tidak sopan! Rumaisha menelan saliva. Ingin rasanya ia mengutuk suaminya itu karena sikap dingin laki-laki itu. Bicara satu dua patah kata, asyik sendiri dengan ponsel, dan sama sekali tidak mau melihat padanya seolah sengaja menghindari interaksi dengan dirinya. Huhh! Ia mendengkus kesal. Menurutkan hati, ingin ia tinggalkan saja laki-laki itu sendiri. Akan tetapi, sosok bayi surga tak berdosa yang sedang tertidur pulas itu menguatkannya untuk tetap bersabar. Barangkali ini lah jalan jihad untuknya, yaitu menyelamatkan bayi dari ketelantaran. "Aku mau bicara," sahutnya tergagap. "Hmm." Agung merespon singkat. “Mas, sebaiknya kita harus segera melakukan screening untuk kondisi Naira,” lanjutnya pelan. Rumaisha berusaha bicara selembut mungkin sambil menatap teduh suaminya. Meskipun kesal, ia harus tetap bersikap hormat. Sebab, seperti kata Hanafi, bersikap sabar atas perangai buruk suami adalah sebaik-baiknya wanita dan menjadi jalan pahala untuknya. Selama sikap suami itu tidak membahayakan. Agung mengerutkan dahi, menatap istrinya tidak mengerti. Ia belum paham topik pembicaraan yang diajukan Rumaisha. "Screening?" tanyanya bingung. “Beberapa hari ini, aku sudah mencari banyak artikel tentang bayi down syndrome," tutur Rumaisha setelah melihat kebingungan di mata suaminya, "Bayi yang terlahir dalam kondisi down syndrome itu, besar kemungkinan akan mengalami kelainan bawaan." Ia mencoba menjelaskan sesuai informasi yang ia peroleh. "Tidak mendoakan, sih. Kita berharapnya kondisi Naira baik-baik saja, tapi kita tetap harus siaga dengan melakukan cek up segala kemungkinan-kemungkinan itu," lanjutnya. Agung terdiam sebentar, menatap sendu pada Naira yang terlelap di tempat tidurnya. “Cek apa saja?” tanyanya pelan, lebih mirip sebuah gumaman. “Yang urgent itu, kita cek up jantung sama tiroid. Sebab dua hal ini kalau bermasalah bisa berpengaruh besar sekali terhadap tumbuh kembang, Naira. Jadi harus segera diketahui agar bisa segera ditangani." “Di mana kita akan cek up?” “Di Pontianak, Mas. Kalau di sini belum ada.” Agung mengangguk mengerti, “Perlu surat rujukan?” tanyanya lagi. “Kalau kita pakai BPJS, perlu, Mas. Mulai dari Puskesmas sini sebagai faskes tingkat satu, terus rumah sakit daerah, baru ke Pontianak.” “Oke, besok kita urus rujukan dulu. Kamu bisa 'kan? Nanti saya antar, tapi setelah itu saya tinggal kerja. Kalau sudah selesai nanti saya jemput lagi," tanya laki-laki itu dingin. "Bisa," sahut Rumaisha singkat. "Oke," pungkas Agung. Lalu tanpa melihat pada Rumaisha lagi, ia kembali sibuk dengan ponselnya. Rumaisha mendengkus sebal, memerhatikan laki-laki dengan perasaan dongkol. Mengapa ia bisa bersikap sebeku itu, padahal dirinya sedang membicarakan kondisi putrinya. Astagfirullah .... Ikhlas, Rumaisha! Sabar! Tunggu saja saatnya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN