“Lo kok bisa sih? Lewatin kakak kelas tadi? Lo emang bilang apa?” tanya Radiant penasaran karena Alana berhasil bernegosiasi dan mereka akhirnya bisa masuk ke dalam hutan terlarang.
“Yah gue bilang aja ini tugas dari salah seorang Professor di Assamble Academy,” ujar Alana.
“Mereka langsung percaya? Terus lo langsung diizinkan begitu aja? Sebenarnya mereka yang bodoh atau gimana sih.” Radiant masih tidak memahami situasi yang terjadi.
“Lebih tepatnya gue yang pintar, sebenarnya Professor di akademi ini emang suka memberikan perintah aneh sama muridnya. Gue hanya memanfaatkan kesempatan itu aja,” jelas Alana.
Radiant tidak bertanya kembali karena ia sudah paham maksud Alana, teman barunya itu benar-benar cerdas menurutnya. Jadi Alana sekarang memandu jalan masuk ke dalam hutan terlarang.
“Apa sebenarnya yang ingi lo cari di sini?” tanya Alana.
“Sebenarnya gue ingin mencoba kekuatan gue, kalau gue coba di magicland itu sepertinya akan terlalu mencolok dan gue ajak lo juga biar lo bisa mengontrol gue kalau semisal gue kelepasan,” ungkap Radiant.
“Oh gitu.. yaudah gue naik ke atas pohon ya. Gue akan perhatikan lo dari atas, oke?”
“Oke!” seru Radiant.
Mereka tidak berani terlalu masuk ke dalam hutan terlarang karena takut tersesat, jadi mereka hanya berada di pinggiran hutan terlarang saja, pastinya itu sudah cukup jauh dari magicland dan membuat energi alam yang diperlukan oleh Radiant sudah tercukupi.
Radiant berusaha untuk berkonsetrasi, ia merasakan energi alam langsung penuh di sekelilingnya. Ia menarik napas dan angin sudah mulai bertiup cukup kencang di sekelilingnya, cahaya hijau mulai muncul di sekelilingnya bersamaan dengan ia yang juga melihat banyak energi berkumpul di dalam pejaman matanya. Radiant merasakan energi di hutan terlarang itu begitu kuat dan menbuatnya bisa dengan mudah memunculkan energi berupa cahaya hijau.
Alana yang melihat Radiant menggunakan kekuatannya itu sangat takjub karena baru pertama ini ia melihat cahaya hijau yang begitu menenangkan. Cahaya itu sendiri berbentuk seperti gelembung yang sanganya banyak, tetapi mereka mengeluarkan cahaya yang tidak terlalu terang dan membuat mata sakit, tetapi cahaya itu menyala lembut dengan warna hijau muda yang menenangkan.
Saat itu juga Alana memiliki firasat bahwa Radiant juga bakal termasuk ke salah satu murid baru yang terkuat diantar mereka semua. Alana merinding saat mengetahui bahwa di sekelilingnya terdapat banyak sekali orang yang kuat, sedangkan ia sendiri masih bingung dengan kekuatan yang dimilikinya.
“Bagaimana bisa ia melakukan hal segila itu ya..” lirih Alana meperhatikan Radiant untuk bisa mempelajari teknik yang digunakan temannya itu.
Radiant yang masih fokus semakin membesarkan jangkauannya dan ia bisa merasakan hutan terlarang itu lebih luas lagi, merasakan berbagai kehidupan di dalamnya. Anehnya energinya tidak terkuras banyak seperti ia mencoba kekuatannya saat di perpustakaan.
Setelah merasa cukup, Radiant menghentikannya. Ia membuka matanya kembali, tetapi ia dapat melihat sel darah putihnya menumpuk pada bola matanya.
“Banyak sekali kunang-kunang,” ucap Radiant.
“Lo pusing?” sahut Alana yang merasa khwatir dan langsung turun menghampiri Radiant.
Alana merangkul Radiant yang kelihatannya sangat lemas dan membawanya untuk duduk bersandari di bawah pohon yang memiliki batang rata agar punggung mereka tidak sakit, “Lo nggak apa-apa? Ada gejala lain nggak?” tanya Alana.
“Tidak kok, gue udah mendingan. Tadi hanya pusing sekelebat saja. Apa yang lo liat waktu gue coba berkonsentrasi tadi?” tanya Radiant menatap Alana.
“Ah itu.. waktu lo tadi coba meditasi ya? Apa sih sebutannya? Pokoknya itu deh, gue lihat banyak cahaya kecil bewarna hijau di sekeliling lo. Oh iya, angin juga banyak seakan berkumpul di dekat lo. Sampai rambut lo berantakan seperti itu.
Radiant langsung mengecek rambutnya dengan merabanya, menariknya, lalu matanya melirik ke arah yang bisa diliriknya. “Wah! Ternyata gue benar-benar berantakan sekarang. Udah sore juga, balik asrama yuk!”
Alana hanya mengangguk dan berakhir mereka berdua balik ke asrama dengan membeli cemilan dahulu di supermarket terdekat yang ada di dekat asrama mereka.
***
“Gue nggak habis pikir lo bener-bener ngajak kue tandingan kuda,” kesal Olfie masih dengan napasnya yang terengah-engah.
“Gue lebih nggak nyangka lo rupanya bisa menang dan lo bilang apa tadi? Lo putri kerajaan? Gue heran apa yang bisa menyebabkan lo nggak betah di istana serba mewah itu.”
Olfie terdiam dan menoleh masih dengan muka kesal kepada Mark, “Kalau jujur, gue sebenarnya di sana sangat dimanja. Saking gue dimanjanya, gue sampai susah banget mau keluar dari pagar istana, bahkan lo tau? Gue diberi homeschooling alih-alih sekolah luaran sana yang bagus, bahkan gue nggak dikasih ikut kelas kerajaan. Lo tau alasan mereka apa saat gue tanya? Mereka bilang bakal banyak yang iri sama gue karena status gue saat itu putri tunggal kerajaan, sehingga banyak yang mau bunuh gue karena itu? Entahlah, alasan mereka nggak masuk akal sama sekali.”
Olfie curhat panjang lebar dan Mark dengan senang hati tentunya mendengar semua curhatan Olfie.
“Wah, tapi bukannya seorang putri emang selalu begitu? Maksud gue mereka harus menjaga dirinya karena jika hanya anak tunggal seorang, maka ia yang akan melanjutkan takhta kerajaan. Tapi lo sekarang di sini? Apa nggak rusuh nantinya?”
“Ya meski gue seorang putri kerajaan, tapi kan gue juga manusia Mark. Makhluk sosial mana yang tahan dikurung di tempat mewah? Oh mungkin banyak orang yang membayangkan tempat mewah itu kita bisa mendapatkan apa aja, benar! Fisik lo bakal dimanakan dengan semua itu, tapi beda dengan psikis lo yang hancur karena tekanan politik dan sosial,” ujar Olfie.
Mereka berdua sekarang sedang berjalan-jalan kembali menyusuri sungai Emerald sekalian melihat senja yang bentar lagi menghilang. Mark sebenarnya paham dengan perasaan Olfie, hanya saja Mark mencoba mencari celah untuk menyerah titik lemahnya Olfie sehingga ia bisa menceritakan lebih banyak lagi keluh kesahnya.
“Gue paham sekarang kenapa banyak anak bangsawan yang kabur dari istana,” ujar Mark.
“Eh? Gue baru sadar akan suatu hal, terus dari mana lo bisa jumpa tukang bakso dan bersalaman dengannya sedangkan lo sendiri dikurung?”
“Oh itu, sebenarnya gue kemarin itu kabur dengan memanjat pagar istana. Siapa sangka gue ternyata menemukan kenyataan pahit bahwa gue bersalaman dengan orang yang nggak pernah gue kenal dan gue masuk ke akademi ini, gue merasa kembali seperti terkurung..” lirih Olfie di akhir perkatannya.
“Setidaknya lo bisa mendapatkan banyak teman kan di sini? Nggak usah khawatirkan hal lain, harusnya lo bersyukur dong masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan hidup lebih baik,” ucap Mark.
Olfie sudah meneteskan air matanya sedari tadi, ia sebenarnya sangat tersentuh karena ternyata ada orang yang mau berteman dengannya. Olfie melirik Mark dan tersenyum dengan sumringah, “Makasih!”
Ucapan Olfie barusan membuat Mark tertegun karena kecantikan alaminya, Mark benar-benar tidak dapat berkata. Hanya satu yang terus-terusan terlintas di kepalanya.
“Cantik sekali..” lirih Mark tanpa sadar.