Bianca mendorong tubuh Alex, lalu langsung beranjak duduk. "Iih, enggak, ya! Aww!!"
Bianca meringis karena bagian intinya begitu sakit. "Sstt!! Kenapa sakit sekali?" lirih Bianca dengan berusaha menurunkan kakinya.
Alex yang memang sudah sangat berpengalaman pun mengerti apa yang dialami oleh sang istri. "Memangnya kamu mau kemana?"
"Ke kamar mandi lah, aku ingin mandi," ujar Bianca masih menunduk menahan rasa sakitnya.
Alex pun menghampiri Bianca, lalu menggendongnya. "Kamu tinggal katakan mau ke mana, aku gendong."
"Tapi, Kak. Huwaa!!" Bianca mengeratkan api tantangannya pada leher Alex, sebab, dengan sengaja pria itu ingin menurunkan Bianca. "Jahat banget sih?"
Alex tertawa renyah kesenangan karena akhirnya Bianca semakin mengeratkan pegangannya. Tentu saja Alex senang karena itu artinya Alex bisa dengan leluasa memandang wajah Bianca. Bibir Alex tidak henti-hentinya melukiskan senyum melihat raut wajah Bianca yang kesal akibat ulahnya.
"Sudah sampai, apa mau sekalian aku mandikan?" ujar Alex dengan seringai penuh arti.
Dengan cepat Bianca menolaknya. "Enggak usah! Aku bisa sendiri, heu!"
Alex kembali menahan tawanya melihat reaksi Bianca yang terlihat ketakutan Alex menginginkannya lagi. "Yakin?" ujar Alex lagi dengan sengaja.
"Yakin, pake banget pokoknya." Bianca pun mendorong Alex untuk keluar dari kamar mandi dengan sekuat tenaganya karena nyatanya tenaga Alex begitu kuat.
Brak!!
Bianca menghembuskan nafasnya lega. "Huuff ... huhh! Sekarang aman."
Bianca menatap wajahnya, lalu bagian leher juga tubuhnya. "Ini gila, dia meninggalkan bekas ini semua pada tubuhku? Dia sebenarnya manusia apa zombie? Aku masih masih hidup, kan?" ujar Bianca, sedetik kemudian Bianca tersenyum tipis menatap tanda merah itu.
Bianca memejamkan matanya, lalu menggigit bibir bawahnya teringat sensasi luar biasa yang dirasakannya saat bersama Alex. "Tapi dia memang begitu luar biasa."
Gadis itu terus merutuki suaminya yang memang terlalu gagah. Bianca sampai bingung bagaimana dirinya akan menyembunyikan tanda-tanda kepemilikan itu termasuk di bagian bibir yang terlihat bengkak. Jika di bagian tubuh, Bianca masih bisa menutupi semua itu dengan baju. Namun, untuk bagian lain seperti bibir dan leher, Bianca bingung.
"Ck, kenapa harus seperti ini, sih?" Bianca mencoba menggosok-gosok tanda kepemilikan itu, namun, bukannya hilang malah tambah sakit. "Aduuh, tapi ini sakit."
Akhirnya Bianca pun menyelesaikan mandinya walau masih jengkel. Gadis itu keluar kamar mandi dengan masih bingung. Sebab, tanda kepemilikan Alex itu makin terpampang jelas di tubuhnya yang mulus.
Kreeat ...
Bianca terkejut, karena saat pintu kamar mandi itu terbuka, Alex sudah berdiri di depan pintu itu. "Kak Alex?" Dengan cepat Bianca menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
Lagi-lagi Alex menahan tawanya melihat reaksi itu. "Apa yang kamu lakukan, Bi? Tidak perlu kamu menutupinya, aku sudah tahu semuanya."
Bianca membuka mulutnya lebar-lebar melihat seringai Alex yang langsung menutup pintu kamar mandi. "Iisst, nyebelin!"
Bianca pun memakai baju dan dengan sengaja mencari baju yang tertutup, hingga menggunakan syal agar tanda merah di lehernya bisa ditutupi. "Bibirnya gimana ini?"
Gadis itu mencoba mengolesi bibirnya dengan lipstik. "Ini cukup, sudah tidak terlalu terlihatlah."
Alex keluar dari kamar mandi. Pria itu tertegun sejenak melihat penampilan Bianca yang sedikit aneh. Ini musim panas, tapi Bianca memakai baju panjang dan juga syal. Namun, mulutnya kembali menahan tawa saat mengerti keadaan gadis itu.
Bianca menoleh pada Alex yang menahan tawa. "Apa? Kenapa Kak Alex menertawakanku?"
Alex menatap Bianca, lalu membalikkan tubuh sang istri hingga Bianca menatap tubuhnya di cermin, kemudian Alex membuka syal yang dipakai Bianca. "Aku rasa begini lebih simple."
Dengan cepat Bianca mengambil syal itu dan kembali memakainya. "Ini karena kamu, Kak. Aku malu."
Alex menatap wajah Bianca di cermin. "Kenapa harus malu? Kamu memang isteri, bukan?" Alex memeluk tubuh itu dengan lembut, lalu mengusap tanda merah kepemilikan yang ditinggalkan olehnya. "Tanda ini sebagai bukti jika kamu memang milikku, Bi."
Bianca tertegun menatap wajahnya juga wajah Alex. "Tapi aku belum siap ditertawakan oleh Mona, Kak. Mungkin aku perlu waktu," ujarnya dengan kembali memakai syal itu.
Alex pun tak tertawa kecil mengingat bagaimana hubungan Bianca dengan Mona yang tidak seperti nyonya dan asisten melainkan seperti sahabat. Pria itu mengerti apa yang di khawatirkan Bianca. Alex yakin Bianca akan menjadi bahan ledekan Mona jika Mona melihat tanda-tanda merah itu.
"Baiklah, senyamannya kamu saja, Bi. Sekarang bantu aku pakai baju."
Bianca pun tersenyum karena Alex tidak mempermasalahkan penampilannya dan sedikit aneh. "Siap, komandan!"
Alex tertawa renyah melihat tingkah Bianca yang memang sangat berbeda dari Melinda. Hidup Bianca selalu ceria seperti tidak pernah memiliki masalah. Padahal Alex tahu sendiri bagaimana ujian hidup gadis itu.
"Apa hari ini Kak Alex kerja?" ujar Bianca sambil merapihkan kerah baju Alex.
Alex masih belum menjawab pertanyaan dari Bianca, sebab, pria itu malah sibuk menatap wajah sang istri yang begitu serius merapihkan bajunya. Senyumnya pun tak putus-putus melihat wajah Bianca apalagi saat ingat reaksi wajah Bianca saat bermain di ranjang.
"Kak Alex?"
Alex tersadar. "Ah, iya. Aku belum jadwalkan cuti pada Robi. Kemaren aku diizinkan oleh Oma untuk tidak masuk karena dia yang menggantikanku untuk sementara. Apa kamu tidak keberatan aku kerja?"
Bianca menatap Alex dengan tersenyum lebar. "Tentu saja tidak, karena itu artinya aku akan terbebas dari rasa gugup," ujar Bianca dalam hatinya. "Tidak, bukankah seorang suami memang harus bekerja? Karena dia harus bertanggung jawab untuk menafkahi anak dan istrinya, bukan begitu?"
Alex menatap Bianca dengan senyum tipisnya, lalu menarik tubuh itu agar semakin dekat dengannya. "Itu benar, dan aku begitu semangat untuk bekerja karena aku ingin segera memiliki putra."
Bianca menelan salivanya melihat senyum Alex. Tentu saja Bianca tahu arti senyuman itu. Bianca sampai meremas baju Alex saat teringat bagaimana Alex menggagahinya.
"Baiklah, kita sarapan."
Alex dan Bianca pun turun. Mereka terkejut karena nyatanya Christina sudah berada di rumah mereka. Tentunya tidak ada yang tahu apa tujuan wanita paruh baya itu datang pagi-pagi selain wanita itu sendiri.
"Oma, Oma di sini?" Bianca memeluk wanita paruh baya itu.
Christina pun mengecup kening Bianca penuh kasih, lalu menatap Bianca sedikit heran. "Sayang, kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit?"
Bianca bingung saat Christina meraba keningnya. "Oma, aku baik-baik saja."
Bianca pun duduk di samping Alex. Christina menoleh pada Mona lalu, pada Alex. Sungguh sikap wanita itu mengherankan.
"Mona, apa sekarang sudah mulai musim dingin?" tanya Christina.
Mona pun menggelengkan kepalanya. "Belum Nyonya, justru cuaca saat ini begitu panas."
"Ooh, aku takut ada yang salah dengan suhu tubuhku karena Bianca seperti kedinginan, tapi dia tidak sakit."
"Hhmmff." Alex menahan tawanya saat sudah mengerti arti ucapan sang oma.
Bianca sendiri menggigit bibir bawahnya begitu malu. "Aku baik-baik sa-- eh eh."
Mona dan Christina membekap mulutnya melihat tanda-tanda merah di leher Bianca karena syal itu tak sengaja tersangkut tangan Alex hingga ke tarik dan akhirnya terlepas. "Oh my God, apa semalam ada zombie di kamar Anda, Nyonya?" ujar Mona.
Christina sendiri masih membuka mulutnya begitu lebar. Sedetik kemudian Christina memeluk Bianca dengan sangat senang. Wanita paruh baya itu seperti sudah mendapatkan sesuatu yang luar biasa.
"Akhirnya kalian melakukannya juga, Bi? Oh my God, ini adalah kabar yang sangat gembira bagi Oma, Bi. Oma senang sekali."
Bianca menoleh pada Alex yang hanya terdiam menyaksikan kegembiraan sang oma. Gadis itu bingung karena reaksi sang oma begitu aneh menurutnya. Terlalu riweuh dan membuatnya malu.
"Bukankah Oma pun dulu merasakan malam pengantin juga? Kenapa kepo sekali?" batin Bianca antara kesal dan malu.
"Bi, apa kamu mau bercerita bagaimana pengalamanmu semalam bersama Alex, hem?" ujar Christina begitu semangat.
"Haah? Maksudnya cerita?" Bianca tidak mengerti bagaimana wanita itu begitu kepo ingin tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan Alex, tapi mana mungkin Bianca mau bercerita, hanya sekedar terlihat tanda merah saja Bianca begitu malu.
Alex sendiri sudah tak tahan menahan tawanya sejak tadi. "Ahahaha, hhmmff!!" Alex kembali menahan tawa itu karena Bianca menatapnya begitu tajam. "Maaf, Bi, aku-- aduh, aduh, ampun, Bi."
"Ini karena kamu, Kak. Iisst, nyebelin!" Bianca membalikkan badannya dari menatap Alex, namun, gadis itu lebih terkejut lagi karena nyatanya Brian sudah berdiri di belakang sejak tadi. "Brian."
Terlihat Brian mengepalkan tangannya melihat leher Bianca yang penuh dengan tanda kepemilikan. Brian sampai memejamkan matanya menahan amarah. Namun, untuk saat ini Brian memang belum bisa berbuat banyak selain pasrah dan membiarkan Bianca bersama Alex.
"Ini terlalu menyakitkan, Bi," batin Brian semakin mengepalkan tangannya.