Senja mulai datang menghampiri. Perempuan itu beranjak hendak menunaikan beberapa tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Ia mulai dengan menghangatkan air untuk mandi Naira. Setelah itu, penuh suka cita ia memandikan bayi surga itu.
Tak henti Rumaisha mengajak Naira bicara meskipun dia yang bertanya, dia pula yang menjawab.
Kadang ia menyanyikan lagu anak-anak yang sederhana. Semua itu diketahuinya sebagai cara untuk menstimulasi indera pendengaran dan pengenalan kosakata pada bayi.
Kemudian, untuk menumbuhkan bonding antara dirinya dan Naira, Rumaisha melakukan pijatan skin to skin, yaitu massage bayi atau usapan ringan selama lima belas menit setelah mandi.
Menurut artikel yang ia baca, pijatan skin to skin ini bisa meningkatkan imunitas tubuh, menumbuhkan kedekatan ibu dan bayi, juga menstimulasi kekuatan otot-otot tubuh.
Bagi bayi down syndrome yang memiliki permasalahan imunitas dan hipotonus atau otot-otot yang lemah seperti Naira, skin to skin akan sangat membantu untuk stimulasi tumbuh kembangnya.
Misalnya pijatan pada dahi dan atas mata, bermanfaat untuk menstimulasi pasokan oksigen pada otak.
Pijatan pada tepi hidung, ia ketahui untuk menstimulasi saluran pernapasan yang sempit pada bayi down syndrome.
Usapan pada kedua pipi, rahang, dan leher berguna untuk menstimulasi kekuatan otot yang akan membantu kemampuan mengisap dan persiapan bicara bayi. Seperti yang ia baca, bayi down syndrome memiliki daya isap dan menelan yang lemah. Mereka juga diprediksi akan kesulitan untuk berbicara. Oleh karena itu, stimulasi ini sangat penting.
Rumaisha meneruskan pijatan halus pada d**a yang penting untuk mendukung kekuatan otot-otot pernapasan di sana.
Pada bagian perut, pijatan dilakukan dengan mengikuti pola kalimat I LOVE YOU, berguna untuk menjaga kesehatan sistem pencernaan.
Kemudian tidak ketinggalan pijatan pada sepanjang lengan dan kaki, juga jemari-jemari yang berguna untuk mendukung kemampuan gerak bayi.
Semua informasi ini, gadis itu peroleh dari artikel serta video tutorial di YouTube.
Setelah selesai urusan Naira, Rumaisha hendak beranjak ke dapur. Dia harus menyiapkan makan malam. Saat membalikkan badan, dilihatnya Agung tertidur pulas di sofa.
Diperhatikannya wajah itu. Ada gurat lelah di sana. Rumaisha menghela napas, dia paham kecamuk permasalahan yang dialami laki-lakinya itu. Pasti Agung sedang berada dalam titik dilema dan persimpangan rasa. Oleh karena itu, dia harus lebih banyak bersabar. Benar apa yang disampaikan laki-laki itu pada malam pertama mereka kemarin, mereka butuh waktu.
Gadis itu melanjutkan langkahnya ke dapur. Malam ini dia akan memasak soto ayam.
Rumaisha telah banyak bertanya tentang makanan kesukaan Agung serta kebiasaan-kebiasaan lelaki itu pada Nurmala.
Dia harus banyak tahu tentang suaminya agar dapat melayani laki-laki itu dengan baik.
Dia harus bisa membuat Agung merasa nyaman atau bahkan membuat laki-laki itu merasa membutuhkan dirinya. Jika semua itu berhasil, maka akan mudah baginya untuk mendapatkan hati suaminya itu.
Agung sangat menyukai makanan berkuah. Soto, rawon, sayur bening, sayur lodeh, sayur asam, pokoknya makanan berkuah.
"Segar." Begitu kata Agung yang disampaikan Nurmala.
Agung juga suka makanan khas Jawa seperti botok tempe dan lontong tepo. Kedua orang tuanya adalah suku Jawa asli. Namun sudah lama menetap di Kalimantan karena ikut program transmigrasi yang diselenggarakan pemerintah.
“Bahannya lengkap, Bu?” tanya Rumaisha pada Rohmah.
Wanita itu tadi dimintai tolong oleh Rumaisha untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan dalam membuat soto.
Ayam, kol, kecambah, bihun dan kentang. Bumbu-bumbu, yaitu ketumbar, kemiri, kunyit, jahe, serai, lengkuas, daun jeruk, bawang merah dan bawang putih. Serta bahan pelengkap, kecap dan cabe. Tidak pakai jeruk nipis karena Agung tidak menyukainya.
“Lengkap, Mbak. Rebes ...,” jawab Rohmah ceria. Perempuan itu memang selalu ceria.
“Sudah disiapin semua?” tanya Rumaisha lagi.
“Sudah, Mba. Kentang sudah digoreng, kecambah sudah dibersihkan, kol sudah diiris, bihun sudah direbus. Ayam sudah dibersihkan.” Rohmah menunjukkan pekerjaannya yang sudah rapi di atas meja.
“Tinggal bikin kuahnya saja, Mbak," lanjutnya.
Rumaisha mengangguk. Urusan bumbu, dia tidak mau melimpahkannya kepada Rohmah. Rumaisha ingin menciptakan cita rasa yang khas dan khusus untuk suaminya. Sehingga cita rasa itu tidak akan sama dengan yang ditemui di luar sana.
Cekatan, gadis itu meracik bumbu, membuat kuah soto yang aromanya menggugah selera.
“Mba Maharani enggak pernah masak lho, Mbak,” ucap Rohmah tiba-tiba.
“Oh, ya?”
“Iya. Kalau pagi selalu sarapan di warung. Siang kadang minta saya yang masak, kadang juga makan di luar. Malam juga begitu.”
Rumaisha hanya tersenyum. Ia tidak ingin memperpanjang topik tentang Maharani, khawatir masuk kategori ghibah. Rugi besar sebab bisa-bisa nanti amalnya justru akan diambil Maharani. Padahal, belum tentu amalnya banyak.
Setelah selesai memasak kuah soto, Rumaisha menyisihkan d**a ayam yang tadi ikut direbus sebagai kaldu.
"Tolong digoreng ya, Bu," pintanya pada Rohmah.
"Siap!" Wanita itu meletakkan kelima jarinya di pelipis, memberi tanda hormat. Rumaisha terkekeh menyaksikan kekocakan perempuan berusia empat puluh tahunan itu. Usianya ternyata tidak menghilangkan keceriaannya.
Setelah semua selesai, Rumaisha meracik soto dalam wadah yang cukup besar.
"Ini untuk Bu Rohmah bawa pulang," ucapnya.
"Wah, saya tidak perlu masak lagi di rumah ini. Terima kasih banyak, Mbak," balas wanita itu semringah. Gegas ia pulang dengan wajah yang begitu ceria.
Setelah cukup lama berkutat di dapur, Rumaisha lanjut menghangatkan air untuk suaminya mandi. Menurut Nurmala, Agung selalu mandi menggunakan air hangat ketika ia sedang lelah atau saat sedang ada masalah.
Oleh karena rumah ini tidak memiliki water heater, Rumaisha menghangatkan air dengan cara manual. Di kota kecil ini, memang sangat jarang orang menggunakan water heater di rumah-rumah.
“Hampir magrib, Mas. Mandi dulu.” Rumaisha menggoyangkan badan Agung pelan. Agung menggeliat kemudian membuka matanya. Laki-laki itu segera duduk sambil mengucek mata.
“Aku sudah siapkan air hangat. Handuk juga sudah di dalam,” papar gadis itu sambil berjalan menuju lemari pakaian.
Ia menyiapkan pakaian ganti untuk suaminya, baju Koko, sarung, dan inner. Lagi-lagi kata Nurmala, saat magrib Agung selalu mengenakan baju koko dan sarung.
“Mas magrib di rumah atau di surau?” tanyanya lagi.
“Di rumah saja,” jawab Agung datar sambil melangkah ke kamar mandi. Mandi air hangat memang membuat rileks. Hangatnya dapat membuat aliran darah lebih lancar. Agung keluar dengan wajah yang lebih fresh.
Agung takjub Rumaisha bisa paham kebiasaannya mandi air hangat jika pikiran sedang ruwet, padahal ia tidak memberitahu.
“Sholat jamaah ya, Mas,” pinta Rumaisha setelah laki-laki itu berpakaian lengkap. Dia sendiri telah siap dengan mukenanya. Ketika suaminya mandi, gadis itu berwudhu di kamar mandi belakang. Rumaisha juga sudah menggelar sajadah ketika tadi mendengar Agung akan sholat di rumah. Agung mengangguk.
Suara laki-laki itu bergetar ketika mengucap takbiratul ihram. Ini adalah pertama kalinya dia menjadi imam untuk istrinya padahal telah dua kali menikah. Dulu Maharani tidak mau diajak sholat walaupun ia sudah mengingatkan berulang kali.
Agung teringat ucapan Fauzan, bahwa ada rasa kebahagiaan tersendiri ketika mengimani istri sholat, dan itu benar ia rasakan sekarang. Walaupun dari dalam hatinya yang paling dalam, ia ingin yang diimaminya itu Maharani, bukan Rumaisha.
Meskipun sedikit, sejuk tetap terasa dihati Agung. Begitu pun bagi Rumaisha, bahagia menyelusup di hatinya. Imamnya itu ternyata bersuara merdu. Bacaan sholatnya pun fasih.
Selesai sholat diciumnya takzim punggung tangan suaminya. Ia rapalkan doa, agar kelak tangan itu mau membelainya dalam cinta yang sebenarnya.
Hati Agung bergetar ketika menyambut uluran tangan Rumaisha. Getaran yang lebih besar dibandingkan sentuhan jemari gadis itu dulu. Namun, ia tidak mau gegabah lagi menerjemahkan rasa. Ia takut salah.
“Mas, lapar? Makan yuk,” ajak Rumaisha setelah mengemas peralatan sholat.
“Makan? Kamu masak?” tanya Agung ragu. Sebab Maharani tidak pernah masak, kecuali telur ceplok dan mie instan. Selebihnya mereka makan di luar atau membeli lauk pauk di rumah makan.
“Huum. Aku masak soto. Mas suka soto kan?” ucap Rumaisha sambil melangkah menuju dapur.
Lagi-lagi Agung takjub bagaimana Rumaisha tahu makanan kesukaannya. Padahal mereka baru menikah dua hari. Namun, logikanya segera bekerja, pasti istrinya itu bertanya kepada Nurmala.
Agung makan dengan sangat lahap dan bersemangat. Soto di piringnya ludes dalam sekejap.
"Ternyata kamu pintar masak. Soto buatanmu enak sekali,” pujinya tulus. Rumaisha tersenyum. Tentu saja hatinya bahagia mendapat pujian seperti itu dari Agung.
Istri mana yang tidak senang ketika suaminya menyukai masakannya?
“Tambah, Mas?” tawarnya. Agung mengangguk. Ia menyodorkan piringnya untuk diisi lagi oleh Rumaisha. Setelah itu, ia kembali menyuap nasinya dengan lahap.