Bab 12

1226 Kata
"Perfect, Tiara! Buka mata! Ingat, jangan cari kesempatan dalam kesempitan! Jangan modus! Kalau mau peluk, peluk aja. Adit rela kok," ucapnya penuh tawa. "Yeeeeee!" triaku. Hampir aja kebablasan, untung masih bisa nahan diri. "Sini, Ra. Kalau mau peluk. Nih, Adit sudah siap," ucapnya sembari membentangkan tangan. "Huuuu … ngarep!" cetusku. "Berapa Kg?" "52 kg. Yeeeeeeee … makasih Dokter Adit," ucapku. Sebetulnya aku ingin memeluknya, tapi ku-urungkan. Daripada dibilang modus, lebih baik menahan diri. "Ra, beresin bajunya, kita pulang hari ini," ucapnya. Ada senang ada juga sedih. Senangnya bisa ketemu keluarga, sedihnya, tidak lagi menghabiskan waktu dengan Adit. Tidak pernah kubayangkan aku menjadi secantik ini sekarang. Bagaimana reaksi mereka melihat perubahanku. Rasanya aku sudah tidak sabar. Apa kabar mantan suami dan ipar serta mertua? Aku harap kalian tidak jantungan melihat perubahanku. "Ra, aku bilang, beresin baju sekarang. Ini kenapa malah senyum-senyum sendiri? Jangan bilang kalau kamu lagi mikirin aku," ucapnya dengan PD. "Huh! Sok tahu kamu!" Kutinggalkan dia melangkah ke kamar. "Ra, jangan lupa, pakai baju yang telah kubelikan," triaknya lagi. "Siap, Sayang!" 'Eh, ups … salah … keceplosan. Mending aku kabur.' "Ulangin lagi dong, Ra! Lebih merdu dari lagu Ike Nurjanah tadi!" pekiknya. Dasar Adit, bisa aja, membuatku senyum sendiri. Kalau seperti ini aku merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Astaga Tiara …. **** Setelah beberapa menit, aku sudah selesai merapikan semuanya. Semua pakaian yang telah dibeli oleh Adit, kubawa tanapa ada satupun yang tertinggal. Allhamdullillah, tidak perlu menunggu hingga tiga bulan. "Adit! Jelek! Bantuin angkat koper dong!" "Kalau mau minta tolong itu yang bener manggilnya! Adit, Sayang! Bantuin Tiara dong! Gitu, Ra! Masa harus di ajarin! Payah! triaknya. 'Ya ampun, Adit … kenapa kaya anak muda gini "Cepat, Dit! Tolongin, berat ini!" Aku masih sibuk menyeret koper. 'Haduh kenapa tidak ada rodanya sih.' "Hem … aku di sini." Direbut koper olehnya. Lalu secepat kilat dia membawanya pergi begitu saja. Aku hanya mampu memandang kelakuannya. "Cepetan! Malah bengong! Tinggal, ni!" ucapnya. Tanpa menjawab aku berlari mengejarnya. 'Ingin rasanya mengucapkan kata I Love You' "Dasar ceroboh! Pakai sabuk pengamanmu!" ucapnya sambil memakaikannya padaku. Sebenarnya aku sengaja, biar dia yang memakaikannya. Eh ternyata berhasil … ckkcckkck … untung dia tidak sadar kalau aku hanya modus. "Senyum-senyum lagi, ketahuan ni, pasti modus," cetusnya lalu mulai menginjak gas mobil. 'Ahahahahhaha bodo amat' Benar-benar aku merasa menjadi anak muda yang tengah jatuh cinta. "Dit …." Panggilku disaat suasana menghening. Tumben saja sepanjang jalan dia lebih banyak diam. Entah apa yang dipikirkan. "Hem … " jawabnya. "Hem doang?" tanyaku sedikit kesal. "Apa, Sayang?"ucapnya lembut. 'Ya Allah … kesel-kesel seneng kalau begini. "Emang kamu gak denger HP-mu dari tadi kluntang, Klanting? Tu ada pesan masuk. Siapa tahu penting," kilahku. 'Padahal HP-nya baru saja bunyi.' "Bukain, Ra. Aku lagi nyetir," jawabnya. "Hem … oke." "Siapa?" "Bara staf kantor," ketusku. [Pak, mohon maaf, saya ijin cuti selama seminggu. Pernikahan kami dipercepat. Kalau bisa, Pak Adit tolong datang dengan pasangan serta Pak Ilham] "Tolong balas oke, Ra." Aku hanya mengangguk. Lalu kutulis OK dan mengirimnya pada mantan suamiku itu. ***** Aku dan Adit kini telah sampai di rumah orang tuaku. Hati ini rasanya tidak karuan. Kulihat seorang kurir baru mengantarkan paket. "Ra, masuk. Kenapa berdiri aja?" tanya Adit. "Aku deg-degan, Dit. Malu juga, campur aduk." "Ada-ada aja kamu, Ra. Mau masuk ke rumah sendiri kok malu," ucapnya. Aku masih mematung di depan pintu. Adit dengan PD-nya menarikku masuk ke dalam rumah. "Asalamualaikum." Adit mengucap salam yang langsung di sambut oleh semua keluargaku. Di ruang keluarga yang sekaligus menjadi ruang tamu itu, mereka sedang berkumpul. Sebenarnya ada ruang tamu kusus, tapi ruangan ini terlalu besar dan selalu terlihat rapi, letaknya juga tepat dari pintu utama. Biasanya, para tamu lebih suka duduk di ruangan ini, bagi mereka lebih terasa keakrabannya. "Walaikumsalam. Dokter Adit … datang dengan siapa" tanya Ibu. Mungkin Ibu tidak menyangka kalau aku akan datang hari ini. "Tiara," panggil Adit. Aku muncul dari balik punggungnya. "Ra!!!!!!" triak Mba Milka. Mba Milka berlari menghampiriku. "Tiara!" Ibu, Ayah, Bang Jaya. Semua ikut berteriak. Mereka tidak percaya dengan perubahanku. Di cubitin-nya semua tubuhku. Bang Jaya memandangku hingga tak berkedip. "Ini beneran Tiara adik Bang Jaya?" tanyanya tak percaya. Aku mengangguk disertai tawa. Di sela kebahagiaan ini, aku melirik ke arah Adit penuh haru. Dia mengangguk tersenyum tulus. Senyumnya sangat menenangkan, membuatku takut kehilangan. Seperti mengerti akan kode lirikanku, Ibu dan Mba Milka membawa kami duduk bersama. Semua terasa akrab, Ayah, Bang Jaya dan Adit sibuk bergurau bersama. Sedangkan aku, sibuk menjawab ribuan pertanyaan dari Mba Milka dan Ibu. Sesekali, pandanganku dan Adit saling bertemu ketika kami saling melirik. "Ra, tadi ada undangan pernikahan dari Bara. Apa kamu mau menghadirinya?" tanya Bang Jaya sambil menyerahkan undangan itu. "Aku akan datang, Bang. Kenapa enggak? Aku ingin melihat reaksi dan tanggapannya nanti seperti apa," ucapku penuh keyakinan. "Aku akan menemanimu, Ra. Aku juga diundang oleh Bara," cetus Adit. "Memang kamu kenal mereka?" tanya Mba Milka. "Kenal. Sandra dan Bara karyawan di kantorku. Hanya saja semenjak aku fokus di kelinik, Ilham yang mengurus kantor," ucapnya. Mba Milka terlihat mengerti. "Tunggu, si Ilham sepupumu yang angkuh dan super jutek itu, Dit?" Mba Milka kembali bertanya. "Iya, Ka. Masih inget kamu?" jawab Adit. "Masih … Gila dingin banget kan tu bocah," jawab Mba Milka lagi. Mereka asyik mengobrol sendiri tanpa mengindah-kan keberadaanku. "Nyimak obrolan para senior," cetusku di sela keasyikan mereka. Keduanya hanya tertawa. "Oh iya, kapan acara pernikahan Sandra dan Bara?" tanyaku. "Sekitar tiga hari lagi. Kamu harus tampil cantk. Kan mau pergi bareng Dokter tampan." Candaan Adit membuat Mba Milka senyum sendirian. 'Dasar Adit!' "Nenek …!" triak kembar bersamaan. Mereka baru pulang sekolah. Namun keduanya tidak memeluku seperti biasa, mereka hanya menatap mengamatiku. "Nanda, Nandi. Sini, Sayang. Ini Bunda," ucapku. "Dan ini, Papa," cetus Adit membuat semua tertawa renyah. "Bunda? Ini Bunda?" tanya Nanda memastikan. Berkali-kali aku mengangguk lalu memeluk keduanya dengan erat. "Bunda, Nanda kangen." "Nindi juga kangen, Bunda," tambah Nindi. "Kalian gak kangen sama, Papa Adit?" sambar Adit dengan PD-nya. Mba Milka melotot ke arahnya. "Kamu mau sama anak Ibu, Dit?" tanya Ibu membuat diriku semakin malu. "Mau banget, Bu. Cuma gak tahu dengan Tiara," jawabnya sambil melirik ke arahku. "Tiara mau, Dit. Cuma malu," cetus Bang Jaya. Ayah hanya menganggukan kepala. 'Ya Allah … mereka tega sekali memalukan diriku.' "Ra, kalau kamu sudah siap, beri aku jawaban. Aku akan datang bersama orang tuaku," ucapnya di depan seluruh keluargaku. Entah kenapa aku merasa Adit hanya bercanda, apa aku yang sudah terlalu trauma. Biarlah, akan kutunggu keseriusannya. "Semuanya, Adit pamit pulang dulu." Setelah mencium tangan Ayah dan Ibu, Adit berpamitan pada Mba Milka dan Bang Jaya. Aku sendiri mengantarnya sampai depan pintu. "Ra, sampai ketemu lagi," ucapnya. Berat sekali melepasnya pergi. Padahal hanya pulang ke rumahnya. Dasar payah. "Ra, sampai ketemu lagi," ucapnya lagi. "Kebiasaan melamun," lanjutnya. "Eh iya, Dit. Makasih ya. Hati-hati di jalan," jawabku. "Jangan lupa, lusa kamu kujemput." Aku mengangguk tanda mengerti. "Ra … lagu Ike Nurjanah, sering-sering di puter ya. Aku suka banget," godanya sebelum pergi. "Adittttt …." Baru aku ingin menyerang pinggangnya, dia sudah berlari dan melambai. Sepertinya dia sudah tahu kalau seranganku akan keluar. 'Dasar Adittt!!!! "Masuk kali, Aditnya udah pergi," cetus Mba Milka. "Ih, apaan si, Mba," jawabku malu-malu. Padahal aku terpaku melihat kepergiannya. "Cie-cie, Tiara. Secepat itukah dikau jatuh cinta?" goda Mba Milka. Daripada ucapanya semakin memanjang, lebih baik aku kabur ke kamar. "Ye, dia kabur!" triak Mba Milka. Masa bodo aku mengabaikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN