Isla memanjangkan tangan kirinya, meminta satu unit taksi agar menepi dan mengangkutnya. Sebuah sedan berplat kuning akhirnya berhenti di depannya. Isla membuka pintu penumpang, menunduk.
“Saya basah, apa ga masalah, Bu?”
Pengemudi taksi itu kebetulan sekali seorang wanita. Mungkin ia berhenti karena merasa iba melihat sesamanya mencari kendaraan di bawah hujan deras.
“Ga apa-apa, Mbak. Masuk saja. Kebetulan saya mau pulang, dan taksi ini besok mau dibersihkan.”
“Terima kasih, Bu.”
Sepanjang jalan hanya dua hal yang Isla lakukan. Menahan dingin dan menahan tangis. Tak mampu dibendung, di pikirannya terus saja berkelebat semua kenangan bersama Oki.
Isla mengenal Oki sejak di bangku kuliah. Ia menuntut ilmu di jurusan kedokteran, sementara Oki menimba ilmu di jurusan farmasi. Awalnya keduanya hanya berinteraksi karena berkecimpung di organisasi kemahasiswaan yang sama. Lambat laun rasa saling tertarik pun muncul. Begitu keduanya naik ke tingkat tiga, Oki mengungkapkan perasaan cintanya pada Isla, meminta Isla menjadi kekasihnya.
Empat setengah tahun bersama, Oki melamar Isla sekaligus meresmikan pertunangan mereka. Karena saat itu Oki baru memulai karirnya di sebuah perusahaan farmasi ternama, maka pelaksanaan pernikahan keduanya direncanakan sekitar satu tahun kemudian, yaitu sekitar tujuh bulan lagi.
Namun kini, sepertinya Isla jelas-jelas harus berpikir lebih lanjut.
Tiba di kosannya, Isla langsung menuju kamar mandi. Menyalakan shower yang hanya mengalirkan air dingin. Ia terduduk di bawah kucuran air, menangis sejadi-jadinya. Jika di depan umum saja mereka berani berciuman, apa yang sudah mereka lakukan di belakang Isla?
Di luar sana, ponsel Isla berdering nyaring. Entah sudah yang ke berapa kali. Sang penelpon di ujung sana tiba-tiba merasa gelisah, seolah ada pertanda yang menyalakan alarm di benaknya jika ada sesuatu yang terjadi pada sang sahabat.
Isla melangkah keluar kamar mandi, kedua matanya terasa begitu berat, mungkin karena terlalu lama mengguyur diri seraya menangis. Ia mendekati nakas, menenggak segelas air, lalu naik ke atas ranjang begitu saja, menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai kainpun dengan selimut tebal. Dadanya masih terasa sesak tetapi sudah terlalu lelah untuk kembali menangis.
Esok harinya, jam di atas nakas sudah menunjukkan lewat tengah hari namun Isla masih saja membenamkan diri di balik selimutnya. Ia tadi beranjak turun, hanya sekedar untuk menunaikan kewajiban subuh. Sakit kepala pun mendera, wajar saja karena terakhir kali ia mengisi perutnya adalah kemarin siang.
Semalam, Isla berharap jika Oki akan datang ke kosannya, menjelaskan hal-hal yang perlu Isla tau. Tetapi hingga siang hari seperti ini, tak ada sedikitpun tanda-tanda kehadiran Oki. Apakah mungkin titipannya tak sampai ke pria yang dicintainya itu? Atau apakah Oki membutuhkan sedikit waktu untuk mengumpulkan keberanian menjelaskan semuanya pada Isla?
Isla bangun dari posisi berbaringnya, duduk terdiam di sisi ranjang. Lima tahun bersama, apa yang bisa lebih buruk dari memergoki tunangan sendiri mencium mesra wanita lain di depan umum? Isla menghirup napas panjang, menyentakkan udara keluar dari paru-parunya. Ia lalu berjongkok, mengambil sebuah kardus tebal yang ia letakkan di bawah ranjang.
Semua pemberian Oki ia letakkan di dalam sana. Termasuk sebuah karton manila seukuran postcard bertuliskan ‘five anniversary di House of Nad’s’. Janji mereka tiga hari usai pertunangan, akan merayakan hari jadi ke lima tahun ikatan kasih keduanya di sebuah restoran mewah milik seorang chef yang sangat Isla kagumi. Malam nanti, ia sendiri yang akan mengantar sekardus sampah itu ke kosan Oki.
Isla kembali duduk di sisi ranjang, menyesap minuman manis kemasan seraya menekan tombol power di ponselnya yang mati sejak subuh tadi. Begitu alat komunikasi itu menyala, rentetan notifikasi tanpa jeda masuk menyerbu. Ponsel itu baru saja tenang saat satu panggilan masuk ke nomor Isla.
“Ger?” sapa Isla begitu menekan tombol terima.
“NEEEK! GILINGAN AMIR DEH YEIY! YEIY MAU EYKE MOKAD PAKE JALUR BAYPASS? ASTAGHFIRULLAH NENG ISLA, YEIY MASIH IDUP?” pekik Gary di ujung panggilan.
“Hmm!”
Gary tersentak, tak mengharapkan suara sengau Isla yang menyapa pendengarannya.
“Oh my God. What’s wrong with you, baby?”
Isla tak menjawab pertanyaan Gary, justru air matanya yang kembali mengalir lagi.
“Yah Nek, kok lo nangis?”
“Lo di mana?” tanya Isla, parau.
“Poli psikiatri, nunggu dr. April.”
“Oh.”
“Gue batalin aja ya? Gue ke situ oke? Bawa bakwan malang, mau?”
“Ga usah, Ger. Selesaiin aja dulu urusan lo.”
“Duh Nek, hati gue gelisah. Dari semalam. Ternyata something happened with you.”
“Hmm!”
“Tapi sore ini gue harus flight, Nek. Mami sakit.”
“Sakit apa?”
“Tifus kata Papi.”
“Yah. Salam ya Ger. Ada yang harus gue urus malam ini. Nanti kalau semua oke, gue nyusul deh.”
“Ga usah, Nek. InshaaAllah Mami ga apa-apa. Kangen aja sama gue mungkin.”
“Hmm!”
“Mau cerita?” tanya Gary lagi.
“Ngga. Nanti-nanti aja,” jawab Isla seraya menahan isaknya kembali.
“Ya udah. Anytime, gue ada buat lo. Oke?”
“Oke.”
Isla menghirup udara kembali, sedalam-dalamnya, berusaha meredakan emosi. Gary di seberang sana menunggu.
“Ger,” panggil Isla.
“Ya?”
“Lo masih lama ga nunggu dr. April?”
“Masih, setengah jam lagi deh.”
“Ke poli Paru dan Jantung sebentar bisa ga Ger?”
“Jangan bilang lo gagal lagi ketemu si Ji Sung? Gue selengkat juga tuh orang!”
Isla akhirnya terkekeh pelan.
“Ada kecelakaan di tol kemarin sore.”
“Oh. Pantes.”
“Tolong bikinin janji temu buat lusa, Ger.”
“Lusa?”
“Iya, dr. Zhen praktek lusa, pagi.”
“Oke-oke! Dr. Zhen, lusa, pagi. Noted and saved!”
“Hmm! Thanks ya Ger.”
“Oke, gue menuju markasnya Ji Sung! Tenang aja, Nek. Udah sana mandi, lo pasti belum mandi dari pagi kan?”
“Iya. Ya udah ya. Bye Gary!”
“Bye, Nek. Ketjuph basah hanya untukmu. Mmmuah!”
“Mmmuah!”
***
Hari beranjak gelap. Isla baru saja melipat sajadah usai melaksanakan shalat magribnya. Ponsel Isla berbunyi, menyuarakan satu nada dering yang khusus ia atur untuk panggilan dari nomor Oki. Isla tertegun, membeku menatap layar ponselnya, justru ia yang tak memiliki keberanian menjawab panggilan itu.
Tak lama, pintu kamar kosan Isla diketuk. Tempat Isla tinggal itu memiliki penataan yang cukup unik. Satu pagar utama dengan deretan kamar membentuk angka 0. Di pusat bangunan, dibuat ruangan semi terbuka dengan beberapa sofa, kursi kayu, dan meja. Ruang untuk menerima tamu atau bersantai dan bercengkrama jika para penghuni bosan di dalam kamar.
Isla melangkah malas, membuka pintu berwarna putih dengan list pink di hadapannya.
“Isla...” lirih Oki.
Di jam itu, para penghuni yang kesemuanya adalah karyawati kantoran praktis belum mengisi kamar masing-masing. Isla berdiam diri di tengah pintu, tak mempersilahkan Oki masuk ataupun memintanya duduk di ruang tengah.
Tak ada satu katapun yang Isla ucapkan. Ia lebih memilih mendengar Oki bicara daripada harus kelepasan terisak lagi.
“Aku... Udah terima cincin kamu.”
‘Minta maaf, Ki. Aku akan maafin kamu. Aku akan terima kamu kembali.’
Tentu saja, amarah yang sedari semalam mengisi jiwa Isla, runtuh begitu saja saat melihat langsung wajah cintanya.
“Aku anak pertama, La. Bebanku banyak. Sampai detik ini orang tuaku tak memiliki rumah sendiri, mereka masih mengontrak, begitupun aku di kota ini. Kamu tau itu semua kan?
“Belum lagi Ibuku yang rutin cuci darah. Ditambah adikku yang kondisi khususnya membuatnya tak bisa membantuku menopang kebutuhan kami. Aku harus menanggung semuanya sendiri, La. Kalau kita terus bersama, menurut kamu, sampai kapan kita harus berjuang agar mampu hidup berkecukupan? Setahun? Dua tahun? Atau mungkin dua puluh tahun? Sementara keluargamu pun ga berbeda denganku.”
Jantung Isla bagai diremas keras oleh kata-kata Oki. Bagaimana bisa ia sama sekali tak merasa bersalah atas perilakunya? Jika ia memang tak lagi tahan dengan kondisi mereka yang sama-sama pas-pasan, kenapa Oki justru melamarnya?
“Aku butuh jalan untuk membuatku sukses lebih cepat. Dan Amy adalah jalan itu.”
‘Amy?’
“Kamu pasti melihat semuanya kan, La? Apa kamu lihat mobil mewah yang menjemputnya semalam? Bentley New Continental terbaru, Abangnya mengendarai itu. Dia seorang dokter di RS Permata Indah. Bahkan nomor polisinya bukan nomor rakyat jelata seperti milikku. Bisa kamu bayangkan sekaya apa keluarganya hingga bisa memilki mobil semewah itu? Bahkan aku ga sanggup membayar pajak tahunannya.”
Isla tertawa sinis. Luar biasa sekali pria di hadapannya ini.
“Ya, aku tau kedengarannya memang konyol. Tapi aku lelah, La. Aku lelah menjadi tulang punggung hingga bahkan untuk makan yang layak setiap hari saja aku kesulitan.”
Isla mendengus, tak lagi bisa berpikir jernih.
“Kita putus, La. Aku akan jelaskan ke keluargaku. Kalau kamu butuh aku menjelaskan ke keluargamu, aku akan sempatkan waktu.”
Isla tak sanggup bicara. Kehilangan kata-kata.
“Aku pulang, La,” tandas Oki. Ia berbalik begitu saja, melangkah menjauh meninggalkan Isla.
Selang beberapa menit, Isla yang masih berdiam diri di tengah bingkai pintu tersadar kembali dari keterkejutannya. Ia meraih kardus berisi sampah pemberian Oki, lalu melangkah cepat mengejar langkah sang mantan.
“OKI!” pekik Isla. Memanggil pria yang baru saja melewati pagar utama tempat Isla tinggal.
Langkah Oki terhenti, ia berbalik, menunggu Isla hingga mereka berdiri berhadapan dalam jarak dekat.
Isla menolehkan pandangannya, tertuju pada city car berwarna kuning hitam yang terparkir di depan kosannya. Seorang wanita terlihat duduk di kursi co-pilot, menatap sinis pada Isla.
“Ah, Amy itu,” gumam Isla.
Ya, Isla cukup tau tentang Amy. Seorang staf di bagian keuangan perusahaan farmasi tempat Oki bekerja. Oki pernah memperkenalkannya saat mereka tak sengaja bertemu dengan perempuan itu di tengah kencan. Lalu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan tak sengaja lainnya. Atau jangan-jangan sengaja? Entahlah, Isla sudah malas menyelami imajinasi liarnya.
Isla kembali memandang Oki. Ia menyodorkan kardus yang digenggamnya dengan kasar tepat di depan d**a Oki.
“Gue ga nyimpen sampah!” tegas Isla.
Oki terdiam. Wajahnya terlihat kaku menahan geram.
“Oke!”
Pria itu berbalik, melangkah menuju bak pembuangan sampah, membuang kardus itu ke dalamnya. Baru saja ia berpaling, seketika ia menolehkan pandangannya kembali ke dalam kardus. Tangannya terulur, memungut sebuat benda berkilau yang Isla letakkan di dalam kotak kecil transparan. Hair pin berlapis emas yang pernah ia hadiahkan untuk Isla.
Isla terpengangah melihat Oki memungut benda yang bahkan sudah ia buang sendiri ke dalam tempat sampah.
‘Sakit jiwa apa ini orang?’
“Gue kira lo mau nyemplung sekalian bareng temen-temen lo!” sinis Isla.
Oki hanya mendengus, enggan membalas ucapan Isla.
Namun sayangnya, tuntutan Isla belum sampai di sana. Tepat saat Oki membuka pintu mobil, suara Isla kembali bergaung.
“TUNGGU!”
Isla mendekat beberapa langkah, menatap sinis Oki dan Amy bergantian.
“Lima belas juta!” ujar Isla.
Oki mengerutkan keningnya.
“Oh, lo lupa? LIMA BELAS JUTA! Transfer ke rekening gue kalau lo masih punya malu! Ga usah pura-pura bego lo lupa sama hutang lo ke gue. Lo sendiri yang bilang lo bakal ganti uang gue saat uang lo ga cukup bayar DP mobil ini. Gue tunggu sampe besok! Kalau lo ga ada uang minta tuh sama cewek baru lo! Jangan batang lo doang yang dia mau!” cecar Isla dalam satu tarikan napas.
“ISLA!”
Isla terkekeh sinis. Tak perduli dengan pekikan Oki. Ia lalu berbalik, meninggalkan kedua orang pengkhianat yang wajahnya kaku menahan geram.