Edward duduk di atas sebuah dahan pohon yang cukup tinggi, ia duduk sembari memakan sebuah apel madu yang diambilnya dari pohon yang sedang ia naiki. Angin sepoi-sepoi bertiup cukup kencang dengan arah yang tidak beraturan membuat rambutnya yang cukup panjang itu menjadi berantakan. Edward berulang kali melihat ponselnya menunggu kedua muridnya yang sangat lama sekali datang ke pinggiran sungai Emerald tempat mereka membuat janji.
“Di mana Professor, gue nggak melihat batang hidungnya sama sekali.” Seseorang berucap yang membuat Edward mencari keberadaan suara itu dan menemukan Olfie beserta Mark yang berjalan santai menuju tepi sungai Emerald.
“Ternyata mereka sudah datang,” gumam Edward yang langsung turun dari pohon apel itu untuk menemui kedua muridnya itu.
Mark dan Olfie secara refleks melihat ke belakang mereka karena terdengar sebuah hentakan yang sangat keras dan sedikit menggetarkan bumi di sekeliling mereka.
“Siapa itu?” refleks Olfie dengan suara beratnya yang keluar karena kaget.
“Professor?” ucap Mark dan Olfie secara bersamaan, mereka berdua melihat ke atas darimana asal Edward datang.
“Professor dari atas?” tanya Mark memastikan prasangkanya.
“Iya, kebetulan aku sudah cukup lama menunggu kalian berdua, kenapa telat?” Edward menginterogasi kedua muridnya itu dengan gayangnya yang angkuh, ia menyilangkan tangannya di dadanya dan menatap keduanya dengan bawah matanya.
“Ah itu tadi.. kita ketiduran di perpustakaan Prof,” jawab Mark dengan kegugupan yang luar biasa, ia sedikit takut jika salah perkataan dan malah akan memperburuk suasana.
“Oh? Jam berapa kalian ke perpustakaan?” Edward bertanya karena ia juga penasaran dikarenakan kedua muridnya itu mengirimkan jawabannya jam 5 pagi.
“Sekitar jam 4 pagi?” jawab Olfie sedikit ragu karena mereka tidak melihat jam saat datang ke perpustakaan waktu pagi buta tadi.
“Oh yasudah gapapa dan jawaban kalian kebetulan juga benar sekali. Jadi aksara sae terinspirasi dari sungai Emerald yang mengalir yang asalnya dari kebun ceri. Tentunya karena kalian sudah berhasil menjawabnya, seharusnya kalian sudah pergi ke kebunnya juga kan?” Edward bertanya untuk memastikan argumen kedua muridnya.
“Sudah Prof, jadi sekarang apa kita sudah bisa belajar tentang kekuatan sihir?” Olfie mengalihkan topik.
“Untuk apa? Sebenarnya beberapa hari ini aku memperhatikan kalian dan sejauh ini tidak ada yang bermasalah dari kekuatan sihir yang kalian miliki. Kalian hanya perlu observasi dan mengembangkannya. Jadi sesi orientasi kali ini udah selesai, kalian sudah bisa mulai masuk ke kelas besok pagi, sampai jumpa!”
Edward langsung pergi begitu saja meninggalkan Mark dan Olfie yang sama sekali tidak mengerti tentang apa yang terjadi.
***
Mark meregangkan tubuhnya yang sudah terasa sangat kaku karena tidur terlalu lama. Karena orientasinya dengan Olfie sudah selesai, jadi mereka berdua memutuskan untuk istirahat dahulu di asrama baru besok mulai kembali mengasah bakat mereka dengan kakak pembimbing masing-masing.
Mark yang merasa sudah terlalu banyak memforsir tubuhnya pun memilih untuk tidur dan beristirahat sepanjang hari, ia juga menunggu kedua teman sekamarnya pulang, tetapi sudah larut tengah malam tidak ada tanda-tanda kemunculan Alan dan Dave.
“Orientasi mereka pasti menyenangkan,” lirih Mark sedikiti iri karena dirinya mendapatkan mentor yang membosankan.
Meskipun begitu, hal yang dilakukannya dengan Olfie tidak semembosankan itu dan cukup mengasyikkan untuk membuat dirinya lupa dengan dunia lamanya. Mark bahkan tidak ingat mempunyai rumah dan juga keluarga yang buruk, karena itu Mark merasa harus lebih fokus pada keadaan yang di depan matanya.
Mark merasa dia akan aman untuk sementara waktu, tetapi yang namanya dunia itu tidak mungkin tidak memiliki sifat buruk. Pasti ada hal buruk yang akan menimpanya dan tempat yang sekarang ia pijaki ini, menjelang itu Mark harus bisa memahami keadaan dan memperkuat kemampuannya.
“Gue balik! Akhirnya! Bisa balik ke asrama, eh nggak ada orang di sini kah?” Alan berteriak sebaik ia sampai ke dalam kamar dan membanting pintunya keras.
Mark yang mendengar itu segera keluar dari kamarnya dan menyampiri Alan, “Udah pulang? Lo dari mana aja?”
“Itu beneran pertanyaan lo? Terlalu retoris.” Alan menghelakan napasnya dan menaruh sesuatu di atas meja seperti bar yang ada di sana.
“Lo udah tau belum kabar tentang besok pagi?” tanya Alan membuka topik.
“Apaan? Besok mulai masuk kelas sihir?”
“Ternyata lo emang nggak tau, selama orientasi lo sama Olfie ngapain aja deh?” Alan bertanya penasaran, ia tidak habis pikir karena black code dan white code terlihat sangat santai dibanding mereka yang purple code.
“Hanya mengerjakan beberapa tugas? Kami juga bertemu professor nggak lama, setiap pertemuan nggak sampai lima menit?”
“Berarti kekuatan kalian sudah diakui dong, karena kami hampir selama 24 jam selalu bersama kakak senior dan mereka memberikan wejangan untuk menjaga etika dan sebagainya di sini. Bahkan mereka memberikan tips untuk memperbanyak poin nilai.” Alan menceritakan secara singkat apa yang dilakukannya selama masa orientasi.
“Poin nilai?” beo Mark karena baru mendengar hal seperti itu.
“Lo nggak tau? Wah parah! Bisa bahaya kalau lo nggak tau apa-apa tentang akademi ini. Jadi, poin nilai itu bisa dibilan seperti nilai plus lo setiap lo melakukan sesuatu yang bernilai positif dan mendapatkan nilai yang bagus. Nah nilai itu akan diakumulasikan setiap lo dapat nilai baru dan ditranfer menjadi mata uang disini, tapi semuanya sepakat menyebutnya poin nilai saja.” Alan menjelaskan apa itu poin nilai kepada Mark.
“Tapi lan, gue asal pesan makanan di kafetaria nggak perlu pakai poin nilai sama sekali karena langsung terpesan, apa itu karena selama orientasi ini makanan masih gratis?”
Alan kembali menoleh ke Mark dengan cepat, wajah takjubnya tidak bisa disembunyikan, “Beneran gratis? Coba gue lihat, boleh?”
Mark mengangguk, “Ya boleh, bentar.” Mark merogoh sakunya untuk mengambil smartphone miliknya dan membuka aplikasi yang menghubungkan mereka dengan kafetaria langsung.
Alan mendekati Mark dan di sana ia melihat poin nilai Mark menunjukkan angka +++ yang berarti tidak terbatas, “Gila! Ternyata hidup lo penuh keberuntungan sejauh ini. Lo nggak perlu cari poin karena poin lo sendiri udah tidak terhingga.” Alan menunjuk pojok kanan atas layar.
“Jadi ini poin nilai yang lo maksud?”
“Iya benar sekali!” jawab Alan mengangguk mantap dan mengambil smartphone milik Mark secara cepat.
“Karena lo punya poin tidak terhingga, gimana kalau kita makan malam enak hari ini? Hal seperti ini harus dimanfaatkan, bukan?” Alan meminta kepada Mark dengan tatapan memelasnya, kerutan wajahnya berubah menjadi tatapan sedih.
“Pesan aja sepuasnya, gue mau tidur,” ujar Mark dan kembali meregangkan tubuhnya karena ia merasakan tubuhnya kembali kaku.
Raut wajah Alan langsung berubah dengan cepat dalam hitungan detik, ia tersenyum lebar karena Mark membebaskannya.
“Eh tapi lo kenapa udah mau tidur? Gue kan belum tau besok ada apaan, seharusnya kita membahas hal ini dengan Dave malam ini.”
Perkataan Alan menghentikan langkah Mark, “Emang ada apaan?” Mark memutar lehernya hingga ia dapat melirik Alan yang masih girang karena mendapatkan makanan gratis untuk ke depannya.
“Besok ada pertarungan antar individu dan ditutup dengan acara pertarungan antar tim. Tim ini sendiri berdasarkan kamar masing-masing murid, dan katanya sih bakal berlangsung selama seminggu? Karena kita nanti dikirim ke sebuah benua lain dari dunia ini yang mengharuskan kita untuk survive.”
“Lo serius? Kenapa lo baru ngasih tau gue?” Mark mulai panik membayangkan dirinya yang tidak mempersiapkan apapun untuk pertarungan itu.
“Yah lo nggak nanya, lagian gue kira lo udah tau,” ucap Alan.
“Jadi ayo sini makan sama gue sambil menunggu Dave pulang ke asrama.”
“Baiklah!” seru Mark dengan helaan napas beratnya melangkahkan kakinya kembali menuju meja untuk menyantap makanan yang sudah dibelikan oleh Alan.