Bab 11

928 Kata
POV Adit [Ra, jangan bergadang … ] tulisku begitu saja tatkala aku memainkan ponsel. Menunggu …. Tidak ada jawaban …. [Ra … udah tidur?] Menunggu …. Masih tidak ada Jawaban …. Kluntang …. Jantung berdegup mendengar bunyi dari ponsel. Dengan cepat kuraih ponsel dan membaringkan diri di kasur empuk dengan sprey berwarna putih. [Kenapa, Dit?] balasnya. 'Sudahlah, katakan saja dengan jujur apa yang tengah kurasakan.' [Ra, aku gak bisa tidur] [Kenapa? Aku juga sama] [Terus kepikiran kamu] Deg … deg …. [Yang bener, Adit!] emot mikir darinya. [Serius, gimana ini?] [Agh, dasar gombal] kali ini emot tawa keluar iler dia beri di belakang tulisan gombalnya. [Ya udah deh kalau enggak percaya. Nanti langsung kubawa ke KUA] 'eeeaaakk ….' Dengan senyum merekah, kukirim pesan itu. Meski ada emot tawa, tapi memang itu yang tengah kurasa. [Terserah kamu, Dit. Tiara nurut kok mau di bawa kemana juga. Baru ke KUA. Bulan madu juga Tiara mau] 'Aih, Tiara … lampu ijo ini, lanjut, Dit' "Kamu kenapa cengengesan sendiri, Dit?" ucap Mama membuatku salah tingkah. "Mama, eh … Mama kapan masuk?" Kugaruk kepala yang tak gatal. "Kamu gak tutup pintu. Mama lewat, Mama perhatikan, kamu cengengesan kaya orang dapat undian." Aku hanya tertawa mendengar ucapan Mama. "Dit, gimana? udah ada?" tanyanya. "Ada apa, Ma?" "Halah … menantu untuk Mama lah. Gak kasian kamu lihat Mama gak ada teman?" "Sabar, Ma … proses," ucapku. "Sedih, Mama …." "Sedih kenapa, Ma?" "Sedih aja. Anak Mama ini tampan, pintar, sukses. Tapi …." Mama tidak melanjutkan ucapannya. "Tapi … apa, Ma?" tanyaku penasaran. "Gak laku-laku!" ucapnya seraya berlalu dan menutup pintu. Sedangkan aku masih termenung menatap pintu yang sudah tertutup. **** Pagi ini pukul lima pagi, seperti biasa aku sudah tiba di kontrakan Tiara. Wajah bangun tidur yang biasa kulihat, kini sudah berubah menjadi wajah cantik berpoles. Make-up tipis natural. Semenjak dia rutin memakai cream perawatan yang kuanjurkan, bahkan cukup memakai alis dan lipstik sudah nampak sangat cerah. Sempat putus asa juga saat itu, saat pertama kali melihat tubuhnya yang besar, akankah aku berhasil membantunya? Tapi karena semangat dan usahanya yang kuat, semua itu membuahkan hasil seperti sekarang. "Siap?" ucapnya … "Siap. Ayo lari." Dengan kobaran semangat, meski sudah mendapat hasil tubuh yang diinginkan, dia tidak ada bermalas-malasan. "Ra, Tunggu!" triakku. Bukan berhenti, justru dia semakin mempercepat larinya. Seakan memberi kode untuk mengejarnya …. Tiara … ingin rasanya aku memilikinya …. "Dit! Cepat kejar aku!" Tanpa basa dan basi, aku berlari sekencang mungkin untuk meraihnya. "Tiara!!!!!!" Percuma, nafasku sudah tak kuat. Kuakui kali ini aku kalah darinya. "Huuuu, dasar payah!" sungutnya namun terdengar manja di telinga. "Kenapa kembali?" tanyaku. "Ya kamu lemes di sini! Hem … bahasa ala kamu itu, terkulai …." cetusnya. "Hahahahahaha." Tawa kami pecah bersamaan. "Ra …." "Hem …." "Kamu tau bahasa Indonesia i Miss you?" Sengaja aku bertanya seperti itu. "Aku rindu kamu," jawabnya dengan menatap ke arahku. "Aku tau, aku juga rindu sama kamu. Selalu merindu di sanubari hati terdalamku." Mendengar ucapanku, Tiara kembali mencubit pinggangku. Tubuh bagian ini memang selalu menjadi sasarannya. "Awww … sakit, Ra." Aku menyeringai kesakitan. "Jangan gombalin aku terus, Dit! Nanti aku jadi baper …! Huhuhuhuhu." Tiara terisak dan mencoba mengusap air mata yang mulai terjatuh. "I'm serious," kupegang tangannya, lalu kuletakan telapak tangan Tiara tepat di dadaku. "Gimana? Kamu ngerasain detak itu?" tanyaku. Tiara masih termenung menatapku. Tangisnya pun sudah berhenti. "Jangan memandangku sayu, Ra," lanjutku. "Jika boleh jujur aku ingin hubungan ini lebih dari persahabatan. Persahabatan ini berubah jadi cinta, Ra." Aku harap Tiara mengerti maksudku. "Dit …udah jangan ngacho ngomongnya. Udah siang tu, lihat jam tanganmu. Gak kerasa ya." Tiara menjawab ucapanku namun seperti mengalihkan pembicaraan. Selama ini memang aku yang terlalu menunjukkan perasaan. Lucu juga, biasa aku yang di kejar perempuan, kali ini aku yang harus mengejar perempuan … Bukan Adit kalau harus di tolak perempuan. Tiara … aku ini cerdas … sahabatku Kakak iparmu, Ra. "Dit … ayok pulang," ajaknya. Dasar bawel ,,, tanpa menjawab kugandeng tangannya seperti anak kecil. Yang lebih lucu, dia menurut saja. ***** Seminggu berlalu setelah aku mengungkapkan perasaan. Hingga sekarang masih tidak ada jawaban. Hari ini jadwal untuk mengecek timbangan Tiara. Aku berharap berat badannya sudah ideal. Tanpa menghubungi terlebih dahulu, aku segera meluncur ke kontrakannya. ***** Berdebar hatiku berdebar Terbayang kala kau sentuh aku Terbuai aku dalam cintamu Hanyut kurasa di pelukanmu Jatuh cinta bergetar jiwaku Saat kau peluk aku Dunia seakan milikku Bagai embun pagi kau kunanti Beri sejuk dalam sendiriku Jauh di pandang dekat di hati Ingin kubelai mesra…. Dengarkanlah wahai kekasihku Meski rindu tak selalu di kalbu Janganlah sekalipun kau ragu Saat ku tak ada di sisimu Hati ini selalu milikmu Aku yang mendengar dirinya sedang bernyanyi di dapur langsung menyambarnya. "Aku gak pernah meragukanmu, Ra. Ternyata merdu juga suaramu," cetusku membuatnya tersentak malu. Raut merah nampak di wajahnya. "Kok kamu ada di sini?" tanyanya dengan sikap yang menandakan salah tingkah. Sungguh lucu sekali melihatnya gelagapan seperti ini. "Hari ini timbangan. Pasti lupa," ucapku dengan senyum yang kian melebar. Bukan apa, aku sangat menikmati sebuah lagu yang di senandungkan oleh Tiara barusan. "Ra ,,, lagu tadi siapa penyanyinya?" tanyaku penasaran. "Ike Nurjanah," ketusnya. Sambil mengambil timbangan. "Bagus ya, aku mau menyalakannya di Youtube. Apa judulnya?" "Selalu milikmu," ucapnya masih dengan nada ketus. "Kok kamu tahu, kalau kamu itu milikku!" Aku masih terus menggodanya. "Aditttttt!!!! Berhenti menggodaku!" triaknya. "Jangan buat aku jatuh cinta sama kamu!" protesnya. "Memang itu tujuanku." Tiara hanya memanyunkan bibirnya. "Cepat timbang berat badanmu! Ingat jangan cari kesempatan untuk memeluku!" Tiara memelotototkan kedua matanya. "Perempuan kok pinter modus," sindirku. Tidak ada jawaban dari mulutnya. Hanya tatapan sinis dari matanya ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN