JANJIAN

1023 Kata
Aku memeluk lengan Bang Jun. Kami keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur bersama. Tidak peduli pada keempat kakakku yang lain, mereka terlihat menatap kami dengan tatapan aneh. "Bukannya tadi Abang bilang pusing? Pasti cecunguk satu itu yang nyuruh Abang masak," Siapa lagi kalau bukan Bang Bagus. Kakakku satu itu memang susah berkata yang manis sedikit. "Bukan dia yang nyuruh, gue yang ngajak. Apa kalian mau makan juga? Biar gue sekalian masakin," Mendengar Bang Jun membelaku, aku segera memeletkan lidah ke arah Bang Bagus. Aku sama dia memang sering bertengkar. Bang Bagus lebih sering membuat kesal daripada tidak. Dia terus saja bermuka masam setiap saat. Jarang sekali tersenyum kecuali saat sedang bersama Bang Jimi dan Bang Robi. Mereka berdua sudah seperti pawang Bang Bagus, si manusia beruang kutub. "Kagak usah Bang, kita masih kenyang," sahut mereka berempat hampir bersamaan. "Ya sudah, gue makan berdua sama Riri kalau kalian masih kenyang." Aku dan Bang Jun melanjutkan langkah kami menuju ke dapur. Sementara sayup-sayup aku masih bisa mendengar kakakku yang lain berbincang. "Mereka baru baikan kayaknya." ucap Bang Jimi. "Gue ngerasa ada yang aneh semenjak ada tamu yang katanya mantan Bang Jun itu." sahut Bang Nam. "Iya, Gue juga ngerasa gitu. Kayak ada perang dingin antara Bang Jun sama Riri." Bang Robi ikut nimbrung. "Perasaan biasa aja. Kalian yang mikir terlalu jauh." Rupanya Bang Bagus tidak sepemikiran dengan mereka. "Bang Bagus, cobalah sedikit peka. Abang nggak lihat, pas Bang Jun makan tapi matanya natap tempat Riri yang kosong? Gue malah sempat berpikir kalau sebenarnya Bang Jun suka sama Riri," Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bang Jimi. Bang Jun suka sama aku? Itu konyol sekali. Usiaku sama Bang Jun terpaut sebelas tahun. Dia bahkan cocok jadi Om-ku. Mana mungkin dia jatuh cinta pada wanita muda sepertiku? Tanpa sadar aku justru memperhatikan wajah Bang Jun dengan seksama. "Lo nggak usah ngada-ngada, Jim. Lagian Bang Jun nggak ada cocoknya sama Riri. Gue orang pertama yang bakalan nggak setuju kalau Bang Jun suka sama bocah ingusan itu." Bang Bagus kelihatannya memang tidak suka aku sama Bang Jun ada apa-apa. Aku juga tidak berharap jadian sama Bang Jun. Aku bisa memiliki kakak sebaik dia sudah sangat bersyukur. "Kagak usah dengerin apa kata mereka. Mending kita masak, terus makan." Rupanya bukan hanya aku, Bang Jun juga mendengar ocehan adik-adiknya. Aku mengangguk cepat. "Gue gak peduli mereka mau ngomong apa. Tapi bener kata Bang Bagus, Bang Jun cocoknya sama cewek yang mapan, yang satu level sama Abang. Cepetan cari pacar Bang, tapi ... jangan yang pakaiannya terbuka kayak Salsa. Jujur, gue nggak akan suka kalau Abang pacaran sama cewek model begituan." Bang Jun sudah tiga puluh satu tahun, apa lagi yang dia cari? Kita semua sudah dewasa, bisa mengurus diri sendiri. Rasanya tidak adil saat membiarkan Bang Jun terus menyendiri di usia dia yang seharusnya sudah memiliki anak dan juga istri. "Untuk sementara, Abang belum mikir ke sana, Ri. Abang masih pengen bareng sama kalian. Nikah artinya harus melepas kalian, itu yang Abang belum siap." Selalu itu alasan Bang Jun setiap aku menyarankan dia untuk menikah. Aku pernah bicara berdua dengan Mama soal ini, tetapi Mama bilang, dia menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Bang Jun. Dia tidak keberatan Bang Jun belum menikah di usianya yang sekarang. "Kapan siapnya, Bang? Kita semua udah bisa jaga diri, justru Abang yang seharusnya memiliki seseorang yang bisa ngerawat Abang," kataku sambil membantu Bang Jun memanaskan air, sementara dia sibuk mencari pasta di lemari khusus tempat bahan makanan kami. "Memangnya gue udah jompo? Gue masih sehat, bisa makan sendiri, bisa masak sendiri, ngapain nyari orang buat ngurusin gue? Ada-ada aja, Lo." Benar juga sih jawaban Bang Jun, tapi maksudku bukan mengurus yang semacam itu. Dia sebenarnya tidak paham atau memang pura-pura tidak paham? "Ish! Abang selalu aja ngeles. Selalu aja kalah kalau gue debat sama Abang. Pasti ada aja jawabannya. Rasanya pengen gigit." kataku gemas. "Sejak kapan Riri jadi kucing? Kok sekarang jadi suka gigit gitu?" "Sejak sekarang," jawabku judes. Bang Jun malah tertawa. Dia pikir aku sedang melucu apa gimana. Astaga! Gemes banget sama Bang Jun. "Waduh, Abang nggak punya ikan asin, gimana dong?" "Buat apaan?" "Buat kasih makan Lo, kan Lo udah jadi kucing," ledek Bang Jun. "Abaaaaaaang!! Sebel! Gue kelitikin, nih!" Aku sengaja menggelitik pinggang Bang Jun. Dia paling lemah terhadap rasa geli. "Eh, jangan dong, Ri. Ampun! Iya ... iya ... Abang nggak akan godain Lo lagi, janji." Bang Jun berlarian di ruang dapur, sementara aku masih terus mengejarnya. "Makanya, jadi Abang jangan jail," Aku menghentikan langkahku. Lelah juga bermain kejar-kejaran di dapur. Tiba-tiba saja ada Bang Vino yang duduk di tempat biasa aku duduk. Dia memperhatikan aku dan Bang Jun. Itu semua terjadi karena kamar Bang Vino memang dekat dengan dapur. Pasti dia terganggu dengan semua kegaduhan yang kami buat. Sekarang, manusia yang tampak mengantuk itu menatap kami tanpa berkedip. "Ngapain di situ, Bang?" tanyaku heran. "Lo yang ngapain, berisik amat udah hampir tengah malem," keluh Bang Vino. Seperti dugaanku, dia memang terganggu gara-gara aku dan Bang Jun bercanda. "Masak, mau makan. Abang mau?" jawabku cuek. Seolah aku tidak merasa bersalah sedikit pun dengan apa yang sudah aku lakukan. Bang Jun malah sibuk membuat saus untuk pasta kami. Dia tidak menanggapi keluhan Bang Vino. "Masak? Jam segini? Kalian bener-bener aneh. Besok Lo ada kelas, nggak?" Mendadak Bang Vino ganti topik. "Besok? Kayaknya ada, satu doang. Kenapa emang, Bang?" tanyaku penasaran. Tidak seperti biasanya, Bang Vino menanyakan jadwal kuliahku. "Kalau gitu, gimana kalau gue jemput. Kita jalan ke mall," tawar Bang Vino sambil menuangkan air putih ke sebuah gelas. "Sama Bang Jaka juga?" "Nggak, cuma kita berdua, Lo sama gue." Kenapa berdua? Aku satu kelas sama Bang Jaka, terus Bang Vino cuma mau jemput aku saja. Aneh. "Terus Bang Jaka gimana?" tanyaku memperjelas. "Dia kan ntar dijemput. Lo gue yang jemput pakek mobil gue," "Oh, oke." jawabku cepat. Kapan lagi bisa jalan-jalan gratis. Eh, aku lupa kalau setiap jalan memang selalu gratis. Ada enam pangeran yang selalu menjadi dompet berjalan. Klontang! Tiba-tiba suara tutup panci jatuh ke lantai mengagetkan kami. "Sori, tangan gue licin." kata Bang Jun menjelaskan, mengapa tutup panci itu bisa jatuh. Aku dan Bang Vino hanya tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN